easter-japanese

Salah satu pilar ajaran Buddha yang mendasari cara berpikir Buddha adalah seperti yang tersirat di dalam Empat Kebenaran Mulia (cattari ariya sacca). Di berbagai bagian Sutta Pitaka (Sutta Pitaka adalah bagian dari Tipitaka, Kitab Suci Agama Buddha) dapat kita temukan cara berpikir analisis seperti yang terdapat pada konsep Empat Kebenaran Mulia. Cara berpikir tersebut adalah:

  1. Memahami Suatu Masalah dan menganalisa masalah tersebut
  2. Menyadari dan menemukan ada penyebab masalah tersebut
  3. Mengetahui bahwa masalah dapat teratasi dan mencari cara penyelesaiannya
  4. Menemukan cara mengatasi masalah tersebut dan Menjalankan caranya

Hal tersebut menunjukkan kecerdasan Sang Buddha dan cara berpikir yang logis. Empat Kebenaran Mulia disadari oleh Buddha Gautama ketika beliau mencapai pencerahan :

“Ketika pikiranku yang terkonsentrasi telah demikian termurnikan, terang, tak ternoda, bebas dari ketidaksempurnaan, dapat diolah, lentur, mantap dan mencapai keadaan tak terganggu, aku mengarahkannya pada pengetahuan tentang hancurnya noda-noda (tiga akar kejahatan yaitu: keserakahan/lobha, kebencian/dosa dan ketidaktahuan atau kebodohan-batin/moha). Secara langsung aku mengetahui sebagaimana adanya: ‘Inilah penderitaan’, ‘Inilah asal mula penderitaan’, ‘Inilah berhentinya penderitaan’, ‘Inilah jalan menuju berhentinya penderitaan’; Secara langsung aku mengetahui sebagaimana adanya ‘Inilah noda-noda’, ‘Inilah asal mula noda-noda’, ‘Inilah berhentinya noda-noda’, ‘Inilah jalan menuju berhentinya noda-noda’”

(Dapat ditemukan di dalam Majjhima Nikaya (MN) 4.31 atau MN 36.42)

Empat Kebenaran Mulia ini adalah ajaran yang pertama kali diperkenalkan oleh Sang Buddha dalam khotbah pertamanya di Benares (MN 141.2). Selain itu Empat Kebenaran Mulia juga adalah ajaran khusus para Buddha (MN 56.18), yang berarti setiap Buddha selalu mengajarkan 4 Kebenaran Mulia ini walaupun dengan bahasa yang berbeda atau sistematisasi pembagian ajaran yang berbeda.

Empat Kebenaran Mulia tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Kebenaran Mulia tentang adanya ‘penderitaan’ (dukkha)
  2. Kebenaran Mulia tentang penyebab penderitaan
  3. Kebenaran Mulia tentang lenyapnya penderitaan
  4. Kebenaran Mulia tentang jalan menuju lenyapnya penderitaan

Di sini akan dibahas masing-masing perbagian sesuai dengan sutta-sutta dalam Tipitaka, khususnya Sutta Pitaka (Sutta adalah ucapan Buddha Gotama yang tertulis di dalam Kitab Suci Tripitaka).

Kata penderitaan yang digunakan di sini mewakili kata dukkha, walaupun tidak sepenuhnya dapat mewakili makna kata dukkha. Sebelum lebih lanjut membahas tentang penderitaan (dukkha), kita akan melihat definisi dukkha yang ada di dalam Kitab Suci Tipitaka.

“Kelahiran adalah penderitaan; menjadi tua adalah penderitaan; penyakit adalah penderitaan; kematian adalah penderitaan; kesedihan, ratap tangis, rasa sakit, kesengsaraan (ketidaksenangan) dan keputusasaan adalah penderitaan; tidak memperoleh apa yang diinginkan adalah penderitaan Dengan kata lain Lima kelompok kehidupan (Pancakhandha) yang dipengaruhi kemelekatan adalah penderitaan (dukkha).”

Definisi ini dapat ditemukan di dalam Anguttara Nikaya (AN) VI,63 atau MN 9.15 atau MN 28 atau MN 141.1 atau Samyutta Nikaya (SN) 56.11 (semuanya sama persis)

Definisi dukkha (penderitaan) di dalam Kitab Tipitaka terdapat di dalam beberapa sutta. Pengulangan yang berkali-kali menunjukkan betapa pentingnya pemahaman terhadap Empat Kebenaran Mulia, salah satunya memahami bahwa hidup itu diliputi dukkha (penderitaan)

Memang jika diterjemahkan sebagai penderitaan, kata dukkha akan membuat seolah-olah bahwa agama Buddha memandang hidup adalah pesimis. Namun, dukkha bukan hanya berarti penderitaan dalam artian biasa. Penderitaan disini yang dimaksud adalah penderitaan dari ketidakpuasan seseorang terhadap suatu hal, padahal apapun pasti berubah. Dukkha bisa diartikan sebagai penderitaan karena tidak bisa menerima perubahan.

