easter-japanese

Dalam satu perjalanan pulang menggunakan KA, terlihat seorang buta dewasa sedang ngamen. Lagu sedih yang dinyanyikan, menyiratkan kondisinya yang memprihatinkan. Sambil berjalan terseok mengikuti goyangan KA, tangan kanannya mengangsurkan kantong plastik mengharap belas iba para penumpang.

Tak lama berselang seorang anak kecil berusia sekitar 6 tahun, sangat kurus dengan mata cekung, baju lusuh dan kotor, merangkak di lantai KA sambil menyapu menggunakan sapu kecil. Tangan satunya menadah ke atas mengharapkan “dana” dari para penumpang.

Di kantor, seorang rekan kerja bercerita tentang sebuah tempat penampungan 14 anak kecil yang dipimpin oleh seorang pria dewasa. Yang mengharukan ternyata hampir semua anak dan pemimpinnya itu buta, paling tidak mengalami gangguan mata. Ada yang dibuang orang tuanya karena lahir prematur dengan kondisi buta atau diusir keluarganya yang tidak sanggup lagi menghadapi “kebutaannya” padahal himpitan ekonomi makin menyesakkan dada.

Tentu banyak penglihatan lain yang mengibakan dan membuat kita trenyuh terhadap kehidupan sesama manusia di muka bumi ini. Bagaimana sikap dan tindakan kita yang seharusnya ? Cukupkah dengan ber-karunacitta saja ? Atau dengan memberikan “uang belas kasihan” ?

Dengan ber-karunacitta berarti kita memancarkan pikiran belas kasihan kepada makhluk lain yang sedang menderita, tidak hanya yang dikenal tetapi juga yang tidak dikenal, yang jauh maupun dekat, yang terlihat maupun yang tidak terlihat. Pokoknya kita pancarkan belas kasihan kita secara universal kepada semua makhluk yang sedang menderita. Lebih lengkap lagi jika pikiran yang baik ini kita ikuti dengan tindakan nyata memberikan “uang belas kasihan” kepada mereka.

Yang tidak kalah penting, gunakan berbagai pemandangan yang menimbulkan belas kasihan tersebut sebagai bahan renungan bahwa buah karma baik yang kita terima sampai saat ini jauh lebih baik daripada banyak orang lain yang lebih menderita. Pemikiran ini dapat memacu kita berbuat lebih banyak lagi kebaikan guna menambah “tabungan” kita sehingga tidak terlahir sebagai manusia cacat dan menderita, atau bahkan “terjatuh” ke alam yang lebih rendah.