easter-japanese

Saya pernah memperhatikan reaksi anak-anak balita pada saat bertemu dengan badut dalam suatu acara ulang tahun. Ada anak-anak yg senang sekali. Mereka mendekatinya, bersalaman dan bercanda-canda dengan badut tokoh kesukaannya. Tetapi ada sebagian anak yg malahan takut melihat badut itu. Mereka menangis dan lari menjauh. Bahkan ada yg ketakutan dan bersembunyi di kolong meja. Para orang tua anak-anak yg ketakutan berusaha menenangkan anaknya, ada yg berusaha meyakinkan anaknya bahwa badut itu tidak berbahaya, hanya bohong-bohongan dan dibalik baju badut itu adalah orang juga. Tetapi ternyata kecerdasan anak itu tidak membuat hilang ketakutannya.

Sebagai orang dewasa, umumnya reaksi kita biasa-biasa saja apabila bertemu dgn badut. Kita tenang-tenang saja karena kita tahu bahwa badut itu sama sekali tidak ada. Kita tidak antusias ingin bermain, bercanda ataupun takut atas kehadiran ‘makhluk aneh’ itu. Tetapi mengapa reaksi anak-anak balita bisa berbeda ? Apa sebenarnya yg dialami semua anak-anak itu ? Kalau saya amati, kelihatannya mereka semua percaya bahwa apa yg mereka lihat itu adalah NYATA dan ADA. Mereka yg tidak takut merasa benar-benar bertemu dengan tokoh idolanya, sehingga merekapun larut bermain dalam imajinasi.

Sementara mereka yg takut, merasa yakin bahwa yg didepannya ada sesosok makhluk yg menakutkan. Meskipun telah dijelaskan dan diberi pengertian, namun tetap saja anak-anak lebih percaya pada apa yg terlihat oleh mata nya itu. Baik yg takut maupun yg tidak, semuanya hidup dalam dunia hayalan mereka. Mereka dikuasai sepenuhnya oleh pikiran mereka. Kemudian lagi ada contoh pengamatan saya yg lain, yaitu pada saat menonton film 3 dimensi / 4 dimensi. Tema saat itu adalah pesawat angkasa.

Kita seolah-olah duduk didalam pesawat tersebut dan terbang keluar angkasa. Untuk membuat penonton ‘lupa diri’, kursi-kursi tempat dudukpun dibuat sedemikian rupa sehingga bisa bergerak kedepan, kebelakang, kekanan, kekiri, berputar dsb. Semua itu agar penonton dapat merasa benar-benar sedang berada dalam pesawat yg sedang terbang. Film pun dibuat tegang seperti misalnya pada saat pesawat menabrak meteor. Ada getaran dari kursi-kursi yg diduduksi tadi dan ada suara yg menggelegar. Para penonton pada saat itu berteriak seolah-olah benar-benar berada dalam pesawat yg sedang menabrak meteor. Semuanya ‘lupa diri’. Semuanya hanyut dalam cerita dan pengalaman yg tidak nyata itu. Pesawat kemudian jatuh dari ketinggian dan utk kesekian kalinya semuanya menjerit histeris, termasuk saya waktu itu.

Tetapi pada saat film sedang diputar, tiba-tiba saya ingin bereksperimen. Saya mencoba ‘sadar diri’. Saya melihat ke kanan kiri, lalu ke kursi yg saya duduki. Ternyata semua gerakan pada saat pesawat mutar, jatuh, terbentur dsb semata-mata adalah gerakan kursi saja, kita tidak sedang jatuh dan kita berada dalam ruangan yg sama sekali diam tidak bergerak. Jantung saya pun tenang, stress menurun dan saya mulai tidak terpengaruh lagi dengan tontonan tadi. Pada saat sedang saya mengamati, para penonton masih terus berteriak histeris. Saat itu saya tersenyum melihat jatuhnya ‘pesawat’ yg saya tumpangi. Saya bisa tenang karena saya sudah ‘sadar diri’. Saya tidak lagi dikuasai oleh ilusi pikiran tetapi sadar dengan apa yg sebenarnya sedang terjadi. Kata teman, saya rugi karena tidak menikmati permainan ini. Tetapi saya justru merasa beruntung dapat melakukan eksperimen yg diluar rencana ini.

