easter-japanese

Kemajuan sains dan teknologi telah membawa implikasi yang luas terhadap bentuk-bentuk kehidupan. Banyak kemudahan dan manfaat yang telah dirasakan oleh umat manusia. Tersedianya media hiburan, kemudahan mobilitas, peningkatan akses komunikasi dan informasi telah membentuk fase yang sangat berbeda secara signifikan dengan keadaan beberapa dekade lalu.

Di balik gegap gempita kemajuan tersebut, banyak juga kemerosotan yang terjadi. Perusakan lingkungan merajalela, penyimpangan-penyimpangan sosial hingga hal-hal yang pada dasarnya dirasakan hampir setiap orang yaitu kian jauhnya kebahagiaan, kedamaian dan ketentraman batin. Manusia telah mencapai tingkat pemahaman yang tinggi mengenai “matter” (zat, materi) tercermin dari pencapaian luar biasa dalam fisika, biologi, kimia dan berbagai disiplin ilmu yang lain. Hal ini sangat kontras dengan pemahaman mengenai “non-matter” (batiniah) tercermin dari ilmu psikologi saat ini yang belum memiliki fondasi dan kerangka yang utuh dan jelas.

Begitu banyak orang yang terhimpit oleh penderitaan saat ini. Bacalah koran; kriminalitas merajalela dimana-mana yang menimbulkan kekhawatiran, depresi dan kasus bunuh diri semakin meningkat, penyalahgunaan narkoba hingga tindak kekerasan dalam keluarga. Dunia ini membutuhkan siraman rohani yang kuat; butuh kesejukan yang menentramkan. Dunia ini juga butuh pancaran hangat sinar kasih kebajikan yang menerangi relung-relung gelap di dalam batin.

Cakrawala Dukkha (penderitaan) ini sangat luas. Kesedihan, kegelisahan, kekecewaan, putus asa, kegundahan dan kekhawatiran adalah bentuk-bentuk derita. Fenomena-fenomena batin dan pikiran di atas telah mencengkram banyak bagian kehidupan manusia.

Jika ditelusuri, ada dua penyebab dukkha yaitu sebab intern dan ekstern. Sebab intern adalah karena adanya keinginan. Keinginan ini kemudian menjelma menjadi keterikatan. Keterikatan ini menimbulkan lagi keinginan-keinginan. Akhirnya lahir siklus (rantai) kemelekatan. Keinginan-keinginan ini terkadang sangat “gila”. Shih Huang Ti, kaisar Cina, pernah mengerahkan ribuan personelnya untuk menemukan obat abadi. Dia ingin hidup abadi dan berkuasa selamanya. Namun, hasil yang didapat adalah kegagalan. Seandainya saja dia berhasil menemukannya dan mencapai keinginannya untuk hidup abadi; benarkah dia akan bahagia selamanya? Seiring waktu, perlahan-lahan dia akan mulai merasa bosan dan lama kelamaan dia akan merindukan penuaan dan kematian. Ini problem dukkha manusia; rasa tidak puas yang tidak henti-hentinya dan keterikatan terhadap kesenangan dan kesedihan duniawi.

Sebab ekstern dibagi tiga yaitu Dukkha-Dukkha, Viparinama Dukkha, dan Sankhara Dukkha. Dukkha-Dukkha adalah bentuk penderitaan umum seperti lahir, tua, sakit, mati, berpisah dengan orang yang dikasihi. Viparinama Dukkha berkenaan dengan Dukkha akibat perubahan; dari pintar menjadi bodoh, dari kaya menjadi miskin. Viparinama Dukkha ini sangat erat kaitannya dengan Anicca, corak pertama dari Tilakkhana, yaitu bahwa segala yang berkondisi tidaklah tetap, kekal ataupun permanen. Sankhara Dukkha berhubungan dengan Anatta; bahwa segala sesuatu adalah tanpa inti; bahwa esensi dari kondisi adalah Dukkha. Pada dasarnya, suatu sebab ekstern Dukkha adalah kesatuan dari tiga fenomena di atas. Misalkan berpisah dari orang yang dicintai adalah Dukkha-Dukkha, namun hal ini juga merupakan Viparinama Dukkha; perubahan dari kondisi kebersamaan menjadi perpisahan. Hal ini juga Sankhara Dukkha; bahwa dalam fenomena perpisahan (hal ini tentunya ‘berkondisi’) esensinya memang Dukkha. Bahkan kegembiraan juga Dukkha karena tidak kekal. Itulah esensi integral dari Anicca, Dukkha dan Anatta.

