Cerita Silat Wu Wo
Tjahyono Wijaya
Suara pertarungan pedang pusaka Zhan Mo Jian (baca: Can Mo Cien – Pedang Pemenggal Mara) melawan keroyokan tiga buah golok seakan membelah keheningan fajar di kaki bukit di luar kota Luo-yang. Wu Mie (U Mie – Tidak Musnah) harus mengerahkan seluruh kemampuannya menghadapi serangan tiga orang bercadar hitam yang masing-masing bersenjatakan golok. Sebenarnya kurang tepat kalau dikatakan menghadapi, karena kondisi Wu Mie waktu itu tak lebih hanya bisa mempertahankan diri dengan tanpa mampu melakukan serangan balik.
Pedang pusaka Zhan Mo Jian seakan tak berdaya menahan serbuan tiga golok itu. Wu Mie tak habis pikir, angin apa yang membawa tiga orang bercadar ini ke atas bukit yang sejak kecil sudah menjadi tempat ia berlatih ilmu pedang? Anehnya lagi, tanpa basa basi mereka langsung mengeroyoknya. Seingatnya selama ini tidak pernah mengikat dendam permusuhan dengan tokoh manapun. Tetapi kini bukan saat yang tepat untuk berpikir atau berheran-ria karena ia tak memiliki kesempatan untuk itu di bawah serangan golok yang datang bertubi-tubi, bahkan membasuh keringat di wajahpun sudah tak sempat dilakukannya.
Sabetan golok pertama berhasil dihindarinya, sedang golok kedua dihalaunya dengan Zhan Mo Jian, tetapi tidak demikian dengan golok ketiga. Andaikan golok itu bisa tersenyum, maka yang dilihat oleh Wu Mie saat detik-detik terakhir itu pasti bukan segaris logam tajam, melainkan adalah senyum kepuasan dari golok tajam yang sedang melaju bersiap membelah dirinya.
Selain deruan golok maut itu, Wu Mie mendengar deruan dan teriakan yang tak kalah kerasnya dari arah sebelah kanan tubuhnya. Tak jelas apa yang terjadi, tetapi yang pasti tubuhnya masih menyatu dan ketiga golok itu berhenti menyerangnya. Di antara Wu Mie dan ketiga penyerang itu berdiri seorang pemuda tampan bersenjatakan toya. Ternyata golok itu tak jadi membelah tubuh Wu Mie karena harus melindungi tuannya sendiri dari terjangan toya yang kekuatannya dapat membelah bukit kecil itu. Sedang kedua golok yang lain terhenti karena pengaruh lengkingan yang sedahsyat gemuruh gelombang tsunami.
Tak memerlukan waktu lama bagi ketiga orang itu untuk memutuskan segera angkat kaki. Keputusan angkat kaki yang singkat ini bagaikan memberi kehidupan yang panjang bagi Wu Mie. Demikianlah awal perjumpaan Wu Mie dengan Wu Wo (U Wo – Tiada Aku).
“Tidakkah kau tidak mengenali ketiga orang itu?” demikian tanya Wu Sheng (Tidak Terlahirkan).
“Tidak, Paman,” jawab Wu Mie, “Mereka juga tidak mengucapkan sepatah katapun.”
Sudah setahun ini Wu Sheng menjadi penasehat Wu Mie dalam mengelola Perguruan San Fa Yin (Tiga Corak Dharma) serta sebagai ketua sementara persatuan delapan perguruan penegak kebenaran Tian Long Ba Bu (Dien Long Pa Pu – Delapan Makhluk Pelindung Dharma) di kota Luo-yang.
“Beruntung keponakan Wu Wo datang di saat genting, kalau tidak, hm, paman akan bersalah kepada ayahmu.”
“Aku datang ke Luo-yang atas petunjuk Guru Wu Zhuo. Tampaknya beliau telah memperkirakan adanya peristiwa ini,” tukas Wu Wo.
