Rudi Hardjon Dhammaraja
Hingga saat ini, ajaran Buddha yang dikenal dengan Buddhasasana, Buddhadhamma, Dhamma, atau Dhamma Vinaya telah berusia lebih dari 2500 tahun. Jikalau dihitung mulai dari pembeberan Dhamma pertama dengan judul “Dhammacakkappavattana Sutta : Kotbah tentang pemutaran roda Dhamma” kepada lima pertapa (sekitar 588 S.M. di Taman Rusa Isipatana) kendati pertama kalinya di hari ke-50 setelah Pertapa Gotama mencapai Penerangan Sempurna, Buddha memberikan nasihat Dhamma kepada dua orang pedagang (Bhallika dan Tapussa) yang sedang lewat di dekat Buddha sedang duduk, maka tahun 2006 ini Dhamma telah berusia 2595 tahun. Dengan usia yang cukup tua tersebut, tentunya Buddhadhamma memiliki ciri tersendiri dan memiliki khasnya sendiri pula. Dan tentunya ada perbedaan-perbedaan yang mendasar dengan ajaran-ajaran yang lain serta tidak dapat ditarik suatu garis persamaan. “Kita harus berani tampil BEDA”. Untuk itu, seyogyanya kita umat Buddha dapat mengetahui dan memahami Dhamma; ajaran Buddha agar kita dapat melihat keistimewaan atau khasnya Buddhis dan yang menarik minat banyak pihak untuk menganut Buddhadhamma.
Sejak tahun 588 S.M. Buddha membeberkan Dhamma hingga detik terakhir Beliau wafat (mencapai Parinibbana) pada tahun 543 S.M., maka Buddha membeberkan Dhamma selama 45 tahun. Angka ini adalah merupakan angka yang paling besar dan paling lama mengajar Dhamma dari guru-guru spritual lainnya di dunia ini. Tak mengherankan bila kitab suci Tipitaka merupakan kitab yang paling tebal dan isinya adalah keseluruhan kotbah yang disampaikan Buddha diberbagai tempat dan kepada berbagai suku. Dan kepiawaian Beliau dalam membeberkan Dhamma adalah menggunakan bahasa yang digunakan oleh masyarakat umum kala itu, yakni bahasa Pali. Sedangkan bahasa Sanskerta adalah bahasa bangsawan dan paling sedikit digunakan oleh Buddha dalam membeberkan Dhamma yang indah pada awalnya, indah pada pertengahannya, dan indah pula pada pengakhirannya. Penggunaan bahasa rakyat jelata adalah menunjukkan bahwa Buddha merupakan seorang yang low profile, rendah hati, tiada sombong, dan tidak memandang sebelah mata masyarakat grass-roots.
Dhamma ajaran Buddha bagaikan sebuah rakit yang berfungsi sebagai alat penyeberang. Kalau rakit dapat menyeberangkan orang ke pantai seberang, sedangkan Dhamma adalah alat untuk mencapai Nibbana, pencapaian pembebasan dari dukkha. Mereka yang melaksanakan Dhamma dalam kehidupan sehari-hari akan memberikan manfaat baik bagi diri sendiri maupun bagi orang-orang yang berada disekitarnya.
Buddhadhamma merupakan ajaran yang dibeberkan dan dikumandangkan oleh Buddha Gotama yang berasal dari anak Raja Sudodhana penguasa Kapilavatthu. Karena ketidak-inginan Beliau akan kekayaan dan kekuasaan yang dimiliki oleh orang tuanya dan Beliau memiliki kecenderungan untuk hidup bebas dan penuh ketenangan, maka Beliau meninggalkan istana kerajaan yang menawarkan kemelekatan duniawi, sementara Beliau memilih untuk bebas dari keterikatan duniawi. Pada akhirnya Beliau keluar dari istana untuk mencari obat agar dapat membebaskan diri dari keterikatan duniawi yang pada akhirnya membawa dukkha. Setelah melakukan pengasingan selama enam tahun di hutan Uruvella, Beliau memperoleh pencerahan. Pencerahan inilah yang kemudian Beliau kumandangkan kepada dunia melalui dua orang pedagang yang bernama Bhallika dan Tapussa, selanjutnya kepada Pertapa Kondanna, Pertapa Vappa, Pertapa Bhaddiya, Pertapa Mahanama, dan Pertapa Assaji.
