easter-japanese

1

“Para bhikkhu, ada tiga cara praktik ini. Apakah tiga ini? Cara praktik yang kasar, cara praktik yang melepuhkan, dan cara praktik jalan tengah.3

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, cara praktik yang kasar? Di sini, seseorang menganut doktrin dan pandangan sebagai berikut: ‘Tidak ada pelanggaran dalam kenikmatan indria,’ dan kemudian ia menikmati kenikmatan-kenikmatan indria. Ini disebut cara praktik yang kasar.

(2) “Dan apakah cara praktik yang melepuhkan?4 Di sini, seseorang bepergian dengan telanjang, melanggar kebiasaan, menjilat tangannya, tidak datang ketika diminta, tidak berhenti ketika diminta; ia tidak menerima makanan yang diserahkan dan tidak menerima makanan yang secara khusus dipersiapkan dan tidak menerima undangan makan; ia tidak menerima dari kendi, dari mangkuk, melintasi ambang pintu, melintasi tongkat kayu, melintasi alat penumbuk, dari dua orang yang sedang makan bersama, dari perempuan hamil, dari perempuan yang sedang menyusui, dari perempuan yang dipelihara oleh seorang laki-laki, dari mana terdapat pengumuman pembagian makanan, dari mana seekor anjing sedang menunggu, dari mana lalat beterbangan; ia tidak menerima ikan atau daging; ia tidak meminum minuman keras, anggur, atau minuman fermentasi.

“Ia mendatangi satu rumah [pada perjalanan menerima dana makanan], untuk satu suap makanan; ia mendatangi dua rumah, untuk dua suap … ia mendatangi tujuh rumah, untuk tujuh suap. Ia makan satu mangkuk sehari, dua mangkuk sehari … tujuh mangkuk sehari. Ia makan sekali dalam sehari, sekali dalam dua hari … sekali dalam tujuh hari; dan seterusnya hingga sekali dalam dua minggu; ia berdiam dengan menjalani praktik makan pada interval waktu yang telah ditentukan.

“Ia adalah pemakan sayur-sayuran atau milet atau beras hutan atau kulit kupasan atau lumut atau kulit padi atau sekam atau tepung wijen atau rumput atau kotoran sapi. Ia bertahan hidup dari akar-akaran dan buah-buahan di hutan; ia memakan buah-buahan yang jatuh.

“Ia mengenakan jubah yang terbuat dari rami, jubah dari kain campuran-rami, jubah dari kain pembungkus mayat, jubah dari potongan-potongan kain; jubah dari kulit pohon, jubah dari kulit antelop, jubah dari cabikan kulit antelop; jubah dari kain rumput kusa, jubah dari kain kulit kayu, jubah dari kain serutan kayu; mantel dari rambut [296] atau dari bulu binatang; penutup dari bulu sayap burung hantu.

“Ia adalah seorang yang mencabut rambut dan janggut, menekuni praktik mencabut rambut dan janggut. Ia adalah seorang yang berdiri terus-menerus, menolak tempat duduk. Ia adalah seorang yang berjongkok terus-menerus, senantiasa mempertahankan posisi jongkok. Ia adalah seorang yang menggunakan alas tidur berduri; ia menjadikan alas tidur berduri sebagai tempat tidurnya. Ia berdiam dengan menjalani praktik mandi tiga kali sehari termasuk malam hari. Demikianlah dalam berbagai cara ia berdiam dengan menjalankan praktik menyiksa dan menyakiti tubuhnya. Ini disebut cara praktik yang melepuhkan.

(3) “Dan apakah cara praktik jalan tengah? Di sini, seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan jasmani dalam jasmani, tekun, memahami dengan jernih, penuh perhatian, setelah melenyapkan kerinduan dan kesedihan sehubungan dengan dunia. Ia berdiam dengan merenungkan perasaan dalam perasaan … pikiran dalam pikiran … fenomena dalam fenomena, tekun, memahami dengan jernih, penuh perhatian, setelah melenyapkan kerinduan dan kesedihan sehubungan dengan dunia. Ini disebut cara praktik jalan tengah.

