Yulia Paññasiri
Pada kesempatan sharing kali ini, saya ingin berbagi mengenai “Kemarahan”. Semoga sharing dengan beberapa kisah di bawah ini bermanfaat.
Saya mulai dari suatu kejadian yang telah lewat beberapa tahun ini. Suatu ketika saat saya sedang berlibur ke Singapura, kebetulan sekali pada saat itu Ajahn Brahmavamso juga hadir memberikan ceramah Dhamma di sana. Dengan perasaan bahagia, ingin sekali untuk tidak melewatkan kesempatan baik ini, saya pun mengajak teman saya untuk sama-sama ikut menghadiri ceramah tersebut, tetapi pada hari H nya, semuanya tidak berjalan sesuai dengan yang diinginkan. Pendek katanya kita telat. Dari perjalanan sampai tiba di sana, saya emosi dan ngomel panjanggggg lebar, ditambah lagi setelah sampai di sana, rupa-rupanya sudah memasuki sesi tanya-jawab. Teman saya hanya diam saja.
Setelah dia melihat saya agak tenang, dia bertanya dengan santai, “Yul, Yul, tujuan kita ke sini tuh ngapain ya?” Dengan spontan saya menjawab, “Ya dengerin Dhamma, buat kebajikan, tapi karena kamu, kita telat, sungguh sia-sia” Lalu dia balas dengan geleng-geleng kepala dan berkata “No…No…No…You are not! Kamu sadar apa ngak sih, kalau saat ini kamu malah terbalik, emosi, marah, ngomel panjangggg sekali, kasar lagi? Kamu itu bukan lagi berbuat baik, malah sebaliknya. Your mind is deluded with anger even before you start to listen. Tidak bisakah kamu mempraktekkan kesabaran, sedikit tenggang rasa dan mawas diri? ”
Segudang pertanyaan itu menyadarkan saya pada detik itu juga dari kesalahan terbodoh yang sedang dilakukan dan terdiam seketika. Hahahaha………
Ada kejadian lainnya yang juga menarik, beberapa hari yang barusan saja lewat, seorang bekas murid mengirimkan pesan curahan hati. Bagiku, pesan yang cukup merisaukan batin. Pesan kebencian, kemarahan, dan kekecewaan seorang anak pada sang papa. “Ms, aku benci sama papa, papa tidak sayang aku, cuma sayang sama adik laki-laki, perhatian papa sudah berbeda jauh, dia bukan lagi papaku yang dulu, hatiku hancur, aku sungguh benci, aku menangis dan menangis saja…pacar pun tak dapat banyak berbuat bla bla bla… dst dst… Ms, apakah saya salah?” Begitulah kira-kira curahan hatinya.
Baiklah, sebelum menanggapi pertanyaan yang cukup sensitif baginya, saya juga sedikit bercerita tentang papa saya.
Dulu saya juga pernah kecewa dengan papa, tatkala melihat seorang teman dekat yang selalu saja dijemput sama papanya, saya kecewa dan sedih lalu sering bergumam, mengapa papa tidak khawatir dengan anak gadisnya yang pulang ngajar malam-malam naik becak? Padahal di rumah dia cuma nonton tv, palingan acara berita dan sepak-bola kesukaannya, atau bila tidak, berkaraoke bareng teman-teman. Sungguh kesal! Sungguh jengkel!
Kemarin di kampung, sejenak sebelum saya berangkat ke airport, papa memasuki kamarku dan menyerahkan beberapa lembar uang SGD dan berkata padaku “Nak, ambillah uang ini untuk tambahan biaya belanja kamu”. Papa bersikeras ingin saya menyimpannya walaupun saya jelaskan bila saya punya penghasilan karena saya memang bekerja. Saya senang bukan karena beberapa lembar SGDnya itu, tapi karena papa memberikan perhatiannya, ia risau jika anaknya tak cukup uang belanja.
Lalu saat pamitan pulang, saya memeluk papa, (ini mungkin yang pertama kalinya saya memeluk papa di usia segede ini) sambil berkata “Pa, saya pulang ya, jaga diri baik-baik” Saya melihat mata papa berbinar-binar sambil membalas “Kamu juga, jaga diri baik-baik”
Jasa kedua orang tua sungguh sulit dibalas, berbakti dan memperhatikan mereka sungguh membawakan banyak berkah. Sebaliknya bila kita tidak berbakti malahan membenci mereka karena sesuatu hal yang bahkan tidak penting, maka apa yang bisa dikatakan lagi terhadap anak tersebut? Kita juga tentunya tak mau bila kita dimusuhi anak-anak sendiri kelak.
Untuk kasus muridku, saya katakan padanya bila pacarnya juga ikut-ikutan tambah merica, tambah garam, tambah api, maka sudah saatnya dia disepak keluar. Hahaha.