Barangkali anda bisa melihat dari sisi yg berbeda dan memberi penjelasan yg lebih tepat utk contoh diatas, namun saya coba melihat dari sisi yg satu ini. Bahwa kedua contoh tadi adalah analogi yg menggambarkan batin yg ‘belum dewasa’ dan ‘goyah/rapuh’. Batin yg belum seimbang dan sering terombang-ambing. Hal ini karena kita gampang sekali percaya dengan halusinasi pikiran kita dan seolah-olah fatamorgana yg tercipta itu adalah nyata. Kalau kita coba memperhatikan gerakan pikiran dari satu bentuk ke bentuk pikiran yg lain, barangkali kita akan menyadari bahwa hampir sebagian besar jam dari hidup kita habis terseret oleh arus pikiran kita sendiri. Kita bahkan hampir tidak pernah sadar atau tau-tau telah hanyut dalam lamunan yg tidak ada hubungannya dengan apa yg sedang kita kerjakan saat ini.

Tidak ada suatu apapun yg kita siapkan utk ‘membangunkan’ serta ‘mengingatkan’ diri utk selalu sadar. Dan ketidaksadaran itu pulalah yg membuat kita ‘lupa diri’. Tetapi kita menganggap semua kondisi kita saat ini sudah benar dan normal adanya. Kita selalu yakin begitu saja dengan apa yg kita lihat itu nyata, kita dengan senang hati hidup dalam hayalan, kita percaya bahwa “Aku” itu nyata ada seperti layaknya anak kecil yg percaya pelangi itu ada. Pada saat kita melihat selembar papan kayu, mungkin tidak ada reaksi apa-apa dalam batin kita semua yg melihatnya. Tetapi pada saat papan itu telah dibuat menjadi Peti Mati, maka reaksi batin kitapun berbeda-beda utk satu objek yg sama. Ada yg memang tetap tenang, tetapi tidak sedikit yg mulai timbul seribu satu macam pikiran lengkap dengan hayalan-hayalan.

Faktanya memang bukan objeknya yg bermasalah, karena sebenarnya objeknya tetap dan sama. Namun mengapa reaksi batin bisa berbeda?. Kata seorang guru, begitulah batin yg belum dewasa (tetapi bukan idiot maksudnya). Batin orang yg masih ‘bodoh’, belum bijaksana karena belum mampu melihat realita. Mirip dengan anak kecil yg takut pada badut, papan juga menakutkan mereka yg batinnya belum bisa melihat apa adanya. Ada orang yg timbul nafsu pada saat menonton goyang inul, tetapi ada pula yg tidak merasa begitu. Sebagian org marah ketika mendengar sukunya dihina, namun sebagian lagi adem-adem saja. Banyak org yg timbul perasaan takut pada saat melihat mayat, tetapi ada org yg justru berani tinggal dirumah yg berada ditengah kuburan. Mengapa ada yg bernafsu, marah dan takut sementara yg lain tidak ? Sekali lagi…, ternyata kita diombang-ambing oleh reaksi batin kita sendiri karena kita menggantungkan dan mengikatkan kuat-kuat batin kita pada objek diluar. Itu sebabnya batin menjadi TIDAK BEBAS dan menjadi TIDAK BISA TENANG. Inilah akar dari segala macam penderitaan hidup kita yg sesungguhnya.

Objek yg kontak dengan indra (mata, telinga, kulit,hidung, lidah dan pikiran) tidak dapat kita pilih, namun reaksi batin atas objek itulah yg sepenuhnya dapat kita latih. Oleh karena itu, mulailah berlatih. Jagalah batin kita masing-masing agar tetap tenang dan seimbang. Ketahui lalu diamatilah setiap reaksi batin sekecil apapun seperti gelisah, takut, khawatir, benci, marah, bosan, birahi dsb. Reaksi ini semakin lama akan semakin jarang muncul, mulai hilang kekuatannya, batin akhirnya menjadi seimbang dan kebahagian sejatilah yg kita rasakan dalam batin yg telah dewasa. Jangan hanya percaya atau mengerti saja, tetapi buktikan dan alamilah sendiri. Demikianlah pemahamanku atas apa yg diajarkan oleh guruku ……

Semoga sharing ini bermanfaat.