“Apa? Bhiksu Wu Zhuo telah memperkirakan peristiwa ini? Jangan-jangan ini ada kaitannya dengan pemilihan Ketua Tian Long Ba Bu tahun depan nanti?” Kening Wu Sheng berkerut memikirkan kemungkinan ini.
“Selama ini Wu Mie tak memiliki musuh, demikian pula San Fa Yin ataupun Tian Long Ba Bu. Dunia persilatan juga tak pernah terdengar berita munculnya tiga tokoh bersenjata golok yang begitu tangguh yang dapat meredam pedang pusaka Zhan Mo Jian. Mungkin benar bahwa ini adalah bentuk intimidasi agar Wu Mie mengundurkan diri dari bursa pencalonan ketua Tian Long Ba Bu. Tak heran kalau mereka mengenakan cadar dan tidak bersuara agar tak dikenali oleh Wu Mie.”
“Paman, dapatkah kau meraba, siapa yang melakukan semua ini?” Mencetus pertanyaan dari mulut Wu Mie.
“Dalang di balik penyerangan ini pasti adalah salah satu atau beberapa ketua dari tujuh perguruan. Sedang mengenai ketiga orang itu, mungkin saja itu adalah mereka sendiri atau pembunuh bayaran yang berilmu tinggi. Tetapi, sekali lagi, Paman selama ini belum pernah mendengar ada tiga tokoh bersenjata golok yang tangguh.”
“Paman, apa kriteria untuk dapat terpilih sebagai Ketua Tian Long Ba Bu?” tanya Wu Wo tiba-tiba.
“Pertama, dia harus sebagai ketua perguruan dari salah satu delapan anggota Tian Long Ba Bu. Selain itu, harus memiliki ilmu silat yang tangguh. Tetapi hal yang paling diutamakan dalam pemilihan ketua adalah kemampuan kepemimpinan. Karena hanya dengan kepemimpinan yang berkualitas, barulah Tian Long Ba Bu dapat melaksanakan tujuan mulianya serta bertahan sepanjang masa.”
“Jadi…?” Masih Wu Wo yang bertanya.
“Wu Mie adalah Ketua San Fa Yin, ini memenuhi kriteria pertama. Sedang untuk ilmu silat, kedatangan Wu Wo akan sangat membantu menempa kemampuan Wu Mie. Kriteria kedua ini juga bukan halangan. Mengenai kepemimpinan, ini yang Paman khawatirkan. Mungkin juga ini adalah alasan utama munculnya usaha intimidasi terhadap keponakan Wu Mie. Wu Mie masih relatif muda serta minim dalam pengalaman memimpin.” Wu Sheng melanjutkan perkataannya sambil menatap tajam pada Wu Mie, “Wu Mie, jangan khawatir, masih ada waktu setahun untuk membuktikan kemampuan kepemimpinanmu.”
“Paman, bagaimanakah agar aku dapat memimpin dengan baik?” tanya Wu Mie.
“Kau bisa mengikuti keteladanan kepemimpinan ayahmu selama ini. Selain itu, Paman dan Wu Wo akan mencoba membantumu dengan memberi beberapa pandangan mengenai kepemimpinan Buddhis.”
“Buddha mengajarkan bahwa segala sesuatunya berawal dari diri kita sendiri, unsur luar tak lebih hanya berupa kondisi pendukung atau penghambat. Karena itu, ajaran Buddha sangat menekankan pentingnya kepemimpinan oleh diri sendiri. Seorang pemimpin harus dapat memberikan keteladanan, baik bagi dirinya sendiri ataupun orang lain. Bila bisa dipraktikkan oleh setiap siswa maka boleh dikata keteladanan kepemimpinan Buddhis akan menciptakan dunia yang ideal,” Wu Sheng mulai membabarkan pandangan kepemimpinan Buddhisme.
