easter-japanese

Pikiran kita seringkali mengalir bagaikan arus yang berosilasi, bagai kurva yang berfluktuasi. Pikiran kita mempersoalkan berbagai hal, mulai dari yang sepele hingga yang urgen, yang buruk hingga yang baik, dari A sampai Z, dari nol, satu, dua, sampai tak terhingga. Dalam jasmani yang kecil inilah bersemayam kekuatan luar biasa yakni pikiran. Ialah yang telah membentuk wajah dunia tempat tinggal kita.

Jika disuruh memilih, pikiran akan cenderung merangkul hal-hal negatif ketimbang hal-hal positif. Entah kenapa ya, tapi memang inilah kenyataannya. Coba anda pikirkan ulang apa yang anda pikirkan semenit yang lalu, dalam sejam yang lalu dan sepanjang hari ini, kemarin, dalam 1 minggu terakhir ini. Hitunglah berapa banyak pikiran yang mengandung ego, nafsu, dan kebodohan. Ah, aku mau menulis ke Dhammacitta biar terkenal. Ah, aku mau berdana biar banyak orang-orang tahu. Wah, cakep amat tuh cewek/cowok, asyik kalau bisa bersamanya. Kebohongan apa yang harus aku lakukan ya biar menjadi alasan yang masuk akal. Hari ini makan enak apa ya? Enaknya punya harta melimpah. Anjing itu menggonggong terus, menyebalkan! Aku harus menang, tidak bisa tidak! dan berbagai pikiran yang dipenuhi oleh hal-hal negatif seperti ego, nafsu, dan kebodohan.

Pikiran juga sering diisi hal negatif seperti kesedihan, kecemasan, dan penderitaan. Semuanya ini mengerus kemurnian hati kecil kita; menyiksa badan jasmani; menambah kerutan dan melenyapkan cahaya wajah kita. Alkisah ada seorang nenek tua yang menyayangi kedua cucunya. Cucunya yang satu berjualan es krim dan satunya lagi jualan mi rebus. Nenek ini tiap hari menatap langit dan bersedih memikirkan cucunya. Di kala hari panas terik, ia berpikir pastilah mi rebus cucunya tidak laku dan tentulah cucunya sedang duduk tercenung sambil mengusir lalat. Di kala hujan dan dingin, ia memikirkan cucunya yang berjualan es krim pastilah sedang bersusah hati, memikirkan dagangannya. Hari demi hari, batin nenek yang baik ini semakin tersiksa, tubuhnya semakin kurus, keriputnya makin bertambah membuatnya terlihat lebih tua beberapa tahun.

Suatu hari ia ke vihara dan bertemu seorang bhikkhu. Bhikkhu tersebut merasakan getaran kesusahan hati nenek ini dan bertanya kepada nenek tersebut. Nenek ini menumpahkan segala keluh kesahnya. Sang Bhikkhu tersenyum dan mengatakan kepada nenek itu mengapa ketika hari panas, ia tidak memikirkan saja cucunya yang berjualan es krim; membayangkan wajah cucunya yang gembira ketika es krimnya laku. Ketika hari hujan; ia memikirkan cucunya yang satu lagi, yang gembira ketika dagangannya dikerumuni pembeli. Apakah dengan menyiksa batin dan pikiran seperti itu lalu dapat merubah keadaan? Nenek itu tersadar dan air mata menetes di pipi tuanya akibat luapan kebahagiaan dan rasa lega hatinya setelah sekian lama terkungkung oleh pikiran-pikiran negatif yang menyiksa diri sendiri.

Sebenarnya banyak di antara kita saat ini seperti nenek yang tersiksa tersebut, hanya saja dalam bentuk-bentuk pikiran yang lain. Mengapa sejak saat ini kita tidak belajar mencoba berpikiran positif; tidak lagi menggosipi dan mengomongi kejelekan orang lain, selalu berprasangka buruk, mencari-cari kesalahan maupun memandang rendah orang lain?

Mulailah memikirkan segi positif ketika kita melakukan sesuatu. Misalkan saya berencana mengirim tulisan ke Dhammacitta. Tiba-tiba timbul ide: ngapain capek-capek mikir, nulis, mending tidur aja. Hua-a-hep……buat apa? Dapat apa aku? Habis uang, waktu dan energi saja! Nah…mulailah pikiran negatif bekerja. Pada saat seperti ini cobalah Anda merenungkan aspek positifnya. Oh, tapi dengan menulis; aku bisa mengajak pembaca memupuk kebajikan, menggembirakan hati mereka, yang nantinya akan mereka sebarkan kebahagiaan mereka ke anggota keluarga mereka yang lain, lingkungan, teman dan kerabat mereka yang lain dan seterusnya dan seterusnya. Bukankah kehidupan mereka menjadi lebih harmonis? Jadikanlah hal-hal positif ini sebagai cambuk bagi pikran, semangat atau spirit energi dan makanan bagi pikiran kita setiap hari.

Jika pikiran negatif masih juga muncul, cobalah menempatkan diri Anda sebagai orang lain. Ketika memergoki pencuri, seseorang yang telah mencapai esensi nilai pikiran positif; bukannya menyerang dan menghabisi pencuri tersebut, malah sebaliknya timbul rasa iba di hatinya. Mengapa orang ini mencuri? Pasti ada sebabnya; mungkin ia ingin menghidupi keluarganya, mungkin ia ingin barang tersebut untuk kesenangannya (ia terjerat oleh kemelekatan). Pada dasarnya ia melakukan hal itu untuk apa? Ya mencari kebahagiaan. Hanya saja caranya salah, pengertiannya salah. Kita bagaikan pencuri ini, mencari-cari kesempatan untuk menggaet kesenangan dan kebahagiaan duniawi. Kita kepergok oleh Sang Buddha; Beliau merasa iba kepada kita yang merasa cara dan pandangan kita sudah benar padahal salah. Beliau menunjukkan cara mencapai kebahagiaan secara benar kepada kita yang keras kepala ini.

Akhirnya, cobalah memahami esensi dari segala sesuatu. Jika kita terus berkontemplasi dengan sungguh-sungguh, kita akan melihat bahwa pikiran positif adalah rel bagi kereta perjuangan menuju stasiun kebahagiaan batin. Kedamaian, ketenangan, kebahagiaan dan kebijaksanaan akan mengiringi perjalanan kita bagaikan bayang-bayang diri kita sendiri.

Redakanlah kemarahan Lupakanlah rasa benci Hilangkanlah iri hati Musnahkanlah kebodohan Peluklah orang-orang yang Anda kasihi Selagi Anda dapat melakukannya Maafkan dan sayangilah orang-orang yang Anda benci Selagi Anda dapat melakukannya Suatu saat, ketika Anda membuka lembaran-lembaran ingatan masa lalu; Anda kan melihat betapa konyolnya beberapa perbuatan Anda betapa bodohnya beberapa tindakan Anda Betapa kemudian Anda tersadar hal tersebut hanya tinggal memori masa lalu belaka.