William Halim
Pada saat-saat awal saya mengenal ajaran Buddha, saya pernah mengajukan pertanyaan sbb:
Saya: Apakah awal pertama dari alam semesta? Teman: Berdasarkan ajaran Buddha, awal alam semesta adalah tidak terpikirkan Saya: kok tidak terpikirkan? harus ada sesuatu yg awal dong. Teman: kenapa sesuatu itu harus ada awalnya? Bukankah sesuatu itu tidak harus ada awal yg absolut adalah lebih masuk akal? Saya: Lho, sesuatu itu harus ada awalnya dong, mana mungkin tiba-tiba ada Teman: awal yg pertama adalah tidak terpikirkan, contoh: adakah bilangan yg terkecil atau adakah bilangan yg terbesar? jawabannya adalah tidak terpikirkan.
Saat itu saya langsung tersadarkan, bahwa selama ini pikiran saya telah “terkonsep” bahwa sesuatu itu harus ada awalnya, padahal kenyataan yg ada tidaklah begitu. Saat itu adalah salah satu peristiwa (selain banyak lagi persitiwa) dimana pola pandang saya langsung berubah drastis.
Peristiwa diatas merupakan salah satu contoh bahwa TIDAK ADA PERTANYAAN YANG SIA-SIA. Padahal pertanyaan saya itu termasuk kategori Accinteya (tidak ternalarkan oleh pikiran manusia biasa), tetapi: PERTANYAAN adalah PERTANYAAN. Pertanyaan timbul karena kita tidak mengerti sesuatu. Tidak ada yang salah bagi seorang yang tidak mengerti dan mengajukan pertanyaan.
Apakah si penanya, setelah mengajukan pertanyaan akan menjadi mengerti atau tidak, tergantung pada dua hal. Pertama: Kepiawaian pihak yang mengerti dalam memberikan penjelasan Kedua: Kebijaksanaan dan bathin si penanya dalam menerima dan mengolah jawaban
Jadi, kembali kepada contoh diatas, bagi sebagian orang pertanyaan saya kelihatannya pertanyaan dangkal dan hanya mencari kepuasan intelektual (bisa jadi begitu), namun ternyata dari jawaban yang diberikan, saya malah mendapatkan suatu pandangan baru yg memecahkan konsep lama saya.