“Selain itu, selama tinggal di Vihara Bi-an Si, aku melihat sendiri bahwa Bhiksu Wu Zhuo dan para murid menerapkan Liu He Jing (Liu He Cing – Enam Keharmonisan dan Saling Menghormati) sebagai panduan kehidupan anggota Sangha, yakni: secara fisik tinggal bersama dengan damai, tidak bertengkar mulut, satu pikiran yang bergembira, bersama menjalankan Sila/Vinaya, memiliki pandangan yang sama serta yang terakhir, manfaat untuk semua.”
“Liu He Jing yang disebutkan oleh Wu Wo adalah panduan kehidupan yang ditetapkan oleh Buddha Gautama bagi para siswa komunitas Sangha. Ini merupakan panduan kehidupan harmonis yang menekankan pengendalian dan kepemimpinan oleh diri sendiri yang pada akhirnya juga bermanfaat bagi kehidupan bersama,” Wu Sheng menjelaskan lebih jauh.
“Kalau menggunakan bahasa orang awam, yang dimaksud secara fisik tinggal bersama dengan damai adalah setiap orang menjaga perbuatan jasmani agar tidak merugikan yang lain sehingga tidak terjadi keributan fisik antar anggota.”
“Selain menjaga tindakan jasmani, setiap orang juga harus memperhatikan ucapannya agar tidak melukai perasaan orang lain dan menimbulkan pertengkaran. Pun tidak mengucapkan dusta, fitnah, menjilat, mengadu domba ataupun ucapan tidak bermanfaat. Ini yang disebut sebagai tidak bertengkar mulut.”
“Sedang satu pikiran yang bergembira adalah merupakan manifestasi dari pengendalian pikiran. Pikiran selalu tertuju pada hal-hal yang positif, sehingga satu sama lain selalu rukun dan bergembira. Ini yang dinamakan mencintai dan membentuk lingkungan yang harmonis.”
“Bersama menjalankan Sila/Vinaya menunjukkan bahwa setiap orang berusaha keras menjalankan disiplin atau tata tertib yang telah ditetapkan.”
“Memiliki pandangan yang sama adalah adanya kesepahaman antara pimpinan dan para anggota sehingga gerak roda organisasi akan lebih terfokus.”
“Dan yang terakhir adalah manfaat untuk semua. Ini menyatakan bahwa setiap orang tidak memiliki pikiran mementingkan diri sendiri, bahkan secara suka rela berdana demi kebahagiaan orang lain.”
“Inilah nilai-nilai luhur yang diterapkan dalam kehidupan Sangha. Untuk lebih jelasnya, nilai-nilai luhur ini dibabarkan secara detail dalam aturan Vinaya (kedisiplinan) yang mencapai ratusan butir. Seperti kita ketahui, Sila atau Vinaya adalah peraturan tata tertib untuk menegakkan kedisiplinan menuju pengendalian diri. Dengan kata lain, kedisplinan juga merupakan salah satu faktor keberhasilan seorang pemimpin,” Wu Wo menambahkan berdasarkan pengalamannya selama tinggal bersama Bhiksu Wu Zhuo.
“Pada puncaknya, tata tertib bukan lagi menjadi sesuatu yang penting, karena bila setiap orang telah dapat mengendalikan dirinya dengan baik maka tata tertib tak lebih hanya sebagai pengetahuan saja. Inilah puncak tertinggi kepemimpinan Buddhis, dari ‘kepemimpinan yang mengatur’ berubah menjadi ‘kepemimpinan yang membudaya’. Budaya adalah kebiasaan. Setiap orang menjalankan kewajibannya dengan secara alamiah bagaikan sebuah kebiasaan. Setiap orang bahkan tak sadar bahwa ada tata tertib di antara mereka, seperti halnya ikan yang tak menyadari keberadaan air.”
“Luar biasa. Tetapi bagaimana caranya agar seorang pemimpin dapat membuat anggota atau bawahannya mencapai kondisi yang membudaya ini?” tanya Wu Mie.
“Seorang pemimpin bajik yang memperoleh hati dan dukungan rakyat atau bawahannya, dialah pemimpin sejati. Bila telah memperoleh dukungan, maka bukan hal yang sulit untuk membuat bawahannya merealisasikan kepemimpinan yang membudaya. Sedang untuk memperoleh dukungan itu maka kembali kepada pembicaraan kita di depan tadi, yakni seorang pemimpin harus bisa memberikan contoh keteladanan bagi bawahannya. Keteladanan itu banyak macamnya, salah satunya adalah “Sepuluh Kewajiban Seorang Raja” yang dapat kita simak di kisah Jataka (Kehidupan Buddha Gautama sebagai Bodhisattva).”
“Apa saja sepuluh kewajiban itu?”
“Secara singkat adalah rela berdana, memiliki moralitas, bersedia berkorban bagi orang lain, jujur dan bersih hatinya, ramah tamah dan sopan santun, sederhana, tak memiliki rasa dendam dan benci, tanpa kekerasan, sabar serta tidak sewenang-wenang. Camkan dan terapkan baik-baik sepuluh hal ini.”
“Buddha sendiri adalah seorang guru dan pemimpin yang memberi keteladanan secara langsung dalam kehidupan sehari-hari. Buddha bukan hanya menetapkan tata tertib, tetapi juga menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari bersama-sama dengan para siswa. Buddha bukan merupakan tipe pemimpin sewenang-wenang yang hanya bisa menuntut, tetapi tidak berbeda dengan para siswa, beliau juga melaksanakan pedoman kedisiplinan yang telah ditetapkan.”
“Selain itu, Buddha juga mengajarkan metode penerapan Jalan Bodhisattva yaitu metode untuk menjalin komunikasi yang efektif dengan orang lain,” Wu Wo menambahkan. “Ini adalah empat metode pencerapan yang terdiri dari berdana, bertutur lembut, memberi manfaat bagi makhluk lain dan kebersamaan.” ”Tambahan yang bagus dari Wu Wo,” Wu Sheng berkata sambil tersenyum. “Kalau dengan bahasa masa kini adalah berdana meringankan beban orang lain, berjiwa penghibur dan bisa memotivasi, berbuat bagi kepentingan orang lain serta bahu-membahu bersama-sama dengan orang lain membentuk lingkungan yang menyenangkan. Dengan menerapkan empat metode Bodhisattva ini, maka akan mudah bagi seorang pemimpin untuk memperoleh simpati dan dukungan dari bawahannya ataupun orang lain. Dengan adanya simpati dan dukungan ini, maka bukan hal yang sulit pula bagi pemimpin untuk membuat bawahannya berjuang mencapai tujuan.” ”Sungguh suatu metode motivasi dan kepemimpinan yang efektif dari Buddha Gautama, muncul jauh sebelum lahirnya ilmu-ilmu kepemimpinan,” Wu Mie berkata dengan penuh ketulusan.
“Di samping ajaran Buddha, kita juga mengenal metode kepemimpinan secara Konfusius yakni seorang pemimpin yang baik harus dapat menjalankan fungsi sebagai pemimpin, orang tua dan guru.” Wu Sheng melanjutkan. ”Menjadi pemimpin adalah berada di depan memandu orang lain agar tidak tersesat. Dalam hal ini diperlukan kebijaksanaan, moralitas dan kiat-kiat kepemimpinan praktis. Menjadi orang tua adalah memperhatikan dan melindungi orang lain layaknya sebagai orang tua melindungi putra-putrinya. Sedang menjadi guru adalah mendidik siswa, bukan sekedar mengajar ataupun menghukum. Dengan menjalankan ketiga fungsi ini secara bijaksana, tidakkah bawahan kita akan membalasnya dengan penuh kesetiaan?”
