easter-japanese

1

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian, pada suatu pagi, Yang Mulia Ānanda merapikan jubah, membawa mangkuk dan jubahnya, dan pergi ke rumah umat awam perempuan bernama Migasālā, di mana ia duduk di tempat yang telah dipersiapkan untuknya. Kemudian umat awam Migasālā mendatangi Yang Mulia Ānanda, bersujud kepadanya, duduk di satu sisi, dan berkata:

“Bhante Ānanda, bagaimanakah ajaran [138] Sang Bhagavā ini seharusnya dipahami, di mana seorang yang hidup selibat dan seorang yang tidak hidup selibat keduanya memiliki alam tujuan kelahiran yang persis sama dalam kehidupan mereka berikutnya? Ayahku Purāṇa menjalani hidup selibat, hidup terpisah, menghindari hubungan seksual, praktik orang-orang biasa. Ketika ia meninggal dunia, Sang Bhagavā menyatakan: ‘Ia mencapai tingkat yang-kembali-sekali dan telah terlahir kembali di kelompok [para deva] Tusita.’ Pamanku dari pihak ayah bernama Isidatta2 tidak hidup selibat melainkan hidup menikah yang memuaskan. Ketika ia meninggal dunia, Sang Bhagavā juga menyatakan: ‘Ia mencapai tingkat yang-kembali-sekali dan telah terlahir kembali di kelompok [para deva] Tusita.’ Bhante Ānanda, bagaimanakah ajaran Sang Bhagavā ini seharusnya dipahami, di mana seorang yang hidup selibat dan seorang yang tidak hidup selibat keduanya memiliki alam tujuan kelahiran yang persis sama dalam kehidupan mereka berikutnya?”

“Persis seperti demikianlah, saudari, Sang Bhagavā menyatakannya.”

Kemudian, ketika Yang Mulia Ānanda telah menerima dana makanan di rumah Migasālā, ia bangkit dari duduknya dan pergi. Setelah makan, ketika kembali dari perjalanan menerima dana makanan, ia mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata: “Di sini, Bhante, di pagi hari, aku merapikan jubah, membawa mangkuk dan jubahku, dan pergi ke rumah umat awam perempuan Migasālā … [139] [seluruhnya seperti di atas, hingga] … Ketika ia menanyakan hal ini kepadaku, aku menjawab: ‘Persis demikianlah, Saudari, Sang Bhagavā menyatakannya.’”

[Sang Bhagavā berkata:] “Siapakah sesungguhnya umat awam perempuan Migasālā ini, seorang perempuan yang dungu dan tidak kompeten dengan kecerdasan seorang perempuan? Dan siapakah mereka [yang memiliki] pengetahuan tentang orang-orang lain sebagai tinggi dan rendah?3

“Ada, Ānanda, sepuluh jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah sepuluh ini?

(1) “Di sini, Ānanda, ada seorang yang tidak bermoral dan ia tidak memahami sebagaimana adanya kebebasan pikiran, kebebasan melalui kebijaksanaan, di mana ketidak-bermoralannya lenyap tanpa sisa.4 Dan ia tidak mendengarkan [ajaran-ajaran], tidak menjadi terpelajar [di dalam ajaran-ajaran itu], tidak menembus [ajaran-ajaran itu] melalui pandangan, dan ia tidak mencapai kebebasan sementara. Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia mengarah menuju kemerosotan, bukan menuju keluhuran; ia adalah seorang yang pergi menuju kemerosotan, bukan menuju keluhuran.

(2) “Kemudian, Ānanda, ada seorang yang tidak bermoral namun ia memahami sebagaimana adanya kebebasan pikiran, kebebasan melalui kebijaksanaan, [140] di mana ketidak-bermoralannya lenyap tanpa sisa. Dan ia telah mendengarkan [ajaran-ajaran], menjadi terpelajar [di dalam ajaran-ajaran itu], menembus [ajaran-ajaran itu] melalui pandangan, dan ia mencapai kebebasan sementara. Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia mengarah menuju keluhuran, bukan menuju kemerosotan; ia adalah seorang yang pergi menuju keluhuran, bukan menuju kemerosotan.

