Morpheus
Begitu banyak resep untuk mencapai kebahagiaan ditawarkan. Berbagai cabang ilmu pengetahuan mencoba memberikan solusi terhadap salah satu pertanyaan terbesar umat manusia ini. Apakah Buddhisme juga mampu memberikan kebahagiaan kepada praktisinya?
Sudah menjadi pengetahuan kita, bahwa buddhisme sangat berbeda. Berbeda dengan agama-agama wahyu yang banyak menakut-nakuti dan mengiming-imingi pengikutnya. Buddhisme memberikan kebebasan penuh bagi penganut maupun simpatisannya. Bukanlah suatu perbuatan yang salah apabila seorang Buddhis tidak mempercayai apa yang disabdakan oleh Buddha sendiri (Kalama Sutta -Ed). Tidak masalah bagi seorang Buddhis untuk meragukan kitab sucinya sendiri. Umat Buddha tidak ambil pusing pada hal-hal spekulatif yang jelas-jelas tidak dapat dibuktikan secara nyata di kehidupan ini. Tidak peduli apakah benar surga atau neraka itu ada, apakah Buddha memang benar maha tahu, apakah benar bila kita mati akan terlahir lagi, apakah benar karma itu ada… ? Banyak pertanyaan-pertanyaan yang melintasi otak kita.
Tentu saja, orang-orang yang pernah menerima ajaran-ajaran agama wahyu akan bertanya dengan penuh keheranan, “Lalu apa yang membuat anda dan orang-orang yang lain beragama Buddha? Janji surga tidak ada, ditakut-takuti neraka juga kagak, gimana tuh?”
Orang-orang menganut ajaran Buddha dikarenakan ajaran Buddha menyediakan suatu solusi, memberikan cara pemecahan masalah yang begitu indah untuk masalah-masalah terbesar manusia pada kehidupan ini. Bukan janji-janji di masa datang setelah mati yang sama sekali tidak bisa dibuktikan. Buddhisme menyediakan kedamaian dan kebahagiaan saat ini. Walaupun, bila ditelaah lebih lanjut lagi, Buddhisme juga menawarkan spiritualitas yang lebih dalam dan lebih tinggi…
Memang, banyak orang yang beragama Buddha karena merasa menemukan suatu realitas dan hal-hal logis yang tidak akan ditemui di agama wahyu. Mereka tidak menemukan hal-hal spekulatif pada sabda-sabda Buddha, mereka tidak menemukan dongeng-dongeng indah mengenai penciptaan, asal muasal sesuatu, yang jelas-jelas telah gugur oleh ilmu pengetahuan modern. Pada intinya Buddhisme tetaplah merupakan sebuah agama yang dipraktikkan dan sebuah jalan spiritual, bukan hanya sekadar alat untuk berdebat atau berisi teori-teori indah nan kering…
Jadi bila ada yang bertanya, “Bagaimana membuktikan ajaran Buddha?”
Pada level yang paling mudah dan tidak terlalu muluk, bila seseorang mendengar dan mempraktikkan Buddha Dhamma, lalu merasakan kebahagiaan dan damai, berarti ajaran Buddha adalah benar. Jangan membicarakan level yang muluk-muluk, seperti rebirth (tumimbal lahir -ed) atau sebangsanya. Karena pembuktian ini perlu ketekunan, walaupun Buddha sendiri sudah menyediakan perangkat pembuktiannya. Atau bila anda menginginkan pembuktian ilmiah, anda terpaksa harus puas hanya dengan membaca hasil penelitian orang lain, salah satunya oleh Dr Ian Stevenson di salah satu bukunya yang membahas tentang tumimbal lahir.
Lalu, apa permasalahan terbesar manusia? Setiap manusia menginginkan dan mencari kebahagiaan, walaupun definisi dan cara mencapai kebahagiaan itu berbeda-beda. Sebagian orang mungkin akan berpikir alangkah bahagianya apabila seluruh teroris dan praktik-praktik kebencian dapat dimusnahkan. Sebagian yang lain akan berpikir alangkah bahagianya bila keadilan ditegakkan dan zionis diberantas.
