easter-japanese

Seperti bintang yang melintas, kegulitaan, seperti sebuah pelita, tipuan sulap, seperti embun jatuh, atau bulat buih, seperti mimpi, cahaya kilat, atau awan kelabu, seperti itu pula kita seharusnya memandang semua yang berkondisi. (Vajracchedika Prajna Paramita 32)

Segala eksistensi terus mengalir dalam arus perubahan. Makhluk-makhluk lahir dan mati; bangsa-bangsa bangkit dan runtuh. Seperti halnya ombak di lautan yang pasang dan surut.

Pertama kali menginjakkan kaki di Candi Borobudur, timbul perasaan aneh yang mengisi relung-relung hati kecilku. Mentari hangat sesekali terasa menggigit kulit ketika aku hampir tiba di puncak candi. Relief-relief tua yang kulewati seakan ingin bercerita jutaan kisah dalam suatu masa yang panjang. Tujuh puluh dua stupa indah seolah ingin mengajakku merasakan keheningan batin dan alam semesta, meskipun beberapa di antara stupa tersebut telah mengalami kerusakan. Sawah, pohon, rumah penduduk, dan gunung tampak terhampar di kejauhan. Belaian angin semilir seolah ingin mengajakku kembali ke masa lalu, masa-masa yang telah dilewati Candi Borobudur dari sejak pendiriannya.

Serpih memoriku seakan terlebur kembali ke masa Kerajaan Sailendra, kerajaan besar pertama yang lahir di Pulau Jawa. Kata “Sailendra” sendiri berarti “raja gunung”. Hal ini mungkin karena kerajaan ini terpusat di dataran Kedu di Jawa Tengah agak selatan, suatu wilayah subur dikelilingi gunung-gunung yang sangat sesuai untuk bercocok tanam padi dan terlindung dari serangan armada laut yang sering terjadi di pesisir utara Jawa pada saat itu. Sistem irigasi sawah berkembang dengan baik; hubungan kerajaan ini dengan Kerajaan Sriwijaya juga sangat erat.

Aliansi dua kerajaan ini saling menguntungkan, Sriwijaya menjadi tidak khawatir akan munculnya kerajaan saingan di Jawa dan Sailendra juga mendapat akses ke pasar dunia melalui rute rempah-rempah yang dibangun Sriwijaya.

Pada masa keemasannya, Kerajaan Sailendra bahkan menguasai dua pertiga Jawa bagian timur, Bali, Lombok, pesisir Kalimantan, hingga Sulawesi bagian selatan. Berbagai candi dan vihara juga dibangun, yang pada puncaknya, sekitar tahun 778-824, didirikanlah Candi Borobudur, monumen Buddhis terbesar di dunia. Pembangunan yang masif dan luar biasa ini kemudian menginspirasi pembangunan banyak monumen lainnya di berbagai belahan dunia seperti pagoda-pagoda di Tiongkok dan Angkor Wat di Kamboja.

Akan tetapi, puluhan tahun kemudian, masa redup Kerajaan Sailendra mulai terjadi ketika Dinasti Sanjaya berupaya mengambil alih pemerintahan. Balaputradewa, pangeran Sailendra yang masih bayi pada saat itu, dilarikan dan disembunyikan di hutan. Setelah dewasa, tahun 850, Balaputradewa berupaya merebut kembali tahta Sailendra; akan tetapi, ia kalah dan terpaksa mengungsi ke Sriwijaya. Penduduk Sailendra juga banyak yang diusir keluar dari Pulau Jawa.

Balaputradewa kemudian menjadi Raja Sriwijaya dan berhasil menjadikan Sriwijaya mengalami perkembangan yang sangat pesat. Dinasti Sanjaya juga kemudian mendirikan Kerajaan Mataram. Akan tetapi, pada abad ke-10, Kerajaan Mataram mengalami keruntuhan akibat tekanan militer yang semakin menguat dari Sriwijaya. Akhirnya Sriwijaya terus tumbuh dan bahkan pernah menjadi pusat agama Buddha dunia seperti yang tercatat dalam perjalanan Bhikshu I-Tsing dari Tiongkok. Banyak sarjana dan peziarah dari berbagai belahan Asia berdatangan ke Sriwijaya, seperti Guru Atisha, sarjana Buddhis yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan Buddhisme Vajrayana di Tibet.

Kembali ke Jawa Tengah, Borobudur sendiri telah tertimbun oleh abu vulkanik dari letusan Gunung Merapi. Hingga saat ini masih menjadi misteri kapan letusan Merapi menutupi Borobudur. Letusan yang menimbun Borobudur diperkirakan terjadi pada masa kerajaan Mataram. Setelah tertimbun berabad-abad, akhirnya Borobudur ditemukan kembali tahun 1814. Penemuan ini benar-benar menghebohkan dunia dan menguak kembali jejak kabur sejarah Buddha Dharma di Indonesia yang hampir hilang.