“Ānanda, mereka yang bersikap menghakimi akan memberikan penilaian demikian tentang orang-orang lain: ‘Orang ini memiliki kualitas yang sama dengan yang lainnya. Mengapakah yang satu menjadi lebih rendah dan yang lain lebih tinggi?’ [Penilaian] mereka yang demikian sesungguhnya akan mengarah pada bahaya dan penderitaan mereka untuk waktu yang lama.

“Di antara mereka, Ānanda, seorang yang tidak bermoral, dan yang memahami sebagaimana adanya kebebasan pikiran, kebebasan melalui kebijaksanaan, di mana ketidak-bermoralannya lenyap tanpa sisa; yang telah mendengarkan [ajaran-ajaran], menjadi terpelajar [di dalam ajaran-ajaran itu], menembus [ajaran-ajaran itu] melalui pandangan, dan yang mencapai kebebasan sementara, adalah melampaui dan mengungguli orang lainnya. Karena alasan apakah? Karena arus-Dhamma membawanya serta. Tetapi siapakah yang dapat mengetahui perbedaan ini selain Sang Tathāgata?

“Oleh karena itu, Ānanda, jangan bersikap menghakimi sehubungan dengan orang-orang. Jangan memberikan penilaian atas orang-orang. Mereka yang memberikan penilaian atas orang-orang telah membahayakan diri mereka sendiri. Aku sendiri, atau seorang yang sepertiKu, yang boleh memberikan penilaian atas orang-orang. [141]

(3) “Kemudian, Ānanda, ada seorang yang bermoral namun ia tidak memahami sebagaimana adanya kebebasan pikiran, kebebasan melalui kebijaksanaan, di mana perilaku-bermoralnya lenyap tanpa sisa. Dan ia tidak mendengarkan [ajaran-ajaran] … ia tidak mencapai kebebasan sementara. Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia mengarah menuju kemerosotan, bukan menuju keluhuran; ia adalah seorang yang pergi menuju kemerosotan, bukan menuju keluhuran.

(4) “Kemudian, Ānanda, ada seorang yang bermoral dan ia memahami sebagaimana adanya kebebasan pikiran, kebebasan melalui kebijaksanaan, di mana perilaku-bermoralnya lenyap tanpa sisa. Dan ia telah mendengarkan [ajaran-ajaran] … dan ia mencapai kebebasan sementara. Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia mengarah menuju keluhuran, bukan menuju kemerosotan; ia adalah seorang yang pergi menuju keluhuran, bukan menuju kemerosotan.

“Ānanda, mereka yang bersikap menghakimi akan memberikan penilaian demikian tentang orang-orang lain … Aku sendiri, atau seorang yang sepertiKu, yang boleh memberikan penilaian atas orang-orang.

(5) “Kemudian, Ānanda, ada seorang yang sangat rentan pada nafsu dan ia tidak memahami sebagaimana adanya kebebasan pikiran, kebebasan melalui kebijaksanaan, di mana nafsunya lenyap tanpa sisa. Dan ia tidak mendengarkan [ajaran-ajaran] … ia tidak mencapai kebebasan sementara. Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia mengarah menuju kemerosotan, bukan menuju keluhuran; ia adalah seorang yang pergi menuju kemerosotan, bukan menuju keluhuran.

(6) “Kemudian, Ānanda, ada seorang yang sangat rentan pada nafsu namun ia memahami sebagaimana adanya kebebasan pikiran, kebebasan melalui kebijaksanaan, di mana nafsunya lenyap tanpa sisa. Dan ia mendengarkan [ajaran-ajaran] … dan ia mencapai kebebasan sementara. [142] Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia mengarah menuju keluhuran, bukan menuju kemerosotan; ia adalah seorang yang pergi menuju keluhuran, bukan menuju kemerosotan.