Saya bertanya pada muridku apabila dia memahami makna sebuah keluarga. What is Family? Family stands for F-ather A-nd M-other, I L-ove Y-ou.
Murid saya membalas pesan saya, “Ms, saya menangis lagi karena saya menemukan kelegaan hati. Ms, saya rasa saya benci dan marah pada papa hanya karena cemburu saja.” Oik Oik. Hahaha.
Selanjutnya, saya akan memberikan cerita perumpamaan berikut ini. Seorang ibu guru melakukan survey untuk mendidik murid-muridnya. Ia menyuruh mereka untuk menyediakan ubi kecil dan kantong plastik. Masing-masing anak bebas menyebutkan nama orang-orang yang dibenci/tak disenangi dalam hati. Satu nama untuk satu ubi, lalu dimasukkan dalam kantong plastik. Anak-anak dengan bangga melakukannya dan memperlihatkan banyaknya ubi dalam kantong plastik. Ibu guru memberi perintah, sekantong plastik ubi itu harus selalu dibawa ke sekolah setiap harinya. Seminggu dua minggu berlalu, ubi pun membusuk, anak-anak pun mulai mengeluh, oh busuknya, oh beratnya, oh sungguh tak tahan.
Ibu guru menjelaskan, “anak-anak, inilah busuknya kebencian, baru beberapa minggu saja kalian sudah mengeluh, sekarang renungkan bagaimana bila ubi ini kalian bawa seumur hidup, sama halnya dengan kebencian yang bila kalian pendam seumur hidup. Betapa risihnya, betapa risaunya batin (,”)
Cerita yang selanjutnya ini adalah yang terakhir untuk sharing kali ini, cerita dari seorang rekan. Suatu pagi rekan yang satu ini bercerita tentang kegaduhannya dengan sang suami. Ini terjadi berhubung rekanku meminjam mobil baru suaminya. Tak tahunya malah dibuat penyot. Hahaha. Lalu suami pun marah besar, sakit hati dan tak cakapan dengannya. Setiap pagi, kita pasti bertanya apakah dia dan suami sudah cakapan.
Beberapa hari kemudian, dia gossip lagi sama kita. Ternyata dia sudah baikan sama suami. Dia bilang sama kita, “In tears I told my husband that I can hardly believe if he treat me invinsible for many days, and if I knew I were not even a match to that piece of metal, I shouldn’t have married him many years ago.” Lalu dia bilang suaminya terharu, kemudian bawa dia jalan-jalan malam itu juga. Hahaha. Cukup menarik. Saya pribadi merasa, bila kita menyayangi seseorang, tak ada alasan untuk membenci, tersinggung dan sakit hati untuk jangka waktu lama.
Sebuah nasehat: “Jangan pernah sekali-kali mengambil keputusan penting di saat anda sedang emosi atau panas hati, benar-benar patut diberi perhatian.”
Ketika emosi memuncak, tanpa disadari, kita banyak melakukan hal-hal yang tak sepantasnya dilakukan, lalu kemudian kita menyesalinya. Tetapi bila kita cukup jeli mencermati bahwa sesungguhnya orang pertama yang dirugikan adalah kita sendiri, kita akan belajar meredamnya.
Ada orang yang bahkan dapat berbuat hal-hal yang lebih menyakitkan/lebih kejam. Karena emosi/benci, ia membunuh, memfitnah dsbnya. Ada yang lebih dramatis, banyak kita jumpai orang mengaku silap karena emosi sesaat. Inilah bahayanya bila kita tak belajar meredam kemarahan. Dengan adanya potensi tersebut, suatu saat berkenaan dengan sesuatu hal yang tak disenangi, kita tak dapat mengendalikan diri, meledak dan plung, terjadilah pembunuhan, terjadilah caci maki dst…. lalu kemudian menyesal tiada guna.
Ada beberapa tips yang mungkin dapat kita jalankan saat kita sedang emosi, marah, jengkel. Basuhlah wajah dengan air dingin, atau mandi dan cuci kepala untuk menyejukkan diri. Bila orang yang tak disenangi dekat dengan anda, menjauhlah sebelum terjadi hal-hal yang lebih teruk nantinya. Juga sediakan waktu untuk bermeditasi beberapa saat sehari-harinya.
Mari kita mulai dari dalam, dari Hati ini, latihan untuk mengikis dosa, ajaran Sang Guru. Dan ini adalah praktek yang tidak akan pernah sia-sia.
Mudah-mudahan di tahun Tikus ini kita menjadi orang yang lebih baik, lebih sabaran, lebih pengasih. Redamlah marah dan kembangkan cinta…… Semoga sukses!