Samanera Dhammasiri
Tentu Sri Lanka adalah negara yang tidak asing di telinga kita, orang Indonesia. Nama Sri Lanka sendiri digunakan sejak tahun 1972. Sebelumnya negara ini lebih terkenal dengan sebutan Ceylon. Di dalam buku-buku kuno, negara ini dikenal sebagai Tambapani, Sīhaḷadīpa dan bahkan saya pernah mendapat informasi bahwa Svarnadīpa yang hingga saat ini masih menjadi kontroversi di antara para sarjana Buddhist, juga dianggap sebagai sebutan untuk Sri Lanka. Secara official, negara ini disebut Sri Lankā Prajathanthrika Samajavadi Janarajaya.
Sri Lanka terletak di sebuah pulau kecil yang luasnya 65,610 km2 atau kurang lebih dua kali Provinsi Jawa Tengah. Sensus tahun 1999 menunjukkan bahwa negeri ini dihuni oleh 18.552.000 jiwa. Program keluarga berencana yang telah dilaksanakan secara traditional sejak ribuan tahun yang lalu membuat Sri Lanka memiliki rata-rata pertumbuhan penduduk cukup rendah—1.3% per tahun.
Di mata dunia, Sri Lanka terkenal sebagai negara yang paling ortodoks dalam mempertahankan tradisi agama Buddha. Oleh karenanya, sejak awal hingga sekarang, agama Buddha mazhab Theravada tetap mendominasi negara ini dan tetap mempertahankan Bahasa Pāli sebagai bahasa agama Buddha. Karena alasan tersebut, kita pun cukup sulit untuk menemukan vihara dari mazhab lain. Saya pernah menemukan sebuah vihara yang dibangun oleh bhikkhu dari Jepang tapi tetap dihuni oleh bhikkhu Sri Lanka.
Secara tradisi, masyarakat Sri Lanka percaya bahwa agama Buddha telah ada di Sri Lanka sejak zaman Sang Buddha bahkan seawal 2 bulan sejak Sang Buddha mencapai pencerahan. Tapussa dan Bhalluka adalah dua pedagang yang pertama kali bertemu dengan Sang Buddha pada minggu ketujuh setelah Sang Buddha mencapai pencerahan. Mereka mendapatkan relik rambut dari Sang Buddha. Setelah mereka pulang ke negerinya, mereka membangun stupa untuk menyimpan relik tersebut. Masyarakat Sri Lanka percaya bahwa Tapussa dan Bhalluka berasal dari Sri Lanka.
Di kalangan masyarakat luas, juga ada kepercayaan bahwa Sang Buddha pernah mengunjungi Sri Lanka. Dipercaya Sang Buddha mengunjungi Sri Lanka sebanyak 3 kali. Selama dalam kunjungan itu, Sang Buddha sempat mengunjungi 16 tempat yang berbeda. Di antara tempat-tempat yang pernah Beliau kunjungi adalah Kelaniya Rajamaha Vihara, Siripada, Mahiyangana, dan sebagainya.
Tentu cukup sulit untuk membuktikan kebenaran kepercayaan tersebut. Akan tetapi, kita pun patut mempertimbangkannya karena sumber yang ada di Tibet dan China juga mendukung kepercayaan tersebut. Dulva, nama Vinaya dalam tradisi Tibet, menyebutkan bahwa beberapa pedagang tanpa sengaja berlabuh di Sri Lanka karena dihempaskan oleh badai. Di Sri Lanka mereka bertemu dengan Putri Ratnavali. Dari para pedagang tersebut, sang putri mendapatkan banyak cerita tentang kehidupan spiritual Sang Buddha. Akhirnya ia mengirim utusan kepada Sang Buddha untuk meminta obat kekekalan. Sang Buddha minta utusan tersebut mengambil sebuah kain dan membentangkannya di antara Sang Buddha dan lampu. Utusan tersebut mewarnai bayangan Sang Buddha dengan berbagai warna.
Cerita dari China mengatakan bahwa ketika Sang Buddha mengunjungi Sri Lanka, masyarakat Sri Lanka, khususnya Ratnapura, sangat miskin dan pada umumnya menjadi pencuri. Karena kasih sayang dan untuk mengembalikan mereka ke jalan yang benar, Sang Buddha memercikkan embun manis (sweet dew). Embun tersebut mengkristal menjadi batu-baru permata. Karenanya, Ratnapura menjadi tambang batu permata yang cukup terkenal di dunia. Batu-batu permata seperti merah delima (ruby), ratna cempaka (topaz), batu akik (garnet), mata kucing (cat eye), batu nilam (sapphire) dan lainya dapat ditemukan di daerah ini.