“Ānanda, mereka yang bersikap menghakimi akan memberikan penilaian demikian tentang orang-orang lain … Aku sendiri, atau seorang yang sepertiKu, yang boleh memberikan penilaian atas orang-orang.

(7) “Kemudian, Ānanda, ada seorang yang sangat rentan pada kemarahan dan ia tidak memahami sebagaimana adanya kebebasan pikiran, kebebasan melalui kebijaksanaan, di mana kemarahannya lenyap tanpa sisa. Dan ia tidak mendengarkan [ajaran-ajaran] … ia tidak mencapai kebebasan sementara. Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia mengarah menuju kemerosotan, bukan menuju keluhuran; ia adalah seorang yang pergi menuju kemerosotan, bukan menuju keluhuran.

(8) “Kemudian, Ānanda, ada seorang yang sangat rentan pada kemarahan namun ia memahami sebagaimana adanya kebebasan pikiran, kebebasan melalui kebijaksanaan, di mana kemarahannya lenyap tanpa sisa. Dan ia telah mendengarkan [ajaran-ajaran] … ia mencapai kebebasan sementara. Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia mengarah menuju keluhuran, bukan menuju kemerosotan; ia adalah seorang yang pergi menuju keluhuran, bukan menuju kemerosotan.

“Ānanda, mereka yang bersikap menghakimi akan memberikan penilaian demikian tentang orang-orang lain … Aku sendiri, atau seorang yang sepertiKu, yang boleh memberikan penilaian atas orang-orang.

(9) “Kemudian, Ānanda, ada seorang yang gelisah dan ia tidak memahami sebagaimana adanya kebebasan pikiran, kebebasan melalui kebijaksanaan, di mana kegelisahannya lenyap tanpa sisa. Dan ia tidak mendengarkan [ajaran-ajaran] … ia tidak mencapai kebebasan sementara. Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia mengarah menuju kemerosotan, bukan menuju keluhuran; ia adalah seorang yang pergi menuju kemerosotan, bukan menuju keluhuran.

(10) “Kemudian, Ānanda, ada seorang yang gelisah namun ia memahami sebagaimana adanya kebebasan pikiran, kebebasan melalui kebijaksanaan, di mana kegelisahannya lenyap tanpa sisa. Dan ia telah mendengarkan [ajaran-ajaran], menjadi terpelajar [di dalam ajaran-ajaran itu], menembus [ajaran-ajaran itu] melalui pandangan, [143] dan ia mencapai kebebasan sementara. Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia mengarah menuju keluhuran, bukan menuju kemerosotan; ia adalah seorang yang pergi menuju keluhuran, bukan menuju kemerosotan.

“Ānanda, mereka yang bersikap menghakimi akan memberikan penilaian demikian tentang orang-orang lain: ‘Orang ini memiliki kualitas yang sama dengan yang lainnya. Mengapakah yang satu menjadi lebih rendah dan yang lain lebih tinggi?’ [Penilaian] mereka yang demikian sesungguhnya akan mengarah pada bahaya dan penderitaan mereka untuk waktu yang lama.

“Di antara mereka, Ānanda, seorang yang gelisah, dan yang memahami sebagaimana adanya kebebasan pikiran, kebebasan melalui kebijaksanaan, di mana kegelisahannya lenyap tanpa sisa; yang telah mendengarkan [ajaran-ajaran], menjadi terpelajar [di dalam ajaran-ajaran itu], menembus [ajaran-ajaran itu] melalui pandangan, dan yang mencapai kebebasan sementara, adalah melampaui dan mengungguli orang lainnya. Karena alasan apakah? Karena arus-Dhamma membawanya serta. Tetapi siapakah yang dapat mengetahui perbedaan ini selain Sang Tathāgata?

