easter-japanese

Suatu ketika, jadwal ceramah saya bentrok dengan donor darah. Karena tidak ingin kehilangan kedua kesempatan berbuat baik tersebut, saya segera membuat strategi yang efektif dan efisien. Donor darah di vihara yang rutin saya datangi adalah tiga bulan sekali sehingga jika absen, harus menunggu tiga bulan berikutnya. Untuk membatalkan jadwal ceramah juga sungkan kepada yang mengundang.

Strateginya adalah, sebelum menuju vihara tempat berceramah, saya mampir dulu ke lokasi donor darah untuk mendaftarkan diri dan sekaligus, jika keburu, langsung cek tekanan dan golongan darah. Nanti tinggal ambil darahnya saja. Itu bisa dilakukan sewaktu saya kembali dari berceramah.

Apa lacur, kenyataan tidak berjalan sesuai rencana karena pihak PMI tidak datang lebih awal seperti biasanya. Usut punya usut, PMI ini dari cabang yang berbeda dengan yang biasanya. Akhirnya saya langsung ke vihara tempat berceramah tanpa sempat mendaftar donor.

Selesai berceramah, saya langsung pamit dan berlomba dengan waktu untuk mencapai lokasi donor darah sebelum terlambat. Ternyata kegiatan donor masih berlangsung, dan saya masih diperkenankan untuk mendaftar.

Semuanya berjalan dengan mulus. Saya kemudian diminta menunggu giliran pengambilan darah. Sambil menunggu, saya sempat ke perpustakaan sebentar, juga ngobrol dengan beberapa teman. Kemudian kabar buruk menerpa dibawa oleh panitia donor darah. ”Maaf, Anda tidak bisa berdonor dalam kesempatan ini karena kantong darahnya habis”. Alamak, koq bisa-bisanya peralatan vital yang seharusnya dipersiapkan dengan matang, ternyata tidak mencukupi.

Entah panitia dengan PMI yang kurang koordinasi, atau animo umat begitu tinggi sehingga membludak lebih dari biasanya, ataukah karma baik saya tidak jadi berbuah untuk menyediakan kondisi yang tepat bagi saya sehingga bisa mendonorkan darah, ataukah sebab-sebab lain, saya tidak dapat menduganya.

Reaksi spontan saya adalah tetap tersenyum kepada yang menyampaikan berita dan mengucapkan terima kasih atas informasinya. Tetapi dalam hati saya merasa keki dan mengomeli panitia, PMI dan umat lain yang berlomba berdonor darah.

Kesadaran segera menyelinap dalam pikiran saya. Kenapa saya berbuat karma buruk dengan pikiran jelek seperti itu. Seketika langsung saya stop. Kesadaran lain langsung menyambung dalam pikiran. Yang penting saya sudah memiliki cetana (kehendak untuk berbuat) yang baik. Sayapun sudah berupaya sekuat tenaga untuk merealisasikan cetana tersebut. Tetapi apa daya, kontrol akhir bukan ada di saya. Tak perlu ada penyesalan. Masih banyak kesempatan berbuat baik di hari-hari selanjutnya.

Akhirnya hati jadi tenang kembali, dan bad mood yang sedianya muncul, segera tergantikan oleh good mood.