easter-japanese

Kehidupan kita senantiasa diwarnai oleh riak-riak. Seringkali dalam perjalanan hidup, kita mengalami konflik dengan orang lain, saudara kita maupun sahabat-sahabat kita. Masalah yang memicu konflik bisa saja suatu hal kecil, perbedaan kepentingan maupun perbedaan cara berpikir. Konflik yang ada awalnya mungkin hanya menimbulkan kejengkelan, kekesalan dalam hati. Akan tetapi, setelahnya, ego dalam diri mulai bekerja, mencari-cari pembenaran bagi diri sendiri; mencari-cari kesalahan dari orang yang kita tidak sukai tersebut. Lama-lama yang kita pikirkan tentang orang tersebut hanyalah kejelekan-kejelekannya. Kita semakin terbutakan oleh ego dan kebencian kita; kita terus memendamnya dalam hati kita, dalam ingatan kita.

Ada kata-kata bijak Tiongkok kuno yang menyatakan Kerelaan Memaafkan adalah Kemuliaan Hati Terbesar. Anda mungkin berpikir bahwa orang tersebut dapat berkata demikian lantaran dia tidak sedang diliputi kejengkelan dan kebencian; ketika dia sendiri yang mengalami konflik dan ketidaksukaan, mungkin dia juga tidak akan bisa rela memaafkan. Ada benarnya, memang.

Tapi pernahkah kita merenungkan bahwa pemendaman rasa marah, jengkel maupun benci hanya merusak batin kita sendiri? Juga merusak kesehatan kita. Pernahkah kita merenungkan betapa langkanya kesempatan untuk memaafkan itu? Pernahkah terlintas dalam pikiran kita kalau orang yang kita benci atau jengkel itu juga sebenarnya punya kesulitan-kesulitan tersendiri? Pernahkah kita belajar untuk mencoba memahaminya?

Rasa marah, jengkel, benci…

Sadari…, perlahan…

Mungkin…, suatu masa…, Anda akan menyadari bodohnya sikap Anda yang tercengkram oleh perasaan tidak suka tersebut.

Mungkin…, bahkan ketika Anda tersadar dan ingin sekali memaafkan orang-orang tersebut, semuanya sudah terlambat.

Mungkinkah ini terjadi? Saya ingin mengajak Anda dalam serpihan kisah berikut.


Hsiau fei adalah seorang mahasiswa yang sebentar lagi akan diwisuda. Dia sangat mendambakan akan mendapatkan hadiah wisuda dari ayahnya, seorang pengusaha kaya yang sangat menyayanginya sebagai anak satu-satunya. Hsiau fei selama berhari-hari telah membayangkan akan mengendarai mobil BMW idamannya sambil bersenang-senang dengan temannya.

Saat yang dinantikan pun tibalah, dimana setelah diwisuda, dengan langkah penuh keyakinan Hsiau fei melangkah menemui ayahnya yang tersenyum sambil berlinang air mata menyampaikan betapa dia sangat kagum akan anak satu-satunya dan sungguh dia mencintainya. Ayahnya kemudian mengeluarkan sebuah kado yang dibungkus rapi, dan sungguh hal ini membuat Hsiau fei terpaku karena bukanlah kunci mobil BMW sebagaimana yang diharapkannya. Dengan perasaan gundah dibukanya juga kado itu dimana berisi kitab Buddha Vacana yang terjilid rapi berlapiskan tulisan emas nama Hsiau fei di sampul depannya. Hancur sekali hati Hsiau fei menerima hadiah kitab tersebut, dan dengan marah tanpa dapat terkendalikan, dia membanting kitab tersebut sambil berteriak nyaring, “Apakah ini cara ayah mencintai saya, padahal dengan uang ayah yang banyak tidaklah sulit untuk membelikan hadiah yang memang telah ayah ketahui sudah lama saya idamkan!!” Kemudian Hsiau fei tanpa melihat reaksi ayahnya lagi, berlari kencang meninggalkannya dan bersumpah tidak akan menemuinya lagi.

Hari, bulan dan tahun pun berganti. Hsiau fei yang telah pindah tinggal di kota lain akhirnya berhasil menjadi seorang pengusaha yang sukses karena bermodalkan otaknya yang cemerlang. Selain memiliki mobil dan rumah yang mewah, dia juga telah berkeluarga dan memiliki tiga anak. Sementara ayahnya sudah pensiun dan semakin tua serta tinggal sendirian. Ayahnya selalu menanti kedatangan Hsiau fei sejak hari wisuda tersebut dengan satu harapan hanya untuk menyampaikan betapa kasihnya dia kepada Hsiau fei. Hsiau fei adakalanya juga rindu kepada ayahnya. Namun setiap kali mengingat kejadian hari wisuda tersebut, diapun menjadi marah kembali dan merasa sakit hati atas hadiah kitab dari ayahnya.

Sampai suatu hari, datanglah telegram dari tetangga ayahnya yang memberitahukan bahwa ayahnya telah meninggal dunia, dan sebelum meninggal dia telah meninggalkan surat wasiat kepada Hsiau fei dimana semua hartanya akan diwariskan kepadanya. Akhirnya Hsiau fei pulang untuk mengurus harta peningalan ayahnya.

Memasuki halaman rumahnya, timbullah rasa penyesalan yang menyebabkannya sedih sekali memikirkan sikap ketidaksabarannya, khususnya saat wisuda. Hsiau fei merasa sangat menyesal telah menolak ayahnya. Dengan langkah berat dia memasuki rumah dan satu per satu perabot diperhatikannya yang mengingatkannya akan semua kenangan indah tinggal bersama ayahnya. Dengan kunci wasiat yang diterimanya, dia membuka brankas besi ayahnya dan menemukan kitab Buddha Vacana dengan ukiran emas namanya, hadiah hari wisuda. Dia mulai membuka halaman kitab tersebut dan menemukan tulisan ayahnya di halaman depan. “Dengan segala kejahatan yang telah kamu lakukan selama hidupmu, tetapi kamu tahu memberikan yang terbaik untuk anakmu, sungguh para Buddha dan Bodhisattva akan terguncang dengan perbuatanmu.” Tanpa disengaja, tiba-tiba dari sampul kitab tersebut jatuh sebuah kunci mobil BMW dan kwitansi pembelian mobil yang tanggalnya persis satu bulan sebelum hari wisuda Hsiau fei.

Hsiau fei terpaku tanpa bisa bersuara, berbagai perasaan menghinggapinya. Dengan sisa tenaga yang ada, Hsiau fei segera berlari ke garasi dan menemukan sebuah mobil BMW yang telah berlapiskan debu tetapi masih jelas bahwa mobil tersebut belum pernah disentuh sama sekali karena jok mobilnya masih terbungkus plastik. Di depan kemudi terpampang foto ayahnya yang tersenyum bangga. Tiba-tiba lemaslah seluruh tubuhnya, dan air matanya tanpa terasa mengalir terus tanpa dapat ditahannya… suatu penyesalan mendalam atas ketidaksabarannya sendiri…, suatu penyesalan yang tak mungkin berakhir.