easter-japanese

Waktu saya masih SMU, pernah suatu ketika saya bersama 2 orang teman saya ngobrol-ngobrol tentang hal-hal yang berbau filosofis tentang hidup. Teman saya mengemukakan satu pandangan yang menarik. Dia bilang, sebetulnya dalam hidup kita, tidak ada yang namanya “saat ini”, yang ada hanya “masa lalu” dan “masa depan”. Dia lalu bilang, coba bayangkan, misalnya kita berpikir tentang “detik ini”, yaitu detik di mana kita hidup sekarang. Saat pikiran kita keluar tentang “detik ini”, detik yang kita maksud sudah menjadi masa lalu. Tetapi kalau masa depan, kita berpikir tentang “hari esok”, ya sedetik kemudian pun hari esok masih menjadi bagian dari masa depan. Jadi menurutnya, yang disebut dengan “saat ini” itu tidak ada.

Wow, waktu itu saya cukup takjub. Pertama2, karena saya belum pernah berpikir sampai sejauh itu. Kedua, saya jadi mikir … kalau seandainya “saat ini” itu tidak ada, kalau gitu saya hidup di mana? Apakah saya cuma hidup di dunia ilusi “masa lalu” dan “masa depan”?

Lalu kira-kira 6 bulan kemudian, sewaktu saya browsing buku2 di Gramedia, saya menemukan 1 kutipan yang indah sekali. Kutipannya seperti ini:

Today is the first day of the rest of your life Yesterday is a dream, and tomorrow is a vision Today well-lived as if it is the only day you have Make every yesterday a dream of happiness And every tomorrow a vision of hope

Kembali saya terkesima dengan kutipan ini dan mengingatkan saya akan pandangan bahwa “saat ini” itu tidak ada, dan hidup cuma di dalam “masa lalu” dan “masa sekarang”. Dari kutipan ini, saya melihat jelas bahwa setiap “hari ini” (today), akan berubah menjadi “hari kemarin” (yesterday) bila saatnya tiba. Dan juga, setiap “hari esok” (tomorrow) akan berubah juga menjadi “hari ini” (today) bila saatnya tiba, dan kemudian akan berubah lagi menjadi “hari kemarin” (yesterday). Kedua hari tersebut, hari kemarin (yesterday) dan hari esok (tomorrow), keduanya adalah ilusi (tidak nyata), yang pertama adalah “mimpi” dan yang kedua adalah “visi”. Dan yang paling indah adalah … kita punya pilihan apa yang mau kita lakukan di “hari ini” supaya setiap “hari kemarin” dapat menjadi “mimpi yang indah” (sama2 ilusi tetapi dengan kualitas yang berbeda), dan juga setiap “hari esok” menjadi “visi yang penuh harapan/optimistis” (sama2 ilusi juga, tetapi kualitasnya berbeda). Dan pilihan untuk tindakan yang mau kita lakukan di “hari ini”, menyiratkan bahwa hari ini tuh “nyata”, saat di mana kita bisa melakukan sesuatu terhadapnya. Bukan ilusi yang tidak dapat diraih seperti “mimpi” dan “visi”.

Lalu saya berpikir, wow ternyata dengan menggunakan frame waktu yang sedikit panjang (“hari ini” daripada “saat ini”), kita bisa menyadari kenyataan bahwa “saat ini” itu ada, bukan tidak ada. Kalau saya bayangkan tiba2 waktu berhenti, lalu saya menengok ke belakang, saya akan lihat panjangnya detik2 yang sudah saya lewati dan menjadi masa lalu. Saya tidak bisa melangkah ke belakang, itu menjadi bagian yang tidak bisa saya ubah lagi. Lalu kalau saya lihat ke depan, ada rentang detik-detik yang akan datang, tetapi belum datang, terbentang luas di depan saya. Itulah masa depan. Sama juga, saya tidak bisa melangkah ke sana, hanya bisa membayangkan apa yang akan terjadi bila saatnya tiba untuk datang. Lalu di mana saya berpijak? Ya, di detik ini, di saat ini, di present moment, satu-satunya saat yang kecil sekali tetapi merupakan satu2nya tempat yang dapat kita pijak. Artinya… ya saat ini itu ada. 🙂

Jadi dari 2 pandangan di atas, sebetulnya yang namanya “saat ini” (present moment) itu benar-benar ada atau tidak? Jawabannya “saat ini” itu ada, tetapi tidak pernah benar2 ada. Yang pertama, “saat ini” itu ada karena di situlah kita bisa berpijak dan hidup di dalamnya. Kalau dia tidak ada, tentu saja kita tidak bisa berpijak dan hidup 🙂 Jadi… “saat ini” itu ada. Yang kedua, “saat ini” itu tidak pernah benar2 ada. Ada 2 penjelasannya. Pertama, keberadaannya sangat bergantung pada keberadaan “saat lalu” (past moment) dan “saat depan” (future moment). Bila tidak ada “saat lalu” dan “saat depan”, maka “saat ini” pun tidak ada. Dengan kata lain, dia tidak dapat “berdiri sendiri” sebagai suatu entitas yang eksis. Yang kedua, yang kita bilang sebagai “saat ini” itu segera akan berubah menjadi “saat lalu”, seperti pandangan yang teman yang bilang. Jadi, keberadaannya tidak terlepas dari hukum perubahan, ia tidak kekal.

Sang Buddha yang Maha Bijaksana telah menjelaskan karakteristik dari fenomena ini sebagai Anatta (tanpa inti yang kekal) dan Anicca (ketidakkekalan suatu fenomena). Sama dengan “saat ini”, fenomena yang lainnya pun tidak pernah terlepas dari 2 karakteristik ini. Suatu fenomenon tidak dapat berdiri sendiri dan bergantung pada keberadaan fenomena lainnya. Sama seperti “saat ini” yang bergantung pada keberadaan “saat lalu” dan “saat depan”. Lalu suatu fenomenon pun tidak lepas dari karakteristik ketidakkekalan. Suatu saat, ini akan berubah atau hilang juga, dan menjadi sesuatu yang lain. Sama seperti “saat ini” yang kemudian berubah menjadi “saat lalu”.

Demikian juga dengan “diri kita”, diri kita ada tetapi tidak pernah benar-benar ada. Diri kita ada karena bergantung pada sebab-sebab dan kondisi2 lain yang menyokongnya. Misalnya kita bisa lahir ke dunia ini karena kondisi2 berikut: orang tua kita punya keinginan seksual untuk bereproduksi, terjadinya pembuahan dari proses reproduksi, kamma kita di masa lampau yang memungkinkan kita menjadi anak dari orang tua kita, kasih orang tua kita dalam merawat kandungan, dll”. Ada banyak sekali faktor, sebab2, dan kondisi2 yang membuat kondisi kelahiran kita itu ada. Tetapi diri kita tidak pernah benar-benar ada, karena apa yang kita sebut sebagai “diri kita” pun senantiasa berubah setiap saat. Saya yang sekarang, dan saya sewaktu masih sekolah di SMP, pola pikir dan tindak tanduknya sudah jauh berbeda. Yang kita sebut dengan “diri kita” pada saat itu, sudah tidak ada lagi sekarang, dan sudah berubah (menjadi kembali) yang kita sebut “diri kita” saat ini, dan ini pun terus, dan akan terus berubah lagi… sampai tidak ada lagi kondisi2 yang menyokong kita untuk terlahir kembali. Till then … let’s keep in practice!