Tjahyono Wijaya
Hampir 15 tahun saya menggeluti dunia manajemen.
Meski belum tergolong pakar tetapi setidaknya manajemen telah menjadi bagian dari hidup saya. Selain itu, sebagai seorang praktisi Buddhisme Humanistik, sudah tentu saya berusaha menerapkan Buddha Dharma dalam setiap aktivitas hidup, baik saat senggang ataupun jam-jam kerja. Inilah yang kemudian mendorong saya menggabungkan dunia manajemen dengan Buddhisme. Saya melandasi gaya manajemen dengan Buddha Dharma dan tak sedikit menemukan pencerahan filosofi Buddha Dharma dalam dalil-dalil manajemen, baik dari Timur maupun Barat, ataupun yang berasal dari hasil penelitian para pakar manajemen maupun psikologi.
Menjaga kewaspadaan dalam setiap aktivitas kehidupan adalah pelatihan diri yang wajib dilakukan oleh siswa Buddha. Setiap hari saya melatih diri mengingat kewaspadaan saat berpakaian di pagi hari. Dalam berpakaian saya selalu berhati-hati saat mengancingkan kancing pertama. Bila kancing pertama dikancingkan pada lubang kancing yang salah, meski kancing-kancing berikutnya dikancingkan dengan baik, semuanya sia-sia saja karena pakaian telah terlanjur miring. Ahli manajemen menyebut fenomena ini sebagai “Efek Kancing Pertama” yang pada intinya mengajarkan “do it right in the first time“. Kenapa harus memboroskan waktu, enerji dan biaya untuk merevisi ulang kalau pekerjaan itu bisa dilakukan dengan benar dan baik pertama kalinya? Mengapa saya tidak mengendalikan pikiran, ucapan dan tindakan jasmani dengan benar dan baik pertama kalinya? Setiap hari saya melatih diri dalam kewaspadaan dengan “Kancing Pertama”.
Selain menjaga kewaspadaan, sebagai siswa Buddha saya melandasi setiap perbuatan di atas pemahaman hukum sebab akibat atau yang lebih dikenal dengan nama hukum karma. Seperti yang dikatakan dalam Paticca Samuppada (12 Hukum Sebab Musabab Bergantungan): “Jika ini ada, itu ada; Ini timbul, itu timbul; Jika ini tidak ada, itu tidak ada; Ini berhenti, itu berhenti.” Perbuatan bajik akan membuahkan kebahagiaan, sedang perbuatan buruk mendatangkan penderitaan. Hukum sebab akibat ini ternyata juga saya temukan dalam dunia manajemen, tepatnya dalam bentuk “Diagram Tulang Ikan (Cause & Effect Diagram, Fishbone, Ishikawa)” yang menjelaskan hubungan sebab dan akibat dari suatu permasalahan.
Lebih lanjut, Diagram Tulang Ikan juga menjelaskan tentang adanya faktor penyebab yang kritikal atau dominan, tetapi bukan satu-satunya penyebab. Merupakan penjelasan sederhana bahwa tidak ada satu penyebab yang berdiri sendiri, semuanya saling terkait, bukankah ini adalah salah satu inti ajaran Buddha?
Master Chin Kung pernah mengatakan, segala sesuatunya adalah kosong, hanya sebab akibatlah yang benar-benar nyata. Ucapan ini mengingatkan saya akan salah satu syair Dhammapada yang mengajarkan agar jangan meremehkan kebajikan ataupun kejahatan walaupun kecil. Ini menunjukkan bahwa hukum karma bukan main-main, pun bukan sesuatu yang bisa ditawar dengan program pengampunan ataupun keyakinan pada suatu kuasa. Setiap orang harus mempertanggungjawabkan setiap perbuatan yang dilakukan, betapapun kecilnya, karena sesuatu yang tampaknya sepele bisa berdampak besar. Pesan moral yang sama saya temukan dalam dunia manajemen dengan istilah “Efek Kupu-Kupu (Butterfly Effect)”, yang mengibaratkan sebuah kepakan sayap seekor kupu-kupu di Brasil mampu memicu terjadinya angin tornado di Texas. Sebuah kesalahan kecil pada salah satu sub-sistem ternyata bisa berakibat fatal bagi keseluruhan sistem. Tidak meremehkan setiap perbuatan yang kita lakukan (pekerjaan, kebajikan, kejahatan) maka terhindarlah kita dari bencana penderitaan (buah karma buruk).
