easter-japanese

Teman, pernahkah engkau mendengar ataupun membaca mengenai sebuah kisah perumpamaan yang berjudul: ”Orang Buta dan Seekor Gajah”? Jika belum, berikut kisah perumpamaan tersebut.

Suatu ketika ada lima orang buta yang tidak pernah melihat gajah seumur hidup mereka. Mereka pergi ke perkemahan sirkus dan mereka dipertemukan dengan seekor gajah oleh pemilik sirkus tersebut. Pemilik sirkus tersebut mengatakan kepada kelima orang buta itu bahwa gajah ini adalah hewan yang lebih besar dan berat dari manusia.

Teman, dengan menggunakan tangan, kelima orang buta tersebut meraba gajah tersebut untuk mengetahui bentuk sebenarnya dari gajah itu. Orang buta pertama meraba belalai gajah tersebut dan mengatakan, ”Oh, gajah itu seperti selang yang besar!” Orang buta kedua meraba kaki gajah tersebut dan mengatakan, ”Oh, gajah itu seperti batang pohon besar!” Orang buta ketiga meraba kuping gajah tersebut dan mengatakan, ”Oh, gajah itu seperti daun kipas yang besar!” Kemudian, orang buta keempat meraba tubuh si gajah yang berbulu kasar itu dan mengatakan, ”Oh, gajah itu seperti karung goni yang sangat besar sekali!” Dan terakhir, orang buta kelima memegang buntut si gajah dan mengatakan, ”Oh, gajah itu seperti kabel besar yang ujungnya berambut!”

Dalam perjalanan pulang, kelima orang buta tersebut saling berdebat mengenai bentuk sesungguhnya dari seekor gajah. Masing-masing mempertahankan pendapatnya mengenai bentuk gajah yang mereka dapat dari meraba tubuh gajah tersebut, dan akhirnya bereka saling bertengkar satu sama yang lain.

Teman, kisah perumpamaan di atas memiliki makna bahwa adalah hal yang sia-sia belaka kita memperdebatkan sesuatu yang belum kita ketahui secara pasti. Kita hanya akan menjadi orang-orang buta yang bodoh.

Tapi teman, ada kisah perumpamaan lain yang hampir sama yaitu juga mengenai lima orang buta dan seekor gajah. Tetapi kali ini, ketika dalam perjalanan pulang setelah meraba bagian tubuh gajah, mereka berlima saling berdiskusi, bertukar pandangan mengenai bentuk gajah dari meraba tubuh gajah. Di akhir diskusi, mereka sepakat untuk kembali ke perkemahan sirkus untuk kembali meraba gajah tersebut. Tapi kali ini, mereka saling bertukar tempat untuk meraba seluruh bagian tubuh gajah. Kelima orang buta tersebut meraba bagian tubuh gajah yang pernah diraba oleh temannya. Dengan demikian kelima orang buta tersebut telah meraba seluruh tubuh gajah.

Setelah mereka meraba seluruh bagian tubuh gajah tersebut, mereka berdiskusi kembali. Dari hasil diskusi, mereka berkesimpulan bahwa ada tanda-tanda, ada ciri-ciri khas dari seekor gajah. Mereka juga akhirnya berpendapat bahwa pemilik sirkus tidaklah berbohong mengenai ciri-ciri gajah yang memiliki tubuh yang lebih besar dan berat dari manusia. Teman, meskipun kelima orang buta itu tidak melihat seperti apa bentuk gajah sesungguhnya, namun mereka memiliki pemikiran yang sama yang didapat dari tanda-tanda, ciri-ciri yang mereka dapat baik dari meraba dan juga dari perkataan pemilik sirkus tersebut.

Teman, dari kedua kisah perumpamaan di atas, apa yang dapat kita pelajari? Benar, jadikanlah diri kita menjadi orang buta yang cerdik, yang bijaksana, yang ”melihat” tanda-tanda, ciri-ciri, indikasi-indikasi dari kebenaran yang masih tersembunyi dari pandangan kita. Dengan demikian, kita dapat menjauhkan diri kita dari hal-hal buruk yang menanti kita yang juga akan menjauhkan kita dari kebenaran yang masih tersembunyi tersebut. Jika kita yang masih buta akan kebenaran yang tersembunyi ini tidak memiliki kecerdikan, kebijaksanaan, kita akan menjadi orang-orang buta yang bodoh yang dengan mudah dapat dipermainkan oleh orang lain yang nakal. Dan hanya dengan cahaya kebijaksanaan-lah maka kegelapan pada pada mata kita akan lenyap.

-SP-