easter-japanese

Dalam jaman yang materialistis ini, banyak hal diukur dengan materi. Kesuksesan sudah identik dengan jumlah materi yang ada. Derajat kewibawaan, kepercayaan, bonafitas, kehormatan dan masih banyak lagi, dengan gampangnya dapat diperoleh hanya dengan memperlihatkan jumlah materi yang dimiliki.

Lalu saya mulai berpikir, jangan-jangan ukuran berkembangnya sisi spiritual manusia pun diukur dengan jumlah materi yang tampak. ? Apakah manusia mulai memprioritaskan sisi materi untuk membangun spiritual ? Sulit dipercaya, namun semakin hari saya semakin melihat kecenderungan ini. Buktinya banyak yang berlomba-lomba dan habis-habisan membangun dari sisi materi namun kemajuan moralitas sepertinya ketinggalan jauh.

Semakin hari semakin banyak dan semakin besar tempat-tempat ibadah, kemewahan ritual atau upacara keagamaan, organisasi dengan dukungan dana yang besar dsb dijadikan ukuran keberhasilan dan berkembangnya suatu ajaran spiritual. Banyak orang yang setelah melihat banyaknya hal-hal demikian kemudian berkata, “Betapa berkembangnya ajaran spiritual itu “.

Tetapi apakah sisi spiritual manusianya juga berkembang sesuai ukuran keberhasilan tadi ?. Faktanya, kejahatan, keresahan dan ketidakdamaian malah semakin menjadi. Bahkan sangat tidak jarang yang mengatasnamakan dan justru mengusung simbol-simbol agama tadi. Penjara-penjara bahkan lebih banyak lagi didirikan. Suatu kecenderungan yang bisa membuat kita berkesimpulan bahwa ternyata semua bangunan fisik, simbol-simbol agama, pakaian, ritual, upacara dan sebagainya tidak dapat dijadikan parameter kedewasaan dan berkembangnya sisi spiritual manusia. Tidakkah kita keliru apabila menggunakan materi sebagai ukuran perkembangan spiritual ?

Bukankah kita diajarkan bahwa ukuran spiritual yang sejati tetap ada didalam diri ? Berada ditempat yang sangat pribadi dan tidak terjangkau oleh siapapun atau mahkluk apapun kecuali diri sendiri. Tetapi, barangkali karena dunia yg materistik, seolah ukuran ini pun bisa digantikan dengan hal yg bersifat materi dan kasat mata. Dan kita pun sepertinya ikut-ikutan terpengaruh dengan semua yang bersifat tampak luar saja.

Mungkin kita tidak merasa seperti itu, tetapi sebenarnya yang terjadi adalah : kita tidak menyadarinya. Alam bawah sadar kita membawa kita berbuat sesuatu yg kelihatan taat, kelihatan baik, kelihatan rajin, kelihatan patuh, kelihatan patut, kelihatan sesuai, kelihatan ini dan kelihatan itu. Kita tidak menganggap penting hal-hal yang tidak kelihatan, yang sebenarnya adalah nilai dan kwalitas sejati dari setiap perbuatan, yang sejatinya adalah Dhamma itu sendiri.

Seperti cerita klasik tentang Nasruddin yang mencari jarum jatuh. Jatuhnya didalam rumah, tetapi mencarinya diluar karena didalam rumah lebih gelap katanya. Cara seperti ini lebih gampang, tetapi tidak akan pernah mendapat solusi. Bodoh kedengarannya, tetapi begitulah paradoks yang pernah kita lakukan. Hanya semata-mata berpikir itu adalah jalan yang lebih singkat dan gampang. Mengembangkan cinta kasih dengan marah-marah, mendapatkan kedamaian dengan cara berperang, menjadi orang pahlawan dengan menumpas semua musuh. Bermaksud menegakkan kebenaran, tetapi yang dilakukan adalah sebaliknya, menjauhi kebenaran !!

Oleh karena itu, kalau anda juga setuju dengan pandangan ini, marilah kita kembali memprioritas semua yang ada dalam. Bukan yang diluar. Mulailah mengembangkan dan mendewasakan sisi spiritual kita dari dalam diri yang tidak tampak. Bukan sebaliknya berlomba-lomba menunjukan hal yang diluar diri melulu saja. Hal yang lebih gampang terlihat oleh orang lain untuk memperoleh pengakuan yang sesungguhnya justru menunjukan ketidakberkembangan sisi yang ada didalam diri. Kembalilah berprioritas pada ukuran spiritual yang ada dalam diri, bukan pada materi yang tampak diluar.