Sebelum membahas lebih jauh tentang dukkha, perlu diketahui bahwa ciri semua hal yang ada di dunia ini bersifat ‘selalu berubah’. Ini adalah sesuatu yang pasti. Perubahan selalu terjadi, entah disadari atau tidak, diakui atau tidak. Perubahan itu kemudian lebih lanjut dijabarkan dalam kerangka buddhisme sebagai tilakkhana (tiga corak umum). Tiga corak umum mempunyai arti bahwa tiga hal tersebut pasti dan selalu berlaku, yakni ketidakkekalan (anicca), penderitaan atau ketidakpuasan (dukkha), dan tidak ada diri/sesuatu yang tetap (anatta). Ketiganya tak lain mewakili realitas dunia yang selalu berubah.

Jadi dukkha sebenarnya adalah cara pandang manusia terhadap perubahan itu. Dukkha adalah penderitaan atau ketidakpuasan karena manusia tidak bisa hidup kekal (anicca). Konsep perubahan diwujudkan dari 3 sisi pandang yaitu:

  1. Bagi alam atau benda mati dikatakan sebagai anicca (tidak kekal)
  2. Bagi cara pandang manusia terhadap dirinya sendiri dikatakan sebagai dukkha (menderita karena merasakan perubahan)
  3. Bagi manusia atau mahkluk hidup dikatakan sebagai anatta (tidak ada diri yang tetap abadi tanpa perubahan atau roh/jiwa yang kekal tanpa perubahan)

Jadi dukkha di sini menjadi jelas jika memandangnya dari sudut manusia terhadap diri sendiri dan itu berarti dukkha lebih tepat dikatakan sebagai penderitaan karena cara pandang yang salah terhadap kenyataan. Dengan kata lain dukkha terjadi karena manusia masih bersifat subjektif dalam memandang realitas segala sesuatu, yaitu perubahan.

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa perasaan tidak puas karena kehilangan atau perubahan itulah yang dinamakan dukkha. Dengan pemahaman terhadap penderitaan (dukkha) seperti itu, kita dapat melihat bahwa penderitaan tersebut diakibatkan oleh ‘perasaan tidak puas’. Di dalam konteks buddhis, dinamakan tanha. Tanha adalah nafsu keinginan yang melekat. Melekat artinya jika tidak mendapatkan, maka akan menderita. Kita perlu memahami dengan jelas keinginan biasa dan keinginan yang melekat. Contohnya adalah seorang anak kecil yang ingin mainan. Ia terus ingin dan ingin padahal faktor penunjang untuk mendapatkan mainan tersebut tidak ada. Akhirnya anak tersebut menangis dan ia merasa menderita. Seandainya anak tersebut hanya ingin, namun ia sadar bahwa kenapa orang tuanya tidak membelikannya, keinginannya menjadi hal yang wajar dan tidak melekat. Sama seperti Sang Buddha yang masih ingin makan, namun tidak melekat pada makanan. Sang Buddha tidak menderita ketika tidak mendapat makanan, namun bukan berarti Sang Buddha tidak ingin makan. Seandainya Sang Buddha tidak ingin makan, maka proses makan tidak akan ada dan akan merugikan dirinya sendiri.

Akar dari keinginan yang melekat adalah ketidaktahuan (avijja). Ketidaktahuan (avijja) adalah ketidaksadaran pada suatu momen (saat ini) akan realitas dunia ini yang selalu berubah. Contohnya adalah anak kecil yang ingin mainan tersebut. Seandainya anak kecil tersebut mengerti bahwa keinginannya hanya sesaat dan belajar dari pengalaman sebelumnya bahwa mainan tersebut lama-kelamaan akan membuatnya bosan juga, ia akan terbebas dari keinginan yang melekat. Jadi ketika keinginan datang menghampiri, kita harus hati-hati untuk tidak terikat kepadanya. Pikiran dan renungkan dengan bijak apakah keinginan tersebut betul-betul kita butuhkan atau hanya untuk memuaskan keserakahan kita.

Di dalam sammaditthi sutta (MN 9.17) dikatakan berhentinya penderitaan adalah pemudaran dan penghentian tanpa sisa, penyerahan, pelepasan, membiarkan pergi, dan penolakan nafsu keinginan. Jadi Sang Buddha mengajarkan bahwa keinginan berlebihan yang melekat dapat dihilangkan dari pikiran kita. Ketika keinginan manusia menjadi wajar, tidak melekat, tidak serakah maka kebahagiaan sejati (nibbana) telah ia alami.

Nibbana sebagai kedamaian atau kebahagiaan sejati adalah ketika penderitaan lenyap, ketika akar penderitaan yaitu keserakahan (lobha), kebencian (dosa) dan kebodohan batin (moha) telah lenyap. Itulah Nibbana, kebahagiaan sejati yang saat ini dapat kita alami karena sifat keserakahan, kebencian dan kebodohan batin dapat kita hancurkan saat ini juga dengan ketidakserakahan atau ketidakmelekatan (berdana), ketidakbencian atau cinta kasih dan welas asih, serta dengan kebijaksanaan sejati.

Sang Buddha mengatakan bahwa beliau hanyalah seorang penunjuk jalan menuju kebahagiaan sejati (nibbana). Beliau mengajarkan bagaimana melatih diri untuk mengendalikan sifat-sifat negatif. Buddha tidak bisa membawa sesorang ke Nibbana karena nibbana hanyalah sebuah kondisi batin (pikiran, perasaan) yang berbeda pada setiap orang. Yang dapat membuat diri kita mengalami nibbana (kebahagiaan sejati) adalah diri sendiri dengan melatih seperti yang diajarkan beliau yakni Jalan Mulia Berunsur Delapan. Jadi berhentinya penderitaan (dukkha) sama artinya dengan tercapainya nibbana.

Sang Buddha memberikan gambaran akan realitas kehidupan, yakni ketidakpuasan atau penderitaan, penyebabnya dan setiap orang dapat mencapai kebahagiaan sejati (nibbana) saat ini juga dengan melenyapkan penderitaan (dukkha). Untuk dapat mencapai kebahagiaan sejati, Buddha mengajarkan suatu cara yang dapat dilakukan setiap orang. Cara tersebut dinamakan Jalan Mulia Berunsur Delapan. Inilah jalan yang akan membawa siapapun kepada kebahagiaan sejati jika telah sempurna dilaksanakan dan telah menjadi bagian dari setiap tindakan yang dilakukan seseorang baik dari agama, ras, suku apa pun juga. Jadi ketika cara pandang seseorang serta tindakannya sesuai dengan Jalan Mulia Berunsur Delapan—baik ia seorang beragama atau tidak—pasti kebahagiaan sejati akan dialaminya.

Kedelapan bagian dari kesatuan jalan yang saling terjalin tersebut adalah pandangan benar, pikiran atau niat benar, ucapan benar, perbuatan benar, mata pencaharian atau penghidupan benar, upaya benar, perhatian atau perenungan benar, dan konsentrasi atau kesadaran benar. Kita memandang kedelapannya sebagai satu kesatuan seperti seutas tali yang terjalin yang saling memengaruhi. Kita melihatnya sebagai sebuah kesatuan yang tidak terpisahkan. Ketika suatu perbuatan yang dilakukan baik, hal tersebut berarti pikirannya baik. Ketika sebuah ucapan seseorang bermanfaat, berarti pikirannya dipenuhi oleh cinta kasih. Pikirannya benar (positif) karena pandangannya benar. Sehingga kedelapannya adalah satu kesatuan dengan pusat talinya adalah pandangan benar.


Daftar Pustaka

  • Kitab suci agama buddha. 2004. Majjhima Nikaya 1. Klaten: Vihara Bodhivamsa Wisma Dhammaguna.
  • Kitab suci agama buddha. 2005. Majjhima Nikaya 2. Klaten: Vihara Bodhivamsa Wisma Dhammaguna.
  • Kitab suci agama buddha. 2006. Majjhima Nikaya 3. Klaten: Vihara Bodhivamsa Wisma Dhammaguna.
  • Kitab suci agama buddha. 2002. Petikan Anguttara Nikaya 2. Klaten: Wisma Meditasi dan Pelatihan DHAMMAGUNA.
  • Wijaya, Willy Yandi. 2008. Pandangan Benar. Yogyakarta: Insight Vidyasena Production.
  • http://www.accesstoinsight.org/ptf/dhamma/sacca/sacca1/index.html