easter-japanese

Banyak dari kita yang mempertanyakan bagaimana agama Buddha memandang masalah homoseksualitas yang belakangan ini menimbulkan pro dan kontra di berbagai belahan dunia, khususnya Dunia Barat. Di Indonesia sendiri perdebatan mengenai masalah ini belum besar. Sebagian mungkin masih bertanya-tanya, khususnya dari kalangan umat Buddha. Tulisan ini dihadirkan guna memberikan penjelasan tentang Homoseksualitas, sehingga diharapkan kita sebagai umat Buddha tidak langsung menghakimi kaum homoseksual.

Tulisan saya ini sebagian besar mengacu pada tulisan A. L. De Silva yang berjudul “Homosexuality and Theravada Buddhism”.

Di zaman modern ini, kita tentu tidak asing lagi mendengar kata “homoseksualitas”. Istilah homoseksualitas mengacu pada daya tarik seksual antara orang yang berjenis kelamin sama, bisa sesama pria ( disebut gay ) maupun sesama wanita ( lesbian ). Kata “homoseks” sendiri mengacu pada hubungan seksual antara orang yang berjenis kelamin sama.

Homoseksualitas bukanlah penyimpangan seksual. Masyarakat umum di Indonesia masih banyak yang berpikir bahwa homoseksualitas adalah salah satu kelainan atau penyimpangan seksual dan tidak alami. Kita tidak bisa mengatakan bahwa homoseksualitas itu adalah suatu penyimpangan karena ketertarikan seksual sendiri ( orientasi seksual ) seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor, terutama lingkungan. Ketertarikan seksual seseorang sudah terbentuk sejak ia masih kecil, sehingga bisa saja pengalaman masa kecil seseorang membuat orientasi seksualnya menjadi homoseksual atau heteroseksual.

Kita juga tidak bisa mengatakan bahwa homoseksualitas itu tidak alami. Buktinya saat ini terdapat banyak kaum homoseksual di berbagai negara, suku maupun ras. Artinya memang alami terjadi pada masyarakat. Bahkan homoseksual telah ada sejak dahulu, dapat kita temukan pada peradaban Yunani kuno. Di India sendiri ( zaman sang Buddha ) sudah ada kaum homoseksual yang feminis. Di dalam Vinaya ada dikatakan tipe orang yang disebut sebagai “pandaka”. Di dalam Vinaya dikatakan bahwa seorang pandaka tidak diperbolehkan ditahbiskan menjadi seorang Bhikkhu. Apabila secara tidak sengaja telah ditahbiskan, orang tersebut akan dikeluarkan dari Sangha. Menurut penjelasan kitab, hal itu disebabkan karena para pandaka tersebut penuh dengan nafsu dan keinginan seksual. Kata “pandaka” sering diterjemahkan sebagai banci atau seorang homoseksual yang berperilaku seperti wanita. Buddha sendiri sangat memahami akan sifat manusia dan mengetahui bahwa para pandaka yang penuh nafsu seksual tersebut akan sangat sulit menjalankan hidup selibat daripada seorang heteroseksual, sehingga tidak memasukkannya sebagai anggota Sangha. Jadi istilah “pandaka” kemungkinan besar bukan mengacu pada homoseksual secara umum, namun pada homoseksual yang bertingkah laku seperti wanita dan penuh nafsu seksual. Di dalam Vinaya dinyatakan dengan tegas bahwa seorang anggota Sangha dilarang berhubungan seksual, sehingga pandaka yang dimaksud tersebut tidak diperbolehkan masuk dalam komunitas Sangha.

Di dalam Sutta Pali tidak disebutkan dengan tegas hal-hal yang berhubungan dengan homoseksualitas sehingga kita dapat mengasumsikan bahwa hal-hal yang berhubungan dengan homoseksualitas dapat kita telaah dengan cara yang sama seperti terhadap heteroseksual. Dalam kehidupan umat Buddha awam antara pria dan wanita, dimana ada kesepakatan bersama dan tidak adanya penyelewengan, dimana hubungan seksual adalah sebuah ungkapan cinta, rasa hormat, kehangatan dan kesetiaan, maka mereka tidak melanggar sila ke tiga Pancasila Buddhis. Begitu pula untuk dua orang yang berjenis kelamin sama yang saling menyukai. Selama mereka saling setia dan menghormat, tidak melakukan penyelewengan, itu berarti tidak melanggar sila ke tiga Pancasila Buddhis. Perlu kita pahami bahwa nafsu seksual atau libido seorang homoseksual tidak berbeda dengan seorang heteroseksual —hanya orientasi seksualnya yang berbeda.

Agama Buddha tidak seperti agama lain dalam memandang homoseksualitas. Di banyak agama, homoseksualitas dipandang sebagai sesuatu yang buruk yang tidak seharusnya ada. Ajaran Buddha dalam melihat segala hal selalu berdasarkan banyak pertimbangan. Tidak secara mutlak menghakimi suatu hal itu baik atau buruk, benar atau salah. Di dalam etika Buddhisme landasan berpikirnya adalah berdasarkan kebijaksanaan dan welas asih, bukan tradisi, tabu maupun tahayul yang berkembang dalam masyarakat. Jadi dalam melihat berbagai hal yang menyangkut tentang homoseksualitas, sebagai umat Buddha, kita perlu mempertimbangkan banyak hal sebelum memutuskan.

Untuk mengetahui etika seksualitas dalam ajaran Buddha, kita dapat menemukan dalam Pancasila Buddhis sila ke tiga yakni menghindari perilaku seksual yang tidak wajar. Memakai tipu muslihat, pemerasan atau paksaan kepada seseorang untuk melakukan hubungan intim dengan kita adalah perilaku seksual yang tidak wajar (salah). Perzinahan merupakan suatu bentuk perilaku yang tidak wajar karena sebelum menikah seseorang sudah berjanji setia dengan pasangan hidupnya. Lebih lanjut, di dalam Anggutara Nikaya V:266 disebutkan bahwa berhubungan seksual dengan anak di bawah umur, pasangan orang lain, orang hukuman, saudara kandung, dan orang yang hidup selibat (Bhikkhu) dikategorikan sebagai perilaku seksual yang salah. Jadi umat Buddha awam perlu mematuhi etika seksualitas dalam bertindak seperti yang diajarkan Buddha, baik ia seorang heteroseksual maupun homoseksual, sehingga tercipta keharmonisan dalam hidup. Untuk kasus seorang Homoseksual, berarti sama saja seperti seorang heteroseksual hanya pasangan hidupnya yang sesama jenis.

Di dalam ajaran Buddha, kita tidak bisa mengatakan bukanlah objek dari nafsu seksual seseorang yang menentukan apakah suatu hubungan seksual seseorang baik atau buruk, melainkan alasan yang melandasi tindakan tersebut. Walau demikian, kadangkala Buddha menganjurkan seseorang untuk menghindari perilaku tertentu, bukan berarti hal ini salah dari sudut pandang etika, namun karena akan bertentangan dengan norma-norma sosial atau melanggar hukum yang berlaku. Untuk kasus seperti ini, Buddha mengatakan agar berusaha menjauhkan diri dari perilaku seperti itu agar membebaskan ia dari kecemasan dan rasa malu yang disebabkan ketidaksesuaian dengan norma masyarakat atau melanggar hukum. Homoseksualitas sudah tentu masuk dalam kategori ini. Dalam hal ini, seorang homoseksual harus memutuskan apakah ia akan mengikuti norma-norma sosial atau mencoba mengubah sikap publik atau masyarakat umum dalam melihat homoseksualitas.

Banyak yang mengatakan, ”Jika homoseksual dilegalkan, akan banyak orang, termasuk kaum muda akan menjadi gay atau lesbi.” Pernyataan ini menggambarkan kesalahpahaman serius terhadap sifat alami homoseksualitas atau mungkin suatu potensi homoseksualitas dalam diri orang yang membuat penyataan tersebut. Hal ini sama lucunya dengan mengatakan bahwa jika bunuh diri bukanlah perbuatan yang melanggar hukum, maka semua orang akan melakukannya.

Apapun penyebab homoseksualitas (banyak pendapat dan perdebatan tentang hal ini), seseorang pastinya tidak akan memilih menjadi seorang homoseksual. Orientasi seksual seorang homoseksual adalah hasil dari genetis (bawaan sejak lahir) atau perkembangan sejak anak-anak dari seseorang, sama halnya dengan seorang heteroseksual. Jadi mau mengubah orientasi seksual seseorang adalah sangat sulit atau bahkan tidak mungkin.

Beberapa orang berpendapat bahwa pasti ada yang tidak beres dalam diri seorang homoseksual karena banyaknya kaum homoseksual yang jiwa atau emosinya terganggu. Kelihatannya ada benarnya dibalik pernyataan ini. Di barat sendiri kita dapat menemukan banyak homoseksual yang menderita masalah kejiwaan, kecanduan alkohol, dan perilaku seksual yang tidak wajar. Namun, menurut data kaum homoseksual menduduki peringkat tertinggi dalam kasus bunuh diri. Kemungkinan besar bahwa para homoseksual yang bunuh diri tersebut secara kejiwaan tertekan. Mereka diperlakukan secara tidak adil oleh masyarakat hanya karena orientasi seksual yang berbeda. Inilah yang menjadi suatu hal yang perlu diperhatikan dan alasan kenapa homoseksualits harus dipahami dan diterima sebagai bagian dari masyarakat.

Memang belakangan ini penerimaan terhadap kaum homoseksualitas mulai terjadi, terutama di negara-negara barat. Di Indonesia sendiri, masyarakat umum masih menganggap jijik, aneh, atau tidak wajar terhadap seorang homoseksual. Masyarakat Buddhis Indonesia sendiri mulai menunjukkan toleransi terhadap kaum homoseksual, walaupun masih ada yang belum menerima sepenuhnya konsep homoseksualitas dan memahaminya. Ajaran Buddha sendiri akan melihat homoseksualitas sendiri sebagai sesuatu yang wajar dan tidak bisa disalahkan atau dibenarkan. Buddha mengajarkan agar jangan terikat oleh nafsu seksual yang berapi-api. Perilaku seksual seharusnya dilakukan dengan wajar entah oleh seorang heteroseksual maupun homoseksual. Ketika kita melihat seorang homoseksual yang bertindak dengan cinta kasih, jujur dan baik dengan seorang heteroseksual yang bertindak buruk, penuh kebencian dan keserakahan, yang manakah yang lebih dapat kita terima? Lalu bagaimana dengan sebaliknya?


Daftar pustaka

  • Dhammika, Shravasti. 2006. Good Question Good Answer. Yayasan Penerbit karaniya
  • Parrinder, Geoffrey. 2005. Teologi Seksual. Yogyakarta : LkiS Yogyakarta
  • Priastana, Jo. 2004. Buddhadharma dan Seksualitas. Jakarta : Yasodhara Puteri
  • Silva, A.L De. “Homosexuality and Theravada Buddhism” dari http://www.buddhanet.net

Referensi Website: