Wi Tjong
Hi semuanya, saya ingin memulai membahas topik ini dengan satu cerita lama :
Alkisah hiduplah seorang pak tua dengan seorang putranya yang baru menginjak dewasa. Mereka hidup sederhana disebuah gubuk dilereng gunung dengan halaman yang cukup luas untuk berternak. Pada suatu hari bapak ini menemukan seekor anak kuda. Kemudian muncul niat orang tua ini membawa pulang anak kuda tersebut utk dipelihara. Setiap hari anak kuda ini dirawat dan dipelihara dengan penuh kasih sayang. Dipelihara dengan tulus, tanpa mengharap suatu hari kudanya akan laku dijual dsb. Sampai suatu hari anak kuda ini tumbuh menjadi seekor kuda dewasa yang besar dan kuat. Mereka sangat menyayangi kuda tersebut dan bahkan sudah dianggap seperti anggota keluarga.
Suatu hari, seorang kaya kebetulan lewat dan sangat tertarik dengan kuda tersebut. “Kuda terbagus yang pernah saya lihat”, demikian pikirnya. Singkatnya, ditawar dengan harga 3 kali lipat harga seekor kuda pada umumnya pun, kuda itu tetap tidak dijual oleh pak tua yang tidak kaya itu. Tetangga yang mendengar kabar tersebut mendatangi pak tua dan berkata ,”Engkau menolak rejeki. Itu kan karma baik anda, mengapa tidak anda ambil ?”. Pak tua menjawab,”Jangan membuat kesimpulan apapun. Apakah itu karma baik atau karma buruk, kita tidak tau apa-apa. Katakan saja, saat ini kudanya tidak dijual. Itu saja.”. Para tetangganya bingung dan tidak mengerti jalan pikiran pak tua ini.
Beberapa minggu kemudian, kuda itu lari dari kandangnya dan masuk kedalam hutan. Para tetangga kemudian berkata, “Karma buruk berbuah. Benar kan kataku,? kalau saja waktu itu kudanya dijual, kan tidak ada penyesalan.” Pak tua itu berkata,”Tidak ada yg perlu disesali. Jangan berpikir macam-macam, Katakan saja, saat ini kudannya tidak ada dikandang. Itu saja.”
Beberapa hari kemudian, ternyata kudanya pulang kekandangnya dengan membawa 5 ekor kuda lainnya. Tetangga kembali mengambil kesimpulan, “Rupanya kita keliru, yang kita kira karma buruk, ternyata adalah karma baik. Untung saja tidak dijual kudanya”. Pak tua itu kembali mengingatkan, “Jangan memberi analisa apapun. Katakan saja, kudanya saat ini ada dikandang dengan 5 ekor kuda liar lainnya. Itu saja”.
Kelima kuda kemudian dilatih oleh anaknya pak tua, agar menjadi lebih jinak. Tetapi kemudian anaknya jatuh dari kuda dan mengalami patah kaki. Seperti biasa tetangganya memberi komentar lagi,”Wah kita keliru lagi, yg kita kira karma baik ternyata adalah karma buruk. Susah ditebak” Pak tua tidak bosan mengingatkan tetangga,”Jangan suka menerka. Katakan saja kaki anak saya patah. Itu saja.”
Dua minggu kemudian setelah anak pak tua mengalami patah kaki, ternyata terjadi perang. Pemerintah mewajibkan semua lelaki yang masih kuat dan sehat untuk ikut berperang. Dan anak pak tua tidak diwajibkan utk berperang, sementara beberapa tetangganya menangis sedih karena anak lelaki diwajibkan ikut. Kali ini, tidak ada satupun yang memberi komentar apa-apa. Apakah ini karma baik ? Ataukah ini adalah karma buruk ?
Mari kita membahas contoh kasus diatas. Kita umumnya punya kebiasaan yg sama dengan tetangga pak tua. Pada saat terjadi suatu, kita suka memberi komentar, label, kesimpulan, persepsi, analisa terhadap sesuatu, meskipun terkadang tidak diperlukan sama sekali. Sesuatu yang kelihatannya tidak baik, bisa menjadi baik. Sebaliknya sesuatu yg kelihatannya buruk, pada kenyataanya adalah mulia.
Para pakar psikologi mengembangkan teori Positive Thinking dan Reframing dan orang Indonesia juga punya teori “Untung” dalam menghadapi masalah. Untung tidak sampai parah, untung tidak habis terbakar dsb. Yang intinya untuk menerima kenyataan dan melihat dari sisi yg positif. Semua cara ini digunakan agar manusia bisa hidup lebih bahagia, lebih baik, lebih santai, lebih bersemangat, lebih optimis dsb. Sehingga apabila nasi menjadi telah menjadi bubur, maka mereka menganjurkan utk membuat bubur ayam. Sehingga setelah diberi macam-macam bumbu, orang yang tidak suka makan buburpun bisa sedikit menikmatinya. Baik, bagus dan bermanfaat.
Tetapi saya mendapat cara yang berbeda dari Buddhism. Umat Buddha diajarkan untuk menyelesaikan masalah sampai ke akar-akarnya. Mencari sumber masalah yang memang sebenanrya ada didalam diri kita. Bukan diluar diri sehingga tidak perlu merubah bubur menjadi bubur ayam. Bubur putih pun bisa dinikmati. Karena setelah mengatasi sumber permasalahannya, maka masalah apapun tidak ada lagi. Karena pada tingkat kebenaran sejati, tidak ada yg namanya baik dan buruk, tidak ada yg jelek dan bagus. Benarkah ? Benarkah tidak ada yang namanya karma baik dan karma buruk ? Bagaimana bisa begitu ?
Dikatakan dalam Buddhism, bahwa semua masalah timbul dari pikiran kita sendiri. Pikiran yang dikotori oleh Dosa dan Lobha. Dosa (kebencian) yang sifat sejatinya dari dulu adalah menolak, tidak ingin, tidak suka, tidak menerima dsb , sementara Lobha (keserakahan) memiliki sifat sejati yg berlawan dengan Dosa yaitu : meraih, ingin lagi, tergiur, suka, terikat, melekat dsb.
Apabila Dosa yg memegang kendali maka muncul perasaan tidak suka, benci, penolakan dsb sehingga dengan gampangnya kita memberi label “Ah, Karma Buruk”. Sebaliknya apabila Lobha yang memegang kendali, maka timbul kemelekatan, nafsu keinginan, ambisi meraih, keserakahan dsb, biasanya kita berkata “Nah ini dia, Karma Baik ku”
Pada tingkat kebenaran sejati, semuaya adalah netral. Semuanya adalah permainan Dosa dan Lobha. Dosa lah yang menolak dan Lobha lah yang melekat pada objek. Tetapi celakanya, kita sudah terlanjur mempercayai Dosa dan Lobha itu sebagai bagian dari diri kita dan bahkan menganggap mereka adalah diri kita. Seolah diri kita lah yg suka dan tidak suka serta ingin dan tidak ingin. Akibatnya apapun yg “diperintahkan” oleh Dosa dan Lobha, akan kita lakukan. Hampir tidak perlu diseleksi dan disensor, Hampir setiap bentuk dosa yg muncul langsung kita ikuti, dan hampir setiap model lobha yg muncul juga kita turuti. Karena begitu yakinnya kita bahwa Dosa dan Lobha adalah diri kita.
Apabila Dosa sedang melakukan penolakan, membenci, tidak suka, maka kita berpikir “Aku benci, Aku tidak suka atau Aku sedang menderita”, sebaliknya apabila Lobha gagal meraih,, gagal mencapai harapan, kenyataan tidak seperti keinginan dan kita bilang “AKU sedih, Aku kecewa”. Karena dosa dan lobha itulah timbul ilusi yg disebut AKU. AKU senang, AKU sedih, AKU menderita, AKU gembira dsb.