Berikut ini akan dibahas tentang ciri-ciri atau sifat khas ajaran Buddha, yakni :
Dukkha, ketidakpuasan, hal ini adalah menjadi ajaran utama Buddha Gotama di dalam pembeberan Dhamma yang pertama. Buddha tidak menyembunyikan fakta hidup bahwa hidup ini penuh dengan ketidakpuasan. Dengan fakta ini, maka Buddha menjelaskan dengan terperinci tentang ketidakpuasan, dasar-dasar ketidakpuasan, sebab-sebab akhir atau lenyapnya ketidakpuasan dan kemudian cara-cara untuk melenyapkan ketidakpuasan. Jadi dalam hal ini banyak orang yang tidak memahami atau mempelajari keseluruhan dari ajaran tentang dukkha, sehingga banyak yang salah mengerti dan salah memandang tentang ajaran Buddha. Karena kesalahpandangan dan kesalahpahaman tersebut menyebabkan banyak orang berpandangan bahwa Buddha tidak pernah mengajarkan tentang kebahagiaan, sehingga ajaran Buddha digolongkan menjadi ajaran pesimis. Moni Bagghee, “Our Buddha” : Analisa Rasional – Buddhadhamma merupakan satu-satunya agama besar di dunia ini yang secara sadar dan terus terang berlandaskan kepada suatu analisa rasional yang sistematis terhadap problem-problem kehidupan serta jalan pemecahannya. Dr.K.N.Jayatilleke,”Buddhism and Peace : Fakta Realitas yang Terakhir”. Di sini adalah perlu untuk diberikan perhatian kepada sifat unik lainnya dari Buddhadhamma, yakni bahwa ia adalah satu-satunya ajaran dari seorang guru, yang merupakan hasil dari filosofi yang konsisten, yang dengan tegas memberitahukan kita mengenai fakta kehidupan dan realitas yang terakhir. Buddhadhamma adalah suatu pedoman hidup yang dihasilkan dari penerimaan terhadap kehidupan, yang dikatakan sebagai kenyataan yang sesungguhnya. Filsafatnya bukanlah tanpa memperhitungkan sifat alamiah dari pengetahuan.
Buddha, seorang yang objektif, Buddha adalah seorang yang Rasionalis dan Objektif, pernyataan ini dapat dilihat dari apa yang Beliau ajarakan kepada kita. Beliau dengan bijaksana menunjukkan kepada kita tentang perbuatan baik lengkap dengan buah-buah yang akan dinikmati oleh si pelaku, demikian pula tentang perbuatan buruk serta akibat yang akan dialami oleh mereka yang melakukan kejahatan. Dengan demikian, Buddha menyerahkan remote control kepada kita masing-masing, mana yang akan kita pergunakan “apakah yang baik atau yang buruk ?”. Dr. S. Radhakrsishnan, “Gautama The Buddha : Kita Terkesan oleh Semangat Rasionalitas-Nya”. Tatkala kita membaca kotbah-kotbah-Nya, kita terkesan oleh semangat rasionalitas-Nya. Jalan etika Buddha yang pertama ialah pandangan/pengertian benar, suatu pandangan yang rasional. Beliau berusaha menyingkirkan segala perangkap yang merintangi pandangan /penglihatan manusia terhadap dirinya sendiri serta nasibnya.
Ehipassiko, datang, lihat, dan buktikan, Ven.Dr.W.Rahula, “What the Buddhis Taught” Buddhadhamma adalah selalu merupakan pertanyaan tentang pengetahuan dan pembuktian; bukan tentang kepercayaan. Ajaran Buddha memenuhi syarat sebagai Ehipassiko, mengundang Anda untuk datang, dan membuktikan, bukannya datang dan percaya. Berkaitan dengan ini berarti prinsip Buddhis bukan “Datang dan Percayalah” akan tetapi “Datang dan Buktikanlah atau mari buktikan”. Dari pernyataan di atas jelaslah bahwa ajaran Buddha berkecenderungan beranjak dari pengetahuan atau ilmiah dan bukan berdasarkan kepercayaan yang membuta. Sesungguhnya keyakinan seseorang menjadi kuat apabila sesuatu yang menjadi dasar pengetahuan mereka karena telah membuktikan kebenaran tersebut secara akurat ketimbang hanya percaya pada apa yang tertulis kendatipun itu berasal dari kitab suci yang diyakini.