Secara historis dan bukti-bukti arkeologis menunjukkan bahwa agama Buddha berkembang di Sri Lanka sejak abad ketiga Sebelum Masehi. Hal ini ditandai dengan pengiriman misionaris ke Sri Lanka yang dipimpin oleh Y.M. Mahinda dan belakangan oleh adiknya Y.M. Sanghamittā Theri. Sejak saat itu hingga sekarang, boleh dikatakan bahwa agama Buddha tidak pernah putus di Sri Lanka. Namun karena berbagai alasan, pasang surut dan ketidakstabilan dalam agama Buddha tetap tidak dapat dihindari.
Karena agama Buddha telah mengakar kuat di Sri Lanka, hampir semua aspek-aspek kehidupan masyarakat Sri Lanka dihubungkan dengan agama Buddha. Sejauh manakah pengaruh agama Buddha terhadap kehidupan masyarakat Sri Lanka? Atau seberapa kuatkah agama Buddha mengakar dalam kehidupan masyarakat? Marilah kita lihat dan kita telusuri kehidupan mereka satu persatu sehingga hal itu akan menjadi jelas.
Kedermawanan adalah salah satu ajaran yang paling mendasar dalam agama Buddha. Sebagai buktinya, setiap ajaran-ajaran yang penting diawali dengan kedermawanan. Jiwa kedermawanan ini telah mengakar kuat dalam berbagai lini kehidupan masyarakat. Banyak fakta yang dapat kita gunakan untuk membuktikan hal ini.
Pada setiap perayaan Waisak, masyarakat membuat torana atau lampion untuk dijadikan objek pertunjukan selama masa Waisak. Pada malam hari, masyarakat berduyun-duyun untuk menyaksikan torana dan lampion ini. Untuk mengantisipasi umat yang lapar dan haus, banyak umat-umat yang dermawan menyediakan makanan dan minuman secara gratis bagi para pengunjung. Kemudian kalau kita mendaki Sripada, di kaki gunung kita akan menemukan orang-orang yang dermawan memberikan obat-obatan dan minuman serta makanan secara gratis.
Tidak hanya materi yang kita dapatkan yang bisa kita danakan untuk kesejahteraan orang lain. Badan jasmani yang kita miliki juga bisa didanakan. Dilandasi oleh semangat upaparamita, umat-umat Sri Lanka mendanakan bagian-bagian fisik yang masih dapat dimanfaatkan seperti ginjal, jantung, mata atau bahkan seluruh tubuhnya ketika mereka meninggal agar dapat dimanfaatkan oleh orang lain. Oleh karena perbuatan luhur tersebut, Sri Lanka menjadi bank mata terbesar di dunia.
Kondektur dan sopir Sri Lanka adalah orang yang baik hati. Kalau kita ingin bepergian ke suatu tempat dan kita tidak mengetahuinya, kita bisa tanya dan mereka akan menunjukkan secara pasti tempat itu tanpa embel-embel apapun. Kendaraan-kendaraan angkutan umum di Sri Lanka mempunyai tradisi yang cukup baik. Kursi di belakang supir adalah untuk para biarawan. Di barisan kedua tepat di belakang kursi para biarawan adalah untuk ibu hamil. Kursi di dekat pintu adalah untuk orang cacat. Oleh sebab itu, kalau ada bhikkhu, ibu hamil atau membawa anak kecil atau orang cacat masuk dan kursi yang dikhususkan untuk mereka sedang ditempati, sopir akan minta penumpang itu untuk pindah. Kalau mereka tidak mau pindah, sopir akan menegur atau bahkan marah sambil mengatakan, “Kamu ini orang bermoral atau tidak, ngerti ia masuk kamu tetap duduk di situ.”
Karena telah menjadi budaya, para penumpang pun akan langsung memberikan tempat duduknya kalau mereka melihat ada bhikkhu, ibu hamil, membawa anak, orang cacat atau orang yang sudah tua. Namun di Indonesia, menurut Pak Cornelis Wowor, jauh lebih baik dari penumpang di Sri Lanka. Begitu ada orang tua yang masuk, semua penumpang langsung meditasi. Maksudnya, langsung tutup mata pura-pura tidak tahu.
Kalau ada penumpang yang berdiri dan ia membawa barang yang cukup berat, penumpang yang duduk akan meminta barang tersebut untuk dibawakan. Setelