easter-japanese

Kasta atau sistem kasta. Apa yang ada di bayangan Anda ketika mendengar kata ini? Tentu kebanyakan dari Anda akan memandang sistem kasta ini sebagai suatu sistem kuno yang sudah ketinggalan zaman. Tapi, pernahkah Anda berpikir kritis mengapa sistem yang kuno dan usang ini (dalam pandangan Anda saat ini) bisa bertahan sedemikian lamanya di India… selama ribuan tahun bahkan sampai detik ini!!! Apakah orang-orang India sedemikian bodohnya mau hidup dalam sistem seperti ini?

Logika apa yang dipakai golongan brahmana untuk menopang cengkraman sistem kasta ini dalam alam bawah sadar masyarakat India? Tidak lain pilar utamanya adalah karma!! Kelahiran Anda sekarang tentu akibat dari karma-karma kehidupan Anda yang lalu bukan? Artinya jika Anda terlahir dalam keluarga kasta rendah seperti budak; itu karena timbunan karma-karma buruk Anda di kelahiran sebelumnya. Atas dasar itulah kasta-kasta rendah sudah selayaknya diperlakukan rendah dan hina sebagai balasan (buah) dari karma-karma buruk yang mereka lakukan pada kehidupan sebelumnya.

Logika inilah yang membuat sistem kasta bertahan sampai dengan hari ini! Para kasta rendah yang meyakini hukum karma ini terpaksa hanya pasrah dan menerima keadaan dan perlakuan buruk terhadap mereka. Bagaimana pandangan Sang Buddha terhadap sistem kasta ini? Sang Buddha mengakui kebenaran tentang adanya hukum karma dan tumimbal lahir akan tetapi Beliau dengan tegas menolak sistem kasta! (padahal sebelum mencapai keBuddhaan, Beliau terlahir di kasta Ksatria yang cukup terhormat). Tapi Sang Buddha tidak menghiraukan kedudukan kastanya yang tinggi dan tetap menolak sistem kasta. Mengapa? Bukankah logika golongan brahmana di atas cukup masuk akal??

Ini karena setiap makhluk bahkan yang paling rendah sekalipun memiliki Bodhicitta (benih-benih keBuddhaan). Ada benih-benih kebajikan yang dapat dilatih dan ditumbuhkan dari dasar batin yang paling mendalam setiap makhluk. Pandangan Sang Buddha telah menembus sekat-sekat duniawi dan melihat potensi bodhicitta yang indah pada setiap makhluk; Beliau tidak lagi melihat rendah-tinggi, kaya-miskin, cantik-jelek. Semua dilimpahi oleh kelembutan dan kasih sayang, oleh perasaan simpati dan welas asih. Keindahan Bodhicitta inilah yang tidak dapat dilihat oleh mata para brahmana yang tertutupi oleh debu kemelekatan duniawi.

Alasan kedua adalah karena karma bukanlah segalanya. Keadaan kita saat ini tidaklah hanya bergantung pada karma semata. Kondisi dan faktor-faktor kesalingbergantungan juga berkontribusi dalam menentukan keadaan kita saat ini. Bukankah selain Karma Niyama; kita juga mengenal adanya Utu Niyama, Bija Niyama, Citta Niyama, dan bahkan Dhamma Niyama! Jadi, meskipun penting dan berpengaruh, karma hanyalah salah satu elemen yang mempengaruhi kondisi kita. Berikutnya, sistem kasta telah menciptakan satu rantai fatalisme. Dengan alasan karma-karma buruk kehidupan sebelumnya, orang-orang yang terlahir di keluarga bercap kasta rendah diperlakukan sangat buruk dan pada umumnya hidup dalam himpitan kemiskinan, tekanan sosial dan depresi batin yang menyiksa. Akibat tekanan sosial dan batin seperti ini, banyak warga kasta rendah melakukan kriminalitas (seperti pencurian, dsb). Lantas kapan mereka akan bisa keluar dari kasta yang rendah ini? Kondisi hidup yang buruk akan menekan mereka untuk melakukan keburukan dan mereka kemudian terlahir lagi dalam keburukan dan seterusnya dst… sampai kapan??

Tambahan pula, kaum brahmana tidak menyadari kebenaran dari Paticcasamuppada (kesaling-terkaitan). Bukankah kebutuhan hidup mereka seperti makanan, pakaian, kenyamanan bisa tersedia juga karena adanya kontribusi dari para golongan bawah, dari para kasta rendahan tersebut? Sudah selayaknyalah mereka menghargai dan menghormati para kasta rendahan. Inilah beberapa alasan mengapa Sang Buddha dengan tegas menolak sistem kasta.

Siraman hangat sang mentari… Arakan awan putih baris-berbaris… Sepoi angin mengalun lembut… Terhiasi oleh Bodhicitta segenap makhluk Marilah kita semua, mulai momen ini juga, mulai saat ini juga, mencoba berlatih dan berlatih, menumbuhkan hati yang bajik.

Mungkin banyak kegagalan ‘kan menghadang Mungkin banyak kesulitan ‘kan menerjang tapi… seraya tersenyum, kita akan mencoba… dan… mencoba lagi…