Apakah agama Buddha sepesimis ini? Ya, seandainya Buddha tidak menunjukkan jalan mengatasi Dukkha. Para Buddha ‘ada’ di dunia karena adanya Dukkha ini. Agama-agama lahir di dunia sebenarnya karena adanya Dukkha. Ada banyak metode untuk mengatasi dukkha (penderitaan).

Selesaikanlah masalah yang menimbulkan dukkha tersebut. Misalkan kita khawatir tidak dapat mengerjakan soal-soal ujian; belajarlah dengan tekun dan baik. Kita diusik oleh masalah utang-piutang, bereskan masalah tersebut. Namun bagaimana jika masalah tersebut bukan masalah fisis yang dapat segera dibereskan? Misalnya, berpisah dengan orang yang dikasihi?

Carilah stimulus luar, lakukan pelampiasan dengan pengalihan pikiran. Cari hiburan dengan jalan-jalan, main game, dan sebagainya atau membaca buku, majalah atau belajar dengan mengerjakan soal-soal matematika, fisika dan sebagainya. Pikirkan hal-hal lain yang mengalihkan pikiran kita dari hal penyebab derita. Stimulus luar ini bisa juga berupa pergi ke vihara, melakukan kebaktian dan doa, maupun pasrah dan berserah diri; ekspresikan seluruh kegundahan dan kesedihan kita, menangislah sepuasnya. Sang Buddha tidak akan menertawakan hal ini. Sebelum Parinibbana, Buddha telah mengetahui bahwa akan banyak umat yang memujanya, memohon berkah maupun pertolongannya. Sang Buddha tidaklah mengharapkan pujaan yang berlebihan. Beliau hanya berharap para siswanya akan melaksanakan Dhamma dengan baik, memahami hukum-hukum kesunyataan (kebenaran) dan mencapai kebahagiaan tertinggi (Nibbana). Meskipun demikian, Buddha tidak melarang pemujaan terhadap dirinya karena Beliau mengetahui akan begitu banyak umat yang batinnya menjadi lebih ringan setelah menumpahkan segala uneg-uneg kepada Sang Tathagata. Sang Buddha rela mendengarkan keluh kesah dan penderitaan umatnya seperti halnya yang Beliau gambarkan mengenai Bodhisattva Avalokitesvara yang penuh welas asih yang mendengarkan ratap dan jeritan tangis dunia. Sang Buddha mengetahui meskipun manusia kelihatan kuat tetapi sebenarnya lemah. Manusia bagaikan lapisan email gigi yang sangat keras namun dapat hancur bahkan hanya oleh mikroba-mikroba kecil.

Setelah itu, kurangilah keinginan atau keterikatan kita terhadap sesuatu hal. Misalkan Anda takut masalah yang ditimbulkan oleh mobil, hilangkan keinginan memiliki mobil. Ini adalah aspek komplemen yang nyata: banyak keinginan, banyak keterikatan. Banyak keterikatan, maka banyak penderitaan. Mereka yang menjadi bhikkhu/ni atau samanera/ri mengimplementasikan aspek ini. Membatasi dan mengurangi keinginan dapat juga dilakukan dengan menjalankan sila seperti Atthasila. Bisa juga dengan melatih Khanti Viriya (semangat untuk bersabar). Ketika badai derita melanda, teguhkanlah hati dan pikiran dengan kesabaran. Kesabaran memberikan kekuatan untuk menghadapi dukkha. Kesabaran meredakan gejolak kesedihan. Kekuatan Khanti Viriya akan memberikan ketentraman dan rasa tenang. Bersabarlah hingga Anda tidak sabar lagi untuk bersabar.