Sebagian orang lagi, mungkin akan berpikir alangkah bahagianya kalau semua orang dapat diajak “bertobat” menuju kerajaan tuhan. Sementara yang lain berpikir alangkah bahagianya kalau semua orang dapat membuka pikiran dan wawasan-nya, keluar dari tempurung dan melepas kacamata kudanya.
Seperti waktu kita masih di Sekolah Dasar, kita berpikir alangkah bahagianya bila kita nanti bisa masuk SMP favorit dan menjadi lebih pandai. Namun setelah SMP kita tidak juga bahagia dan kita mulai berpikir lagi, “kalau saya bisa masuk SMA, kerennya pakai celana panjang, pakai sepeda motor dan saya akan bahagia”.
Kitapun mulai mengejar kebahagiaan tersebut, belajar dengan keras sampai akhirnya bisa sekolah di SMA favorit dan ternyata kita tetap tidak bahagia. Mulai berpikir lagi alangkah enaknya kuliah, tidak harus belajar tiap hari, pakai baju yang suka-suka, kelihatan pintar lagi, pasti saya bahagia kalau sudah kuliah. Dan bisa ditebak, kita akan tambah stress dan tetap tidak bertemu bahagia. Begitu seterusnya, ingin pacar, ingin kerja, ingin punya mobil… Setelah semuanya diraih, masalah semakin banyak, stress semakin besar apalagi kalau tidak kesampaian…
Ternyata rumusan bahagia itu berbeda-beda dan terus berubah-ubah. Solusi Buddhis untuk kebahagiaan adalah apa yang disebut Four Noble Truths (Empat Kebenaran Mulia).
Ternyata masalah kebahagiaan adalah masalah pikiran. It’s in your mind. Pikiran yang melekat pada kebencian, keserakahan dan kebodohan akan membawa penderitaan. Pikiran yang lepas dari hal-hal jelek membawa kebahagiaan. It’s about contentment and letting go. (Ini adalah tentang rasa puas dan pelepasan)
Ada sebuah cerita yang sangat mengena dari Ajahn Brahmavamso mengenai seorang bhikkhu yang mengajar di sebuah penjara di Australia. Setelah mengajar meditasi beberapa lama di penjara tersebut, para napi semakin dekat dengan sang bhikkhu. Karena ingin memenuhi keingintahuannya, mereka bertanya, “Bagaimana sih kehidupan seorang bhikkhu di viharanya?”.
Sang bhikkhu bercerita bahwa dia harus bangun pukul 04.00 subuh, baca paritta, meditasi. Menjelang tengah hari para bhikkhu makan siang, satu-satunya makanan di hari itu, dan mereka tidak bisa memilih. Apa yang disuguhkan, itulah yang dimakan. Tidak ada televisi, tidak ada hiburan musik. Pakaian hanya berupa jubah. Kadang mereka harus bekerja. Meditasi dan meditasi. Tidur hanya dengan alas seadanya di lantai keras.
Mendengar itu, para napi terkejut. Di penjara mereka dapat makan tiga kali sehari. Ada televisi. Ada olahraga, hiburan, musik. Tidur di kasur empuk. Sampai salah satu napi nyeletuk “That’s terrible! Why don’t you just join us here? (Sungguh mengerikan! Mengapa Anda tidak bergabung dengan kami di sini?).”
Jadi apa yang membedakan vihara dengan penjara? Kenapa jatah retret di vihara tersebut penuh sampai tiga tahun mendatang, tahun 2005? Kenapa bhikkhu-bhikkhu lebih bahagia tinggal di sana? Di lain pihak, kenapa napi-napi tidak betah di penjara? Kenapa napi-napi banyak yang mencoba kabur dari penjara?
