Spiritful Drizzle
Willy Yanto Wijaya
Beberapa waktu yang lalu, kita sempat dihebohkan oleh rumor “ring in red”, yaitu nomor panggilan handphone yang berwarna merah. SMS-SMS berantai pun dengan cepat menyebar ke seluruh penjuru Nusantara, ada yang mengatakan bahwa nomor merah itu adalah praktek guna-guna/ ilmu hitam yang dapat membunuh orang dalam sekejap; atau versi lain SMS adalah bahwa nomor merah itu adalah transfer radiasi kuat yang dapat membahayakan kesehatan/ membunuh orang (mungkin versi ini dibikin supaya terkesan lebih masuk akal dan ilmiah – untuk mempengaruhi orang-orang yang lebih berpendidikan).
Entah siapa orang pertama yang mengirim SMS tersebut. Tapi, dari fenomena ini kita dapat melihat bagaimana pola pikir sebagian besar penduduk Indonesia yang takhyul (suka mempercayai hal-hal yang aneh/ belum tentu benar) dan mudah termakan rumor/isu/gosip. Ketika menerima SMS berantai tersebut, penulis sempat berkelakar bahwa akan ajaib sekali jika penulis bisa menerima “ring in red” tersebut, sebab layar handphone penulis adalah hitam-putih. Bagaimana mungkin bisa tiba-tiba layar handphone memendarkan warna merah? Itu adalah pelanggaran terhadap hukum fisika!
Bagi penulis, versi bahwa “ring in red” adalah praktek guna-guna/ilmu hitam kuranglah dapat diterima, karena tidak logis/ ilmiah. Kalaupun memang “ilmu hitam”, menurut Buddhisme tidaklah perlu ditakutkan apabila kita melatih sila, dan apalagi samadhi yang benar. Untuk versi bahwa “ring in red” adalah radiasi kuat yang dapat membunuh dalam sekejap, memang sepintas terdengar masuk akal. Namun teknologi radiasi dan transfer energi saat ini belum sejauh itu. Bahkan sepengetahuan penulis, teknologi transfer energi (contoh: men-charge handphone secara wireless (nirkabel)) saja pun masih baru dalam tahap riset (penelitian). Memang, radiasi handphone sebenarnya tidak baik untuk kesehatan, namun efek membunuh jangka pendek seperti itu (untuk saat ini) tidaklah realistis.
“Ring in Red” hanyalah salah satu hoax (kepalsuan) diantara banyaknya hoax yang beredar (terutama di internet). Kadang batas antara kebenaran dan kepalsuan memang sangat tipis. Istilahnya, kalau suatu kebohongan/kepalsuan terus diulang sampai 1000 kali, mungkin ia akan menjadi “kebenaran”.
Lalu, bagaimana kita bisa membedakan antara kepalsuan dengan kebenaran? Apakah kita boleh memiliki keyakinan terhadap suatu hal (terhadap sesuatu yang kita anggap “benar”)? Dalam ajaran Buddha, keyakinan (saddha) mestilah dilandaskan pada Ehipassiko (come and see – datang dan lihatlah (buktikan)). “See” disini selain berarti “melihat”, juga bermakna “mengerti”, “memahami” (dengan cara membuktikan). Ajaran Buddha tidak pernah mendorong kita untuk menerima “dogma” (suatu hal atau “kebenaran” yang mutlak harus diterima, tanpa boleh dipertanyakan/dilakukan pembuktian). Oleh sebab itu, ketika kita disodorkan pada suatu informasi/“kebenaran”, kita mesti mengujinya terlebih dulu.
Lalu bagaimana kita menguji suatu “kebenaran”? Dengan kata lain, bagaimana kita membedakan antara yang benar dengan yang tidak-benar? Menurut hemat penulis, ada dua aspek yang mesti selalu dijadikan pertimbangan ketika kita menguji suatu hal atau “kebenaran”. Aspek pertama adalah Aspek Pengetahuan. Aspek Pengetahuan yaitu landasan kita untuk menalar suatu “kebenaran” berdasarkan logika, akal sehat, dan sains. Penalaran ini dapat mencakup pembelajaran/observasi kita terhadap lingkungan di sekeliling kita, pembelajaran kita terhadap pengalaman-pengalaman yang pernah kita alami. Dengan menggunakan Aspek Pengetahuan ini saja, kita bakal mampu mem-filter (menyaring) hampir sebagian besar kepalsuan-kepalsuan yang ada, termasuk rumor “ring in red” yang sempat beredar di masyarakat. Memang, untuk memiliki akal sehat, logika, dan cara pikir ilmiah (berdasarkan sains), tentu dibutuhkan pembelajaran. Walaupun tidak mudah, namun buah dari pembelajaran ini adalah manis.
Apa aspek yang kedua? Menurut penulis, aspek kedua adalah Aspek Kebajikan. Aspek Kebajikan yaitu landasan kita untuk menyelami suatu hal/“kebenaran” berdasarkan apakah ia membawa kebaikan bagi diri sendiri maupun bagi orang lain, juga makhluk lainnya. Kebaikan disini maksudnya adalah apakah jika suatu hal/“kebenaran” tersebut kita terima, yakini, dan laksanakan; akan membawakan kebahagiaan kepada kita dan yang lainnya? Ataukah justru ia membawakan ketidak-bahagiaan dan penderitaan? Inilah aspek kedua kita untuk menguji suatu “kebenaran”, yaitu Aspek Kebajikan. (Aspek ini selaras dengan ajaran Buddha di dalam Kalama Sutta).
Dengan begitu, “kebenaran” yang kita yakini, saddha kita, akan memiliki landasan “samma-ditthi” (pandangan yang benar), bukan sesuatu keyakinan yang dogmatis.
Lalu, bagaimana jika kita masih belum bisa yakin terhadap sesuatu hal walaupun sepertinya sesuatu hal tersebut telah memenuhi kedua aspek di atas? Just let it be! Dalam bahasa Jepang disebut “Sono mama shite kudasai”, biarkanlah apa adanya. Just keep it, simpan saja. Kita tidak perlu memutuskan apakah untuk mempercayainya atau tidak pada saat itu. Cukup kita simpan untuk sementara, tanpa memberinya label “benar” atau “salah”. Mungkin seiring waktu, seiring perkembangan kita, suatu saat kita akan dapat men-sense-nya, merasakannya secara langsung, dan melihat kebenaran maupun ketidak-benaran yang terkandung di dalamnya sebagaimana adanya.
Sama seperti ibarat seseorang menunjukkan kepalan tangannya dan bertanya apakah kita mempercayai/meyakini bahwa ada mutiara di dalam kepalan tangan tersebut? Kita menjadi ragu, kita terombang-ambing antara percaya atau tidak percaya, antara yakin atau tidak yakin. Mengapa? Karena kita tidak tahu, tidak tahu apakah ada mutiara di dalam kepalan tangannya. Karena tidak tahu, maka kita menjadi dilematis antara percaya atau tidak percaya, antara yakin atau tidak yakin. Namun, seketika ia membuka kepalan tangannya, dan kita melihat kenyataan yang ada apa adanya, segenap masalah percaya atau tidak percaya, yakin atau tidak yakin, yang tadi menghantui kita, seketika menjadi sirna.
Artikel ini pernah dimuat di Warta Karuna Mukti (WKM) Edisi Asadha 2008.