Selain itu, dalam dunia manajemen juga dikenal istilah “Hukum Murphy (Murphy’s Law)” yang mengatakan: suatu hal buruk yang mungkin terjadi pada akhirnya pasti akan terjadi, meski betapapun kecil kemungkinannya untuk terjadi. Sebagai praktisi manajemen, hukum ini saya gunakan untuk mengingatkan diri sendiri agar selalu melakukan improvement demi mencegah dan memperkecil dampak terjadinya sesuatu yang tak dikehendaki. Sedang sebagai praktisi ajaran luhur Guru Buddha, saya selalu menyadarkan diri sendiri bahwa karma buruk suatu ketika akan berbuah, meski betapa kecil benih yang saya tanam, sedang selalu tidak berbuat jahat, melakukan kebajikan, menyucikan hati dan pikiran, adalah bentuk-bentuk improvement yang berperan memperkecil kesempatan bagi karma buruk untuk berbuah.
Selain pencerahan tentang kewaspadaan dan hukum karma, di dalam dunia manajemen modern saya juga menemukan filosofi ehipassiko (datang dan lihat) seperti yang tercantum dalam Kalama Sutta: janganlah menerima sesuatu berdasarkan desas-desus, tradisi, kabar angin, buku agama, anggapan/perkiraan, kesimpulan, penampilan, pemahaman awal, dianggap bisa diterima, diucapkan oleh orang yang kita hormati, akan tetapi, setelah pengamatan dan analisa yang cermat, menemukan bahwa sesuatu itu sesuai dengan serta menghantar pada kebaikan, pun membawa manfaat bagi individu dan semua makhluk, maka terima dan hiduplah sesuai dengannya.
Sebelum melangkah lebih lanjut, saya ingin memperkenalkan sebuah ilustrasi sederhana dalam dunia manajemen.
Seseorang memasuki sebuah ruangan yang dipenuhi banyak orang. Tidak ada lagi tempat untuk duduk. Bagaimana cara memperoleh tempat duduk? Ia memutar otak dan menemukan ide gemilang. Lalu ia segera berteriak, “Di kaki bukit diketemukan goa berisi harta karun.” Mendengar ucapan ini, semua orang segera menghambur keluar menyisakan ia seorang diri. Ia kemudian berpikir, kenapa semua orang berlari keluar? Jangan-jangan di kaki bukit benar ditemukan goa harta karun. Dengan segera ia ikut berlari menghambur keluar.
Inilah yang disebut sebagai “Perilaku Kawanan Domba (Herding Behaviour)”. “Efek Kawanan Domba”, yang mirip dengan “Efek Karnaval (Bandwagon Effect)” ini, memberitahu kita bahwa perilaku individu cenderung mengekor mengikuti tingkah laku sekelompok orang. Dengan kata lain, “Efek Kawanan Domba” membuat saya semakin memahami pentingnya ehipassiko, yakni datang, lihat dan alami, tidak hanya sekedar keyakinan yang membabi buta atau hanya mengikuti perilaku sekelompok orang.
Selanjutnya saya ingin berbagi tentang pencerahan dalam “Hirarki Kebutuhan Maslow (Maslow’s Hierarchy of Needs)”. Maslow (1908-1970), pada tahun 1954 mempublikasikan 5 hirarki atau jenjang kebutuhan manusia yakni kebutuhan: fisiologis (physiological), keamanan (safety), sosial (belongingness & love), penghargaan (esteem) dan aktualisasi diri (self-actualization). Kemudian pada era 70-an dikembangkan (oleh orang lain) menjadi 7 hirarki, hingga era 90-an menjadi 8 hirarki kebutuhan: biologis & fisiologis, keamanan, sosial, penghargaan, pengetahuan (cognitive – to know & understand), keindahan (aesthetic), aktualisasi diri (self-actualization) dan transenden (transcendence).
