Bingkai Refleksi
Toni Yoyo
Di rumah, saya memiliki banyak cangkir dengan beragam bentuk dan warna. Sering saya teringat sebuah cerita berjudul ’Zen dalam Cangkir Teh’.
Suatu ketika, seorang profesor perguruan tinggi mengunjungi Nan-in, guru Zen terkenal di Jepang. Nan-in menuangkan teh ke dalam cangkir tamunya. Meskipun cangkir telah penuh, ia menuang terus. Profesor berkata, “Guru, teh telah melimpah ke luar cangkir, janganlah menuang lagi”. Nan-in menukas, “Engkau persis cangkir ini, penuh dengan pandangan dan cara berpikirmu sendiri. Jika tak kau kosongkan cangkirmu itu terlebih dahulu, bagaimana saya dapat mengajarkan Zen padamu ?”.
Kita memiliki latar belakang yang berbeda dalam hal suku, pendidikan, kebiasaan, dan lain-lain. Perbedaan ini menampilkan sosok yang berbeda dalam cara berpikir, berolah kata, kebiasaan, bertingkah laku, bertindak, dan lain-lain. Inilah sumber konflik dalam interaksi sosial.
Kepala kita penuh dengan pengetahuan, teori, dan pendapat. Kita bukan lagi kertas putih kosong, melainkan penuh dengan berbagai tulisan dan coretan. Tidak ada lagi tempat kosong. Tanpa ’dikeluarkan’ sedikit isi kepala kita atau dihapus tulisan di kertas, bisakah tambahan baru diberikan ?.
Sewaktu kita berdiskusi dengan orang lain, inginnya kita terus berbicara dan orang lain mendengarkan. Karena masih ada urat malu, kita kadang berikan kesempatan lawan bicara untuk gantian berceloteh. Benarkah sudah terjadi komunikasi yang efektif dan efisien ? Belum tentu !
Sewaktu lawan bicara ngoceh, otak kita sibuk berpikir apalagi yang akan dilontarkan. Bukannya menyimak kata-katanya, kita merancang ’serangan kata-kata’ berikutnya. Seringkali kita menukas sebelum lawan bicara selesai. Alhasil tidak ada kebaikan yang kita peroleh dari pembicaraan dengan orang lain karena kita tidak mencoba mencerna dengan seksama. Salah-salah bisa berantem karena masing-masing mencoba mendesakkan pandangan dan pikirannya.
Begitupun sewaktu belajar Dhamma. Kita diperkenankan untuk menganalisaNya. Tanpa kebesaran hati untuk mendengar, kehausan untuk belajar, ’pengosongan’ sejenak isi otak, penghapusan sebagian tulisan di kertas, mungkinkah kita dapat menerima dan lebih maju dalam Dhamma ? Jangan juga dilupakan, setelah menerima Dhamma, praktekkanlah demi kebahagiaan sejati.