easter-japanese

Anak teman saya nakal padahal teman tersebut terpelajar, ramah, sopan, dan baik. Kenapa dia tidak mampu mendidik anak tunggalnya sehingga menjadi nakal, kasar, tidak sopan, dan sering membantah ? ”Apa sih susahnya mendidik anak ?” tanya saya membatin.

Cukup dengan belajar banyak, dengarkan nasehat orang tua, baca buku, dengar radio, dengar kaset/cd pendidikan anak, pasti beres pikir saya. Ternyata anak saya kadang juga tidak patuh dan membantah, berbicara kurang sopan, dan kelakuan kurang terpuji lainnya. Yang demikian sudah menjadi pemandangan umum di keluarga-keluarga lain. Jadi pepatah ‘buah jatuh tidak jauh dari pohonnya’ (anak seharusnya mirip dengan orang tuanya) layak dipertanyakan ulang.

Jika dicermati, terdapat beberapa faktor kemungkinan penyebab ‘buah jatuh jauh dari pohonnya’.

Pertama, orang tua hanya tahu bagaimana cara mendidik anak. Pengetahuan ini (level pikiran) hanya sejalan dengan ucapan. Mereka bisa menyebutkan berbagai teori mendidik anak. Sayangnya dalam praktek perbuatan, mereka tetap saja tidak sabaran kepada anaknya, sering marah, dan memukul. Orang tua tahu merokok tidak baik (level pikiran), menasehati dan melarang anaknya merokok (level ucapan), tapi dia sendiri selalu merokok. Jadi tidak konsisten (kongkruen) antara pikiran dan ucapan, dengan perbuatan.

Kedua, pengaruh lingkungan (pembantu atau baby sitter, teman, sekolah, tetangga, televisi, games, internet, dan lain-lain) kepada anak lebih dominan daripada orang tuanya yang sibuk bekerja atau beraktivitas di luar rumah sehingga interaksi dengan anak sangat minim.

Ketiga, menurut ajaran Buddha, setiap orang berhubungan dengan karma lampaunya masing-masing sehingga perbedaan antar anggota keluarga merupakan sesuatu yang wajar. Cara berpikir, berucap dan bertindak bisa bertolak belakang sesama saudara sekandung sekalipun mereka berada di lingkungan yang sama.

Yang terpenting miliki pikiran dan pengetahuan yang baik, ikuti dengan ucapan yang baik, kemudian realisasikan dalam praktek perbuatan yang baik pula secara konsisten, sehingga terbentuk kebiasaan dan karakter yang baik. Dengan keselarasan pikiran-ucapan-perbuatan, tidak hanya kita bisa menjadi orang tua yang berhasil, tetapi juga sukses dalam kehidupan duniawi maupun spiritual.