Diri sendiri adalah pelindung bagi diri sendiri, tidak ada tempat bagi siapa pun untuk pergi berlindung selain berlindung pada dirinya sendiri. Para Buddha hanyalah sebagai penunjuk Jalan, kita-lah yang harus menapaki Jalan tersebut. Buddhadhamma mengandalkan diri sendiri daripada diluar diri sendiri. Dalam tradisi Buddhis tidak mengenal sistem permohonan atau permintaan untuk menjadi bahagia, sehat, kuat, maupun kaya ataupun enteng jodoh. Menurut Dhamma, kebahagiaan, kesehatan, kekuatan, kaya maupun enteng jodoh tidak dapat diperoleh dengan cara meminta dan memohon, namun dapat diperoleh dengan membuat sebab-sebabnya agar menimbulkan akibat. Dengan penjelasan ini jelaslah bahwa umat Buddha bukan penyembah berhala, seperti yang dituduhkan oleh banyak pihak. Umat Buddha melakukan pujabhatti adalah sebagai wujud penghormatan kepada Buddha sebagai guru yang telah menjadi teladan dan menunjukkan jalan kebenaran bagi kita. Lebih tepat dapat dikatakan bahwa Buddharupang yang berada di atas altar adalah merupakan simbol dari visi ajaran Buddha, yakni mencapai Nibbana. Cara penghormatan yang dilakukan adalah merupakan tradisi masyarakat setempat atau merupakan budaya India.
Diri sendiri adalah sumber kebajikan dan kejahatan, Buddha bersabda yang terdapat dalam Dhammapada bahwa yang menjadi sumber kebajikan dan kejahatan adalah perbuatan seseorang. Seseorang dapat melakukan perbuatan yang berawal dari lobha/keserakahan, dosa/kebencian, dan moha/kebodohan (Ti-akusala mula : tiga akar kejahatan) serta alobha/ketidakserakahan, adosa/ketidakbencian, dan amoha/ketidakbodohan (Ti-kusala mula : tiga akar kebajikan). Dan perbuatan pula yang menjadikan seseorang menjadi suci ataupun tidak suci. Bukan Buddha ataupun Tuhan yang menjadi sumber kebajikan dan bukan pula setan atau iblis yang menjadi sumber kejahatan. Dengan demikian tiada seorangpun yang bisa dipersalahkan karena kejahatan yang dilakukan oleh seseorang. Tidak bijaksana pula bila kita mempersalahkan setan dan iblis yang telah menggoda manusia untuk melakukan kejahatan. Bila memang setan dan iblis kerjanya adalah menggoda manusia, maka timbul pertanyaan mengapa manusia bisa tergoda ? Dalam hal ini kesadaran seseorang sangat-sangat dibutuhkan. Bila seseorang telah memiliki kesadaran, maka manusia dapat memilah-milah antara perbuatan baik dan perbuatan jahat. Dengan mengetahui bahwa hal tersebut adalah baik maka seharusnya terus dilakukanlah, akan tetapi apabila hal tersebut tidak baik atau jahat maka hindarilah, jangan dilakukan.
Pemberi dana berterima kasih kepada penerima, pada umumnya si penerima berterima kasih kepada pemberi. Berbeda halnya dalam Buddhism, si pemberilah yang mengucapkan terima kasih, alasannya karena penerima dana telah memberi kesempatan kepada pemberi dana untuk membuat kamma baik. Kendati demikian bukan berarti bahwa pemberi dana tidak perlu mengucapkan terima kasih. Mengucapkan terima kasih adalah merupakan perbuatan balas jasa. Hal ini juga merupakan hal yang baik. Namun bukan karena seseorang telah memberi lantas berkeinginan untuk menjadi penguasa atau bertindak angkuh dan sombong. Jadi karena orang yang menerima telah memberi peluang kepada pemberi melakukan jasa kebajikan, sepantasnya-lah si pemberi mengucapkan terima kasih.
Menggunakan Alat sebagai tanda penghormatan atau terima kasih, selesai mencapai Pencerahan, Buddha Gotama selama satu minggu melihat pohon Bodhi sebagai tanda terima kasih Beliau kepada pohon Bodhi yang telah memberikan pernaungan dalam merealisasikan Pencerahan. Demikian pula halnya umat Buddha belajar dari Guru Agung Buddha Gotama yang telah berjasa dalam pembabaran kebenaran yang membawa kebahagiaan, kedamaian, dan Pencerahan. Umat Buddha tidak menyembah patung untuk meminta dan memohon apapun, akan tetapi umat Buddha menyatakan sujud dan bhatti atas tauladan yang diberikan Buddha Gotama serta menjadi motivasi dalam meraih kesuksesan hidup dan Pencerahan untuk jangka panjang.
Demikianlah sekelumit pembahasan tentang karakteristik Buddhis, semoga membawa manfaat bagi kita semua dan menjadi dasar kita berpikir. Setelah memiliki pemikiran Buddhistis, kita juga seharusnya tidak berhenti hanya pada pemikiran saja, namun sebaiknya pemikiran tersebut menjadi dasar pula untuk dipraktikkan di dalam keseharian. Perbuatan inilah yang sesungguhnya diharapkan sebagai umat Buddha yang mengerti Dhamma.