“Aku pernah mendengar dari Bhiksu Wu Zhuo tentang kisah Buddha Gautama merawat seorang bhiksu yang sakit. Ini mengajarkan bahwa seorang pemimpin ada kalanya juga harus turun ke bawah melayani bawahannya yang dalam kesulitan,” Wu Wo menambahkan.
“Terima kasih atas penjelasan Paman dan Kakak Wu Wo. Kini terbuka mataku akan kebajikan dan keteladanan kepemimpinan Buddhis. Tetapi apakah kepemimpinan yang bajik dan lembut ini sesuai untuk dunia persilatan?” tanya Wu Mie dengan penuh ketidakmengertian.
“Hm, bagi yang tidak memahami Buddha Dharma mungkin saja bisa salah mengartikan makna kepemimpinan tiada tara Buddhisme seperti yang baru saja kau katakan, Wu Mie,” jawab Wu Sheng. “Lembut bukan berarti lemah, bajik bukan berarti tidak mempertahankan diri. Coba lihat Shaolin Si. Shaolin adalah vihara Buddhis, tetapi siapa yang berani meremehkannya? Selama banyak generasi, Shaolin selalu dipandang sebagai pemimpin dunia persilatan. Apakah Shaolin lemah? Apakah Shaolin tidak bisa mempertahankan diri dari serangan ketidakbajikan? Paman rasa cukup jelas bagimu sekarang untuk memahami makna sebenarnya dari kepemimpinan Buddhis.”
“Ajaran Buddha diterapkan demi kebahagiaan semua makhluk. Apabila ada serangan dari luar yang dapat menyebabkan hancurnya kebahagiaan beribu-ribu bahkan berjuta-juta manusia, maka para siswa Buddhis akan bangkit menangkal ketidakbajikan itu. Tetapi semua itu dilakukan bukan dengan kebencian ataupun dendam, melainkan berdasarkan rasa welas asih demi mempertahankan kebahagiaan serta untuk menyadarkan pihak penyerang akan buruknya perbuatan mereka.” Tidak sia-sia Wu Wo selama ini belajar dari Bhiksu Wu Zhuo.
“Dari kelembutan muncul kekuatan, sedang kebajikan mengakhiri segala perbuatan buruk dan semua ini dicapai dengan kedisplinan yang tinggi. Kini aku memahami hakekat luhur kepemimpinan tiada tara.” Inilah pencerahan yang dialami oleh Wu Mie.
Setahun kemudian Wu Mie terpilih secara mutlak sebagai Ketua Tian Long Ba Bu. Sehari setelah pemilihan, tiga orang ketua dari tiga perguruan secara khusus menghadap pada Wu Mie dan Wu Sheng. Ternyata ketiga ketua inilah yang mengeroyok Wu Mie. Tepat seperti yang diperkirakan, mereka bertiga ini hanya bermaksud menekan Wu Mie agar mengundurkan diri dari bursa calon ketua. Sebagai tokoh sesepuh mereka meragukan kualitas kepemimpinan Wu Mie. Untuk itu mereka bertiga sengaja menyembunyikan identitas dengan bercadar dan memakai senjata golok yang sebetulnya bukan senjata yang biasa mereka gunakan. Mereka tidak bermaksud membunuh, bahkan serangan golok mematikan yang digagalkan oleh Wu Wo itupun sebenarnya hanya untuk menakuti Wu Mie.
Setelah gagal dalam usaha pertama, mereka bertiga masih bermaksud menggalang kekuatan tujuh perguruan untuk tidak memilih Wu Mie. Tetapi setelah setahun mengamati gaya kepemimpinan Wu Mie, mereka mau tidak mau harus mengakui bahwa Wu Mie adalah seorang pemimpin sejati.
Dengan berhasilnya Wu Mie terpilih sebagai ketua Tian Long Ba Bu, maka usailah sudah tugas Wu Wo. Kini tiba saatnya untuk kembali menjalankan hidup sebagai pendekar pengelana.