easter-japanese

Feng Shui dan Cap Ji Shio merupakan dua hal yang berkaitan erat dengan kehidupan masyarakat Tionghoa. Dalam kesempatan yang lalu telah kita bahas sedikit mengenai halnya Feng Shui, yang mana kita memperoleh kesimpulan bahwa Feng Shui adalah ‘common sense’ yang sudah seharusnya diketahui dan dimiliki oleh kita semua, yang seharusnya dikembangkan dan dilestarikan secara ilmiah. Sekarang, bagaimana pula dengan Cap Ji Shio?

Ingin mencari jodoh? Carilah yang shionya cocok. Ingin mengetahui karakter seseorang, lihatlah shio-nya. Ingin memperoleh anak yang membawa hokki? Cari shio kelahiran yang tepat. Inilah perhitungan Cap Ji Shio yang sering digunakan dalam menjelaskan karakter berdasarkan shio tahun kelahiran dan peruntungan kita setiap tahunnya.

Ada yang mengatakan bahwa keduabelas binatang yang dijadikan simbol Cap Ji Shio itu merupakan binatang-binatang yang secara berurutan menjenguk Buddha Gautama pada saat Beliau menjelang Mahaparinirvana. Bagaimanakah kebenaran ucapan ini dipandang dari sudut pandang Buddhis yang benar? He, he, boleh dikatakan ini adalah ucapan yang mencomot nama Buddha dalam rangka membenarkan cerita dongeng. Kita bisa membuktikannya dengan penjelasan berikut.

Keduabelas binatang Cap Ji Shio merupakan simbol yang dipilih untuk memudahkan mengingat sistem penanggalan oleh leluhur bangsa Tiongkok kuno. Penanggalan Tiongkok didasarkan pada paduan 10 Batang Langit dan 12 Ranting Bumi. 12 Cap Ji Shio digunakan berpasangan dengan 12 Ranting Bumi. Karena ‘Bumi’ yang merupakan tempat berpijak, maka diambil unsur bagian bawah dari binatang yaitu kuku jari sebagai perlambang. Binatang berkuku jari genap dilambangkan sebagai unsur ‘Yin’ dan berkuku jari ganjil dilambangkan sebagai unsur ‘Yang’. Ular tidak memiliki kaki, maka yang diambil adalah lidahnya yang bercabang dua (unsur Yin). Karena itu muncul urutan tikus, harimau, naga, kuda, kera dan anjing sebagai unsur Yang (berkuku jari ganjil); sedang sapi, kelinci, ular, kambing, ayam dan babi sebagai unsur Yin (berkuku jari genap, kecuali ular). Pada masa itu, Yin melambangkan genap, sedang Yang adalah ganjil.

Perlu diketahui bahwa dalam Cap Ji Shio tikus berada pada urutan pertama berpasangan dengan 12 Ranting Bumi ‘Tzi’ yang mewakili waktu antara pukul 23 (hari sebelumnya dan dilambangkan sebagai unsur Yin) hingga pukul 01 (hari ini dan dilambangkan sebagai unsur Yang). Posisi pertama ini meliputi baik unsur Yin ataupun Yang. Tikus memiliki jumlah kuku jari kaki depan 4 (Yin) dan kaki belakang 5 (Yang), karena itulah tikus dipilih sebagai urutan pertama yang dianggap mewakili baik unsur Yin ataupun Yang.

Orang Tiongkok kuno menggunakan sistem perhitungan Batang Langit, Ranting Bumi dan Cap Ji Shio, tak lain bertujuan untuk memudahkan mengingat perhitungan tahun seperti halnya sekarang kita menggunakan penanggalan Masehi. Dikatakan sistem perhitungan ini telah ada sejak dinasti Xia (abad 21-abad 16 SM), tetapi pendapat ini masih diragukan. Yang lebih bisa dipastikan berdasarkan temuan galian kota kuno dinasti Shang bahwa sistem ini paling lambat telah ada pada jaman dinasti Shang (abad 16 – abad 11 SM). Kemudian baru pada jaman dinasti Qin (221 – 209 SM) dan Han (206 SM – 220 M) ditambahkanlah konsep ‘Wu Xing’ (lima unsur: emas, kayu, air, api, tanah) dalam Cap Ji Shio.

Dari penjelasan di atas, dapat kita ketahui bahwa Cap Ji Shio telah ada bahkan sebelum kelahiran Buddha Gautama. Lalu, dari mana munculnya cerita dua belas binatang yang secara berurutan menjenguk Buddha Gautama saat menjelang Mahaparinirvana? Serta, bagaimana hal yang semula merupakan ilmu penanggalan bisa berubah menjadi ilmu meramal kehidupan atau karakter seseorang?

Ini tak terlepas dari peran umat awam sendiri yang tak memiliki pandangan benar. Mereka beranggapan bahwa ilmu yang rumit, mistis serta takhayul, diyakini sebagai ilmu ampuh pembawa keberuntungan dan kebahagiaan. Adakah kita umat Buddhis juga berpandangan bodoh seperti itu? Tak dipungkiri, ada orang yang memperoleh ketenangan pikiran dari kepercayaan secara membabi buta terhadap ramalan Cap Ji Shio ataupun Feng Shui, meskipun mungkin ketenangan itu hanya bersifat sementara saja. Secara psikologis, ketenangan pikiran dapat membantu kita mengenali inti permasalahan yang dihadapi, serta dari ketenangan pulalah akan dapat muncul jawaban atas permasalahan itu. Kalau kunci penyelesaian masalah terletak pada ketenangan pikiran, kenapa harus berputar jauh-jauh mempercayai ilmu ramalan, sedang Buddha Gautama sendiri telah mengajarkan secara langsung metode pengendalian dan penenangan diri?

Sebagai penutup, mari kita lihat kutipan Brahmajala Sutta berikut ini.

[ Maha Sila 26. Atau ia berkata : “Sementara beberapa petapa dan brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, namun mereka masih tetap mencari panghasilan dengan mata pencaharian yang salah, yaitu dengan cara yang rendah sebagai berikut : menentukan hari baik untuk perkawinan, menentukan hari baik bagi mempelai pria dan wanita untuk pergi, menentukan hari baik untuk keharmonisan, … Tetapi Samana Gotama tidak melakukan hal-hal tersebut.” ]

Perlu diketahui bahwa penentuan hari baik yang dimaksud dalam Sutta di atas itu akan dihubungkan dengan shio dalam perhitungan ramalan Cap Ji Shio. Dengan kata lain, shio kita menentukan hari baik kita. Sebagai umat Buddhis yang mengerti akan Jalan Mulia Berunsur Delapan, sesuaikah perilaku kita bila melakukan mata pencaharian salah dan rendah seperti tertulis di atas? Atau, bila kita sebagai umat Buddhis mempercayai ramalan Cap Ji Shio ataupun Feng Shui secara takhayul, berarti kita telah membantu menumbuhsuburkan mata pencaharian salah dan rendah, yang berarti pula kita telah membantu menjerumuskan orang lain melakukan mata pencaharian rendah tersebut.

Sekali lagi, mari kita kembangkan dan lestarikan budaya ilmu Feng Shui dan Cap Ji Shio secara ilmiah, bukan secara takhayul.

Sekarang, mengertikah kita akan apa dan mengapa Cap Ji Shio?

Majalah Sinar Dharma edisi 05 – Waisak 2548/2004

Referensi:

  1. Buku berbahasa Mandarin: Li Shu Bai Wen Bai Da (Seratus Tanya Jawab Seputar Ilmu Penanggalan), editor: Tang Han Liang – Lin Shu Ying, Penerbit Jiangshu Kexue Jishu – China, 1995
  2. Brahmajala Sutta, Badan Penerbit Buddhis Aryasuryacandra, 1990