easter-japanese

1

“Bhante, ada berapa alasankah untuk menskors Pātimokkha?”

“Ada, Upāli, sepuluh alasan untuk menskors Pātimokkha. Apakah sepuluh ini? (1) Seorang yang telah melakukan pārājika sedang duduk dalam kumpulan itu; (2) sebuah diskusi tentang seorang yang telah melakukan pārājika sedang berlangsung;2 (3) seorang yang belum ditahbiskan secara penuh sedang duduk dalam kumpulan itu; [71] (4) sebuah diskusi tentang seorang yang belum ditahbiskan secara penuh sedang berlangsung; (5) seorang yang telah meninggalkan latihan sedang duduk dalam kumpulan itu; (6) sebuah diskusi tentang seorang yang telah meninggalkan latihan sedang berlangsung; (7) seorang kasim sedang duduk dalam kumpulan itu;3 (8) sebuah diskusi tentang seorang kasim sedang berlangsung; (9) seorang penggoda bhikkhunī sedang duduk dalam kumpulan itu;4 (10) sebuah diskusi tentang seorang penggoda bhikkhunī sedang berlangsung. Ini adalah kesepuluh alasan itu untuk menskors Pātimokkha.”


Catatan Kaki
  1. Ee secara keliru menggabungkan sutta ini dengan sutta sebelumnya, dengan demikian mengurangi satu dari jumlah sutta. Pada Vin II 240-47 “menskors Pātimokkha” (pātimokkhaṭṭhapana) merujuk pada membatalkan hak seseorang untuk mengikuti pelafalan Pātimokkha pada hari uposatha. Tampaknya bagi saya bahwa sutta “menskors Pātimokkha” ini termasuk keduanya yaitu membatalkan pelafalan Pātimokkha bagi bhikkhu tertentu dan menunda pelafalan Pātimokkha hingga kondisi penghalang dilenyapkan. Baca Thānissaro 2007b: 270-71, untuk pembahasan kelompok kondisi pertama yang karenanya pelafalan Pātimokkha dibatalkan. ↩︎

  2. Pārājikakathā vippakatā hoti. Mp: “Pembicaraan seperti berikut, ‘Apakah orang itu melakukan pārājika atau tidak ?’ telah dimulai dan belum selesai (‘asukapuggalo pārājikaṃ āpanno nu kho no’ ti evaṃ kathā ārabhitvā aniṭṭhāpitā hoti).” Perhatikan bahwa paragraf ini mendukung terjemahan dari pertanyaan umum yang ditanyakan oleh Sang Buddha ketika para bhikkhu sedang terlibat dalam suatu percakapan – kā ca pana vo antarākathā vippakatā? – sebagai: “Apakah pembicaraan kalian yang sedang berlangsung?” alternatif yang umum – “Apakah pembicaraan kalian yang terhenti?” dan “Apakah pembicaraan kalian yang belum selesai?” – tidak tepat dalam konteks ini, dan berlawanan dengan komentar, yang secara konsisten mengemas vippakatā sebagai bermakna “belum berakhir, belum selesai” (apariniṭṭhitā sikhaṃ appattā pada Sv I 49,27-28, PS II 169,15-16; pariyantaṃ na gatā pada Ps III 26,1-4; apariyositā pada Ud-a 104,26-30). ↩︎

  3. Kata paṇḍaka memiliki makna yang lebih luas daripada “orang kasim” seperti yang biasanya dipahami. Sp V 1016,1-9 menjelaskan lima jenis paṇḍaka. Di antaranya, dua yang paling relevan di sini adalah laki-laki yang dikebiri (opakkamikapaṇḍaka) dan orang yang terlahir dengan jenis kelamin yang tidak dapat ditentukan (napuṃsakapaṇḍaka). Sebuah paralel dari perbedaan ini dapat ditemukan pada Matius 19:12 (Versi Bahasa Inggris Standar): “Karena ada orang kasim sejak lahir, dan ada orang kasim yang dibuat menjadi kasim oleh orang lain, da nada orang kasim yang dilakukan oleh diri sendiri demi kerajaan surga.” Yang pertama bersesuaian dengan napuṃsaka, dan yang ke dua bersesuaian dengan opakkamika, dan yang ke tiga mungkin bersesuaian dengan mereka yang memilih hidup selibat (atau mengebiri diri mereka sendiri) demi alasan religius. ↩︎

  4. Implikasi dari bhikkhunidūsaka tidak dijelaskan dalam teks kanon itu sendiri. Akan tetapi, Vinayavinicchaya-ṭīkā I 121 (edisi VRI; Be §322) mendefinisikan istilah ini dalam suatu cara yang berlaku pada seorang bhikkhu yang melakukan hubungan seksual dalam bentuk apa pun dengan seorang bhikkhunī: “Seseorang dikatakan sebagai bhikkhunidūsaka ketika ia telah mengotori seorang bhikkhunī yang baik dengan melakukan hubungan seksual dengannya” (dūsako ti pakatattāya bhikkhuniyā methunaṃ paṭisevitvā tassā dūsitattā bhikkhuniṃ dūsetīti “bhikkhunidūsako”ti vutto ca). Dengan demikian istilah ini tidak harus berarti memperkosa dan “penggoda bhikkhunī” adalah terjemahan yang cocok. ↩︎