easter-japanese

Suatu ketika saya berobat ke dokter. Ternyata antrian cukup panjang. Hampir semua tempat duduk yang tersedia, penuh.

Karena tidak saling mengenal, dan kebanyakan ‘merenungi’ sakitnya, sedikit yang mengobrol antar pasien. Paling ngobrol antara pasien dengan yang mengantar.

Satu pasien sudah cukup lama di ruang dokter. Sayup terdengar komentar dari pasien di sebelah saya kepada yang menemaninya. “Memang tuh yang lagi masuk cerewet. Kelihatan dari muka dan gerak geriknya. Jangankan dokter, keluarganyapun pasti kewalahan menghadapinya. Apa dia buta tidak melihat banyak orang mengantri ?”.

“Berbahaya sekali” dalam hati saya berpikir. Menilai orang dari penglihatan sekilas. Orang tersebut telah melakukan karma buruk lewat pikiran dan ucapannya yang kurang baik.

Mendadak saya tertegun. Pasien berlama-lama di ruang dokter wajar saja. Kitapun jika berobat ke dokter, semua dikeluhkan. Sering kita ‘mencuri kesempatan’ bertanya ke dokter mengenai sakit pasangan, anak, atau keluarga kita yang lain. Borongan biar hemat !

Kita juga sering berlaku seperti pemberi komentar di sebelah saya. Sangat mudah kita memberikan penilaian kepada orang lain walau hanya sekilas mengenalnya. Seakan kita sudah mengenalnya dengan baik. Memang tidak tertutup kemungkinan kita sudah pernah bertemu dengan orang tersebut dalam kehidupan-kehidupan sebelumnya, sehingga merasa mengenalinya. Tapi bukan berarti kita boleh melabel orang tersebut menurut persepsi pintas kita.

Kalimat bijaksana mengatakan, ‘Dalamnya hati orang mengalahkan dalamnya lautan yang terdalam’. Sulit melakukan penilaian sepenuhnya kepada orang lain, bahkan kepada seorang sahabat yang sudah kita kenal lama. Apalagi jika hanya kenal sekilas.

Begitu pula dalam melakukan penilaian terhadap Dhamma, Ajaran Universal Sang Buddha. Banyak orang yang baru belajar dan mengerti sedikit, langsung berkomentar super positif atau super negatif tentang Dhamma. Kemudian muncul keyakinan membuta dan fanatik, atau sebaliknya penolakan dan alergi kepada Dhamma. Padahal, jangankan baru mengenal Dhamma sekilas, sudah belajar banyakpun masih belum ada artinya jika belum mempraktekkan Dhamma dalam kehidupan sehari-hari.

Setelah mempraktekkan dan ‘mencicipi’ Dhamma laiknya lidah, bukan sendok garpu (maksudnya hanya sekilas dan teori saja), barulah lebih ‘mantap’ berkomentar obyektif tentang Dhamma.