“Oleh karena itu, Ānanda, jangan bersikap menghakimi sehubungan dengan orang-orang. Jangan memberikan penilaian atas orang-orang. Mereka yang memberikan penilaian atas orang-orang telah membahayakan diri mereka sendiri. Aku sendiri, atau seorang yang sepertiKu, yang boleh memberikan penilaian atas orang-orang.

“Siapakah sesungguhnya umat awam perempuan Migasālā ini, seorang perempuan yang dungu dan tidak kompeten dengan kecerdasan seorang perempuan? Dan siapakah mereka [yang memiliki] pengetahuan tentang orang-orang lain sebagai tinggi dan rendah?

“Ini adalah kesepuluh jenis orang itu yang terdapat di dunia.

“Ānanda, jika Isidatta memiliki perilaku bermoral yang sama dengan yang dimiliki oleh Purāṇa, maka Purāṇa bahkan tidak dapat mengetahui alam tujuan kelahiran Isidatta. [144] Dan jika Purāṇa memiliki kebijaksanaan yang sama dengan yang dimiliki oleh Isidatta, maka Isidatta bahkan tidak dapat mengetahui alam tujuan kelahiran Purāṇa. demikianlah, Ānanda, kedua orang ini masing-masing kurang dalam satu aspek.”


Catatan Kaki
  1. Paralel sebagian dari 6:44, dengan situasi serupa tetapi dengan isi yang berbeda. ↩︎

  2. Ce pettā pi yo; Be pitāmaho; Ee pettā piyo. PED menjelaskan pitāmahā (di bawah kata pitar) sebagai “kakek,” yang tampaknya tidak tepat di sini. PED, di bawah pettāpiya (epic Skt pitṛvya), mendefinisikan “saudara laki-laki dari ayah, paman dari pihak ayah,” yang dengan demikian mendukung Ce dan Ee jika spasinya dihilangkan. Baca juga Jilid 3 p.517, catatan 357. ↩︎

  3. Saya menganggap Ce -ñāṇo di sini kesalahan cetak untuk -ñāṇe, yang muncul dalam bagian pengulangan dari pernyataan menjelang akhir sutta ini. Pada 6:44 Ce menuliskan -ñāṇe pada kedua tempat. ↩︎

  4. Dussīlyaṃ aparisesaṃ nirujjhati. Mp: “Di sini, kelima jenis ketidak-bermoralan ditinggalkan melalui jalan memasuki-arus; sepuluh [jalan kamma tidak bermanfaat], ditinggalkan melalui jalan Kearahattaan. Pada momen buah semua itu dikatakan telah ditinggalkan. Nirujjhati pada teks ini merujuk pada momen buah. Seorang kaum duniawi melanggar perilaku bermoral dalam lima cara: dengan melakukan pelanggaran pārājika, dengan meninggalkan latihan, bergabung dengan sekte lain, mencapai Kearahattaan, dan kematian. Tiga pertama mengarah pada mundurnya pengembangan, yang ke empat mengarah pada kemajuannya, dan ke lima tidak mengarah pada kemunduran maupun kemajuan. Tetapi bagaimanakah perilaku bermoral dilanggar dengan mencapai Kearahattaan? Karena seorang kaum duniawi dapat memiliki perilaku bermoral bermanfaat yang luar biasa, tetapi jalan menuju Kearahattaan mengarah pada hancurnya kamma bermanfaat dan tidak bermanfaat; dengan demikian dihancurkan dengan cara itu.” Hal ini, harus disebutkan, dijelaskan dari sudut pandang Abhidhamma, yang menjelaskan perbuatan-perbuatan seorang Arahant, karena hanya sebagai aktivitas (kiriya) tanpa akibat kamma, tidak dikelompokkan sebagai apakah bermanfaat atau tidak bermanfaat. Akan tetapi, dalam bahasa sutta, hal ini dijelaskan sebagai luar biasa bermanfaat. ↩︎