“Ini, para bhikkhu, adalah ketiga cara praktik itu.”

(157) “Para bhikkhu, ada tiga cara praktik ini. Apakah tiga ini? Cara praktik yang kasar, cara praktik yang melepuhkan, dan cara praktik jalan tengah.

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, cara praktik yang kasar? … [seperti pada 3:156] … Ini disebut cara praktik yang kasar.

(2) “Dan apakah cara praktik yang melepuhkan? … [seperti pada 3:156] … Ini disebut cara praktik yang melepuhkan.

(3) “Dan apakah, para bhikkhu, cara praktik jalan tengah? Di sini, seorang bhikkhu membangkitkan keinginan untuk tidak memunculkan kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat yang belum muncul; ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berupaya. Ia membangkitkan keinginan untuk meninggalkan kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat yang telah muncul … untuk memunculkan kondisi-kondisi bermanfaat yang belum muncul … untuk mempertahankan kondisi-kondisi bermanfaat yang telah muncul, untuk ketidak-mundurannya, meningkatkannya, memperluasnya, dan memenuhinya melalui pengembangan; [297] ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berupaya …”

(158) “ … ia mengembangkan landasan kekuatan batin yang memiliki konsentrasi yang dihasilkan dari keinginan dan aktivitas-aktivitas berusaha. Ia mengembangkan landasan kekuatan batin yang memiliki konsentrasi yang dihasilkan dari kegigihan dan aktivitas-aktivitas berusaha … yang memiliki konsentrasi yang dihasilkan dari pikiran dan aktivitas-aktivitas berusaha … yang memiliki konsentrasi yang dihasilkan dari penyelidikan dan aktivitas-aktivitas berusaha ….”

(159) “ … ia mengembangkan indria keyakinan, indria kegigihan, indria perhatian, indria konsentrasi, indria kebijaksanaan …”

(160) “ … ia mengembangkan kekuatan keyakinan, kekuatan kegigihan, kekuatan perhatian, kekuatan konsentrasi, kekuatan kebijaksanaan …”

(161) “ … ia mengembangkan faktor pencerahan perhatian, faktor pencerahan pembedaan fenomena-fenomena, faktor pencerahan kegigihan, faktor pencerahan sukacita, faktor pencerahan ketenangan, faktor pencerahan konsentrasi, faktor pencerahan keseimbangan …”

(162) “ … ia mengembangkan pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, konsentrasi benar. Ini disebut cara praktik jalan tengah.

“Ini, para bhikkhu, adalah ketiga cara praktik itu.”


Catatan Kaki
  1. Ee tidak menomori sutta ini sebagai vagga terpisah melainkan memberi judul Acelakavagga. Ce menghitungnya sebagai vagga ke enam dalam Lima Puluh Ke tiga, yang disebut Paṭipadāvagga. Be juga menghitungnya sebagai vagga ke enam (ke enam belas dalam total Buku Kelompok Tiga), yang disebut Acelakavagga, “Bab tentang Petapa Telanjang.” ↩︎

  2. Saya mendasarkan judul sutta ini pada syair uddāna dari Be. Baik Ce maupun Be tidak memberikan judul pada sutta ini; baik Ce maupun Ee tidak mencantumkan syair uddāna. ↩︎

  3. Cara praktik yang kasar (āgāḷhā paṭipadā) bersesuaian dengan menikmati kenikmatan indria secara ekstrim; cara praktik yang melepuhkan (nijjhāmā paṭipadā), bersesuaian dengan penyiksaan diri yang ekstrim. Kedua ekstrim tersebut adalah yang ditolak oleh Sang Buddha dalam khotbah pertama (SN 56:11, V 421,4-9). ↩︎

  4. Daftar praktik pertapaan berikut ini juga terdapat pada DN I 166-67; MN I 77-78, 307-8, 342-43. ↩︎

  5. Ee merangkum semua sutta ini ke dalam satu sutta yang dinomori 152. Saya mengikuti Ce dan Be dalam menghitung masing-masing sutta secara terpisah. ↩︎