Makna aktualisasi diri adalah pengembangan potensi diri sendiri, sedang transenden adalah membantu mengembangkan potensi diri orang lain. Bukankah kedua hal ini adalah semangat tertinggi dari Buddhisme? Aktualisasi diri dalam Buddhisme adalah mencapai keBuddhaan, sedang transenden adalah semangat para Buddha dan Bodhisattva untuk membimbing makhluk hidup lainnya agar dapat bersama-sama terbebas dari lingkaran samsara mencapai Pantai Seberang (Nirvana).
Ternyata memang benar, pencerahan tidak terlepas dari kehidupan duniawi. Pencerahan bisa diperoleh di mana-mana, di setiap macam aktivitas kehidupan kita, di celah-celah rutinitas pekerjaan kita, pun di dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat. Tetapi bila tidak berkenan membuka pintu hati, bagaimana mungkin pencerahan itu bisa kita peroleh? Inilah makna sebuah kisah Zen (Chan) tentang seorang Master Chan yang terus menuangkan teh ke dalam cangkir umat yang ingin mempelajari Zen, meski cangkir itu telah penuh. Bila kita tidak membuang pandangan tidak benar yang kita miliki, bagaimana mungkin bisa memperoleh manfaat dari Buddha Dharma?
Dalam dunia manajemen, ada sebuah ilustrasi yang hampir serupa dengan kisah Zen di atas. Seorang Kapolda berbicara dengan seorang tua di tepi jalan. Tiba-tiba ada seorang anak kecil yang datang sambil berlari dan berteriak pada Kapolda, “Ayahmu dan ayahku sedang bertengkar!” Orang tua lawan bicara Kapolda bertanya, “Anak ini ada hubungan apa dengan Anda?” Kapolda menjawab, “Ia adalah anakku.” Sekarang pertanyaannya: apa hubungan dua orang yang sedang bertengkar dengan Kapolda? Jawablah pertanyaan ini sebelum membaca lebih jauh Pengalaman Dharma saya ini.
Mengapa banyak dari kita tidak bisa menemukan jawaban dari ilustrasi sederhana di atas? Inilah yang disebut sebagai “Efek Pembentukan (Set Theory)”.
Pendidikan, pengetahuan dan pengalaman telah membentuk gaya berpikir kita, pembentukan ini justru menempatkan pola pikir kita dalam sebuah bingkai, akibatnya kita hanya berpikir sebatas ruang lingkup bingkai kecil itu. Kita terperangkap di dalamnya. Kita menganggap pengetahuan kita yang paling lengkap, pengalaman kita yang paling bermakna, keyakinan kita yang paling benar, tetapi kita tidak pernah tahu bahwa di luar bingkai pola pikir kita masih terdapat permata kebenaran yang menanti untuk kita gali. Bagaimana bisa menggali permata itu kalau kita tidak melangkah keluar dari bingkai yang membatasi pola pikir kita? Bagaimana bisa memperoleh pencerahan akan kebenaran sejati kalau tidak melangkah keluar dari pandangan tidak benar yang mengikat kita selama ini?
Kembali pada pertanyaan Efek Pembentukan di atas, adakah Anda menemukan jawabannya? Apakah kesulitan Anda dalam menjawabnya karena berpandangan bahwa Kapolda pasti seorang bapak? Kalau benar demikian adanya, maka, selamat, Anda adalah salah satu anggota barisan yang terimbas Efek Pembentukan, yang belum mampu keluar dari batasan pola pikir yang telah terbentuk selama ini. Kenapa kita tidak mencoba keluar dari batasan bingkai itu dengan berpikir bahwa Kapolda tersebut adalah seorang ibu?
Kosongkan cangkir kita, jangan hanya sekedar mengekor, jangan membutakan mata batin, jangan terperangkap dalam bingkai pikir atau keyakinan masa lalu. Saya tidak tahu apakah telah berhasil keluar dari batasan pandangan tidak benar yang telah terbentuk selama ini, tetapi setidaknya saya telah menemukan beberapa pencerahan dalam aktivitas hidup ini, salah satunya adalah dalam aktivitas dunia manajemen. Bagaimana dengan Anda?