Lakukanlah meditasi, kurangilah ego, banyaklah berbuat amal dan membantu orang lain, mengasihi satwa dengan berbagai cara salah satunya dengan melepaskannya, menanam kepedulian terhadap penderitaan orang lain juga merupakan bentuk-bentuk penanaman kusala kamma (kamma baik) yang dapat mengurangi penderitaan. Melakukan kebajikan ibarat menuangkan air terus menerus ke dalam larutan garam, yang pada akhirnya dapat mengurangi keasinan. Dengan kata lain garam tersebut ibarat kamma buruk dan kebaikan terus menerus ibarat air yang pada akhirnya jika dituangkan terus menerus dapat mengurangi penderitaan akibat kamma buruk yang telah diperbuat.

Belajarlah dan capailah tingkat pemahaman bijaksana (pañña), latihlah juga Sati Sampajjhana (kesadaran utuh dan kewaspadaan). Dengan memiliki pañña (pemahaman/ kebijaksanaan), ketika kita menghadapi dukkha kita mengerti bahwa esensi atau makna dari kondisi adalah dukkha. Kita juga mengerti bahwa dukkha juga tidaklah kekal dan pasti berlalu. Dalam Vajracchedika Prajna Paramita 32 telah diungkapkan:

Seperti bintang yang melintas, kegulitaan, seperti sebuah pelita, tipuan sulap, seperti embun jatuh, atau bulat buih, seperti mimpi, cahaya kilat, atau awan kelabu, seperti itu pula kita seharusnya memandang semua yang berkondisi. Semua yang berkondisi tidaklah permanen, milikilah pemahaman mengenai hal itu, termasuk juga penderitaan. Bintang yang melintas akan berlalu, embun jatuh akan mengering, mimpi akan berakhir pula dan kebahagiaan maupun kesedihan juga akan berlalu. Terkadang kita telah tahu, telah mengerti bahwa suatu hal membawa dukkha tapi masih juga kita terbawa oleh pusaran dukkha tersebut. Sama seperti orang yang sudah tahu bahwa (maaf) kotoran ayam berbau busuk, ketika terinjak masih juga mencoba untuk menciumnya. Untuk itulah diperlukan Sati Sampajhana (kesadaran penuh). Dengan memiliki pañña dan sati sampajhana, pikiran kita akan terbuka. Ketika kita melihat orang lain, merekapun pada hakikatnya berada dalam selubung dukkha. Cobalah Anda amati makhluk-makhluk di sekeliling Anda jika Anda tidak percaya.

Jadi, metode mana yang terbaik? Jawabannya tidak ada yang terbaik. Pada dasarnya relatif. Dalam beberapa kasus, sebagai contoh mengalihkan pikiran dengan mencari stimulus luar mudah dilakukan, namun mungkin hanya bertahan sebentar, setelah itu magnet pikiran akan menarik lagi bahan-bahan feromagnetik berupa rangkaian-rangkaian dukkha. Melatih pañña dan sati sampajhana memberikan efek yang luar biasa, tapi tidak semua individu dapat mencapainya dengan baik. Metode-metode di atas melengkapi satu sama lain, mereka memiliki goal setting yang sama yaitu melenyapkan dukkha. Dengan mengkombinasikan dan mengaplikasikan metode-metode yang paling sesuai dengan diri kita, dukkha yang kita alami akan dapat tereduksi dan berkurang jauh.

Sebenarnya Dhamma tidak perlu ada jika tiada lagi dukkha di Triloka ini. Ajaran para Buddha ada karena harus menjadi rakit untuk menyeberangkan para makhluk dari samudera kelam dukkha. Sejak awal, “impian” para Buddha dan Bodhisattva adalah membuat “Sang Ajaran” menjadi rakit usang koleksi museum. Dan melalui kontribusi kita semualah, “museum kesunyataan” dapat menambah item terakhir untuk memperkaya koleksinya melampaui jaring-jaring batas alam semesta.

Kicauan merdu para burung, derikan meriah para jangkrik, berkas-berkas hangat sang mentari, kesejukan para embun, semuanya melebur menjadi sunya dan akan menjadi bagian tak terpisahkan dari diri kita semua.

(artikel ini pernah dimuat di BVD no.69 Mei 2004)