Bingkai Refleksi
Toni Yoyo
Sewaktu berobat ke seorang dokter ahli, saya teringat analogi Sang Buddha seumpama dokter ahli.
Buddha Gautama tidak menuntut pendengarNya untuk langsung menerima apalagi serta merta percaya dan yakin. Beliau mendorong pendengarNya untuk mempraktekkan Ajaran yang sudah disampaikan, sehingga dapat membuktikan langsung kebenaranNya. Karena itu dikenal istilah Ehipassiko (datang, lihat dan buktikan sendiri). Umat Buddha tidak ‘dipaksa’ atau ‘disuapi’ dengan dogma-dogma tanpa boleh ‘mengunyah’ apalagi ‘menikmati’ sebelum ‘memakan’Nya.
Cermati yang berikut ini :
Jika hanya sampai tahap (1), bisakah kita sembuh ? Kecil kemungkinannya. Walaupun sudah sampai tahap (3), belum menjamin akan sembuh total. Kita harus menjalani lengkap keempat tahapan di atas.
Sang Buddha dapat diumpamakan dokter ahli, yang sudah menjalani dan membuktikan sendiri Dhamma yang diajarkanNya. Tidak cukup dengan hanya kita percaya dan yakin kepada Sang Buddha. Kita harus menerima Dhamma dan ’meminumnya’ (baca : menjalankannya) sebagai ’obat’ untuk sembuh (baca : mencapai tujuan akhir – Nibb?na).
Artinya kita harus menjalani sepenuhnya apa yang sudah diajarkan oleh Sang Buddha. Jika hanya kebaikan kecil dan sedikit yang kita lakukan, mungkin kita akan terlahir lagi di alam manusia atau di alam surga (dewa) tingkat rendah. Laiknya kita tidak menjalankan sepenuhnya keempat tahapan tersebut, sehingga kesembuhannya belum tuntas.
Ajaran semua Buddha terekam dalam Dhammapada bait 183 (diringkas menjadi S?la, D?na, dan Sam?dhi). Dengan menjalankan semuanya, kita dapat mencapai tujuan yang tertinggi (Nibb?na). Secara lengkap bait 183 berbunyi :
“Jangan berbuat jahat, perbanyaklah perbuatan baik, sucikan hati dan pikiran. Inilah Ajaran Semua Buddha”.
Marilah kita mulai mempraktekkan Buddha Dhamma secara konsisten dalam kehidupan sehari-hari dengan menghindari pikiran-ucapan-perbuatan buruk, memperbanyak pikiran-ucapan-perbuatan baik, dan rutin berlatih meditasi.