Borobudur dapat dikatakan merupakan titik kulminasi kontribusi umat Buddha kepada bangsa pada saat itu. Tersusun lebih dari 2.000.000 blok batu dan bervolum 56.000 m3, beberapa ilmuan meyakininya sebagai “textbook” raksasa ajaran Buddha untuk membantu manusia mencapai pencerahan. Candi yang berbentuk kuncup teratai ini terbagi menjadi tiga bagian besar yaitu Kamadhatu, Rupadhatu, dan Arupadhatu; yang mencerminkan esensi dari kosmologi dan alam semesta. Relief dinding Borobudur yang panjangnya lebih dari dua mil ini juga mengukir kenangan indah riwayat hidup Buddha Sakyamuni, prinsip-prinsip ajaran Buddha, hingga kehidupan masyarakat lokal di sekitar Borobudur. Ia telah menjadi salah satu keajaiban dunia; ia telah menjadi simbol harmoni antara alam semesta dan kehidupan.

Seabad lebih sudah Borobudur ditemukan kembali. Sudah setengah abad lebih ajaran Buddha lahir kembali di bumi nusantara. Mengapa kita sebagai umat Buddha tidak berusaha untuk memberi “sesuatu” lagi kepada bangsa ini? Apakah jejak spirit bangsa yang terkandung dalam nilai-nilai keluhuran Candi Borobudur telah terkubur selamanya?

Memberi “sesuatu” dalam semangat kebangsaan tidaklah mesti berwujud sesuatu yang “wah” seperti pembangunan Candi Borobudur. Kegiatan-kegiatan positif yang dilakukan dalam masyarakat, meskipun kecil, adalah wujud nyata semangat kebangsaan untuk memberi. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Mahabhiksu Hsing Yun:

Agama Buddha bukanlah agama yang berisi ceramah kosong. Kita harus mulai dengan meningkatkan kehidupan manusia. Kita tidak bisa berharap terlalu tinggi dan melupakan hal-hal yang mendasar. Kita harus realistis. Hanya membicarakan kebenaran tidaklah cukup. Kita harus membuat setiap orang bahagia.

Bagaimana kita dapat menguntungkan orang lain? Bagaimana kita membawa kebahagiaan untuk orang lain? Pembangunan panti asuhan, panti wredha, sekolah, rumah sakit, museum Buddhis, perpustakaan, pusat kebudayaan, pesta perayaan, sekolah minggu, kelas bahasa dan semua jenis kegiatan sosial lainnya adalah wujud nyata kepedulian terhadap umat banyak. Mulai dari sekarang, agama Buddha tidak boleh hanya membangun vihara dan melakukan kegiatan ritual, tetapi juga akan mengikuti apa yang Buddha ajarkan dan membawa pola hidup baru bagi manusia. Saya rasa ini adalah tanggung jawab generasi muda Buddhis dewasa ini untuk menguntungkan dan membawa kebahagiaan bagi semua makhluk. Beban ini cukup berat dan jalannya panjang serta berliku-liku. Jika kita tidak memikul tanggung jawab ini, siapa lagi? Sebelum Parinibbana, ketika pohon Sala berbunga tidak pada musimnya, Sang Buddha juga telah memberikan pesan terakhir kepada kita semua, “All things are impermanent. Strive on with diligence, for the goodness, for the kindness of all………” (Segala yang berkondisi adalah tidak kekal. Berjuanglah dengan giat, demi kebaikan, demi kebajikan semua makhluk………..)

Tidak terasa, senja kemerahan telah menyirami puncak Candi dan menyadarkanku dari lamunan. Perlahan-lahan selimut hitam mulai menutupi cakrawala nan luas. Senja sore telah digantikan oleh kilau bintang kemintang. Bintang kemintang yang pernah menjadi saksi perjalanan Borobudur………, bintang kemintang yang menantikan bangkitnya kembali semangat kebangsaan dalam keluhuran Buddha Dharma…………

Bintang kemintang yang tetap menunggu……. Untuk suatu masa yang panjang……..


Referensi:

  • Franz Metcalf, Apa Yang Akan Buddha Perbuat?, Yayasan Pemuda Buddhayana, Jakarta, 2001.
  • Hsing Yun, Harapan Terhadap Generasi Muda Buddhis, Penerbit Dian Dharma, Jakarta, 2003.
  • Primadi Tabrani, Messages From Ancient Walls, Penerbit ITB, Bandung, 1998.
  • Shen Shian, Menjadi Pelita Hati, Penerbitan PVVD, Bandung, 2000.
  • S. Dhammika & Susan Harmer, Buddha And His Friends, Times Books International, Singapore, 1998.
  • http://en.wikipedia.org/wiki/Borobudur
  • http://en.wikipedia.org/wiki/Sailendra