Celakanya lagi, kita bahkan tidak tidak kenal dengan Dosa dan Lobha. Tidak mengetahui dan tidak menyadari kehadirannya. Mereka adalah tamu tak diundang, tetapi datang dan bersembunyi begitu rapi dalam pikiran. Mereka bekerja begitu halus. Dan yg paling parah adalah bahwa kita tidak tahu mereka telah lama mengendalikan diri kita. Mengapa bisa demikian ?
Semuanya karena “kebodohan” batin, kegelapan batin dan ketidaktahuan batin yg disebut MOHA. Hanya pada saat telah berhasil menghilangkan MOHA lah seseorang dapat melihat dengan jernih, apa adanya, tanpa mengikut sertakan Dosa dan Lobha, maka Dosa dan Lobha akan terlihat dengan jelas sekali. Dan pada saat itulah kita akan membuktikan sendiri bahwa diri kita bukanlah pikiran itu sendiri. Dan menemukan kenyataan bahwa AKU ternyata adalah ilusi, ternyata tidak ada, ternyata kosong.
Tanpa Dosa dan Lobha (tanpa persepsi, tanpa kesimpulan, tanpa analisa, tanpa membanding-bandingkan dsb), maka hidup menjadi sangat sederhana sekali. Makan hanyalah makan. Tidak ada dosa yang menolak makanan yang kurang enak, tidak suka manis, tidak ingin pedas, tidak mau makan yg sederhana, Tidak ada lobha yang memprovokasi agar mencari makan yg lebih banyak, yg lebih enak, ditempat yg lebih mewah dsb. Tidur hanyalah tidur. Tidak ada masalah tidur dimanapun. Sedih adalah sedih, kecewa adalah kecewa, bahagia adalah bahagia, berbuat kebajikan hanyalah berbuat kebajikan dsb. Semuanya menjadi sangat sederhana.
Dalam ajaran Buddha, yg disebuat orang suci adalah orang yang telah suci / bebas dari Dosa dan Lobha, sehingga tidak adalagi AKU didalam dirinya. Tidak ada lagi penolakan dan kemelekatan, sehingga tidak mungkin lagi ada karma baik dan karma buruk dalam persepsinya. Baginya, semuanya hanyalah proses, semua hanyalah fenomena alamiah yang datang dan pergi. Tidak ada yang baik dan tidak ada yang buruk. Keduanya sama saja dan netral adanya. Semuanya terlihat seperti apa yang terlihat. Semua yang dirasa seperti apa yg terasa. Bukan menurut pikiran. Tidak ada persepsi, kesimpulan, perbandingan, Baginya baik dan buruk sama saja. Tidak ada yg lebih baik dari lainnya, tidak ada yg lebih diminati dari lainnya. Semuanya setara.
Sebagai penutup, ingin saya katakan bahwa tulisan ini juga bagian dari permainan pikiran. Persepsi, kesimpulan dan analisa dari semua pengalaman dan informasi yang tersimpan dialam pikiranku. Seorang guru meditasi mengatakan, “Tidak ada satu bentuk pikiranpun yang layak dipercayai”. Demikian juga tulisan ini adalah produk dari pikiran yg tentunya juga tidak layak dipercayai. Apalagi ditulis oleh seseorang yang batinnya masih begitu kuat dicengkeram oleh Dosa dan Lobha. Tetapi terlepas dari apapun kesimpulan saya, benar atau salah, tepat atau tidak, Dhamma tetap adalah Dhamma. Dan Dhamma sungguh layak untuk dibuktikan dan dialami sendiri oleh makhluk yang disebut manusia. Dan berbahagialah orang yang melihat, mengalami dan bertemu dengan Dhamma
Semoga sharing ini bermanfaat.