It’s all about contentment. Bhikkhu-bhikkhu bahagia karena mereka ingin berada di sana dan napi-napi tersiksa karena tidak ingin berada di penjara. Dengan begitu definisi penjara bisa diperluas. Kalau anda benci pada pekerjaan anda yang sekarang, berarti anda ada di penjara. Kalau anda berada pada perkawinan yang berantakan, anda di penjara. Kalau anda merasa gerah dengan dunia yang penuh dengan teroris, kekacauan, anda berada dalam penjara. Kalau anda tidak menyukai tubuh anda yang sakit-sakitan, lemes, loyo, letih, lesu, lunglai, berarti anda berada dalam penjara. Dan yang terakhir, kalau anda berada pada forum diskusi yang tidak anda sukai, tersiksa membaca posting-posting yang tidak enak, anda berada dalam penjara.
Lalu apa hubungannya antara solusi Buddhis tadi dengan meditasi? Karena tadi dikatakan “it’s all about mind”, jadi obatnya tentu juga harus berurusan dengan pikiran (mind). Kali ini saya mencoba menulis tentang meditasi Buddhis yang (semoga) benar. Biarlah pembaca menyimpulkan sendiri apa sebenarnya meditasi Buddhis itu dan apakah meditasi Buddhis sesuai dengan tudingan seseorang bahwa meditasi sangat tidak ilmiah (self hipnotis, kemasukan setan, dll).
Mengapa harus meditasi? Pertanyan ini akan muncul begitu saja. Seperti yang saya tulis sebelumnya, problem manusia ternyata sumbernya ada pada dirinya sendiri: pikiran yang liar, pikiran yang melekat pada kebencian, keserakahan dan kebodohan. Kebanyakan orang selalu menganggap semua problem terletak di luar dirinya.
Contohnya Bang “X”, selalu menganggap betapa jahatnya iblis yang berusaha menjerumuskan manusia, betapa liciknya sang iblis, betapa ajaran-ajaran iblis menyesatkan manusia, betapa sesatnya Gunung Kawi, meditasi, hipnotis, Buddha, patung, dan lain-lain. Manusia-manusia seperti ini selalu menjadikan kesalahan orang lain sebagai alasan untuk tidak bahagia. Mereka menyiksa dirinya sendiri dengan segala kebencian, keserakahan dan kebodohan yang melekat di hatinya. Mereka akan menyalahkan teroris atas ketidaktenangan hatinya. Mereka akan menuding mertua, babe, nyokap, pacar, istri, suami, engkong, musuh, atasan, rekan kerja, tetangga, si Unang, si Unyil, Yahudi, Arab, Cina, kafir, Islam, Amerika, komunis atas segala penderitaan yang dialaminya…
Ajahn Chah memberikan perumpamaan yang tepat, “Gatal di kepala, garuk-garuk di pantat”
Itulah orang yang selalu berusaha mencari problem dan solusi di luar dirinya. Bukannya gatalnya hilang, malah pantatnya jadi lecet. Bukannya kegelisahan, kemarahan, sakit hati, kebencian dan problem-problem lain menjadi hilang, malah semakin menjadi-jadi, semakin menderita.
Mereka yang mencari-cari solusi di luar akan selalu berbicara dengan “mengapa”. Mereka akan berkata, ‘Mengapa pacar saya tidak pengertian, mengapa mertua saya kepala batu, kenapa bos saya enggak bisa mengerti, mengapa Osama kejam banget, mengapa penumpang bis sebelah saya enggak mandi, mengapa ceweq sexy di seberang tidak naksir saya, mengapa internet gua kok lambat, mengapa mengapa mengapa mengapa…. ‘
Jauh dari itu semua, Buddha mengajarkan kita untuk menjadi orang yang bertanggung jawab dan jauh lebih pintar. Buddha mengajarkan kita untuk menjadi orang yang pro aktif (“Seven Habits of Highly Effective People” karya luar biasa dari Steven Covey merupakan tulisan yang sangat Buddhistik).
Dari pada menimpakan kesalahan pada sesuatu yang ada di luar kontrol kita, Buddha mengajarkan solusi yang jitu, yaitu mencari solusi di dalam diri sendiri. Kebencian, keserakahan dan kebodohan di diri kita sendiri itulah yang harus dipadamkan.
Dan itulah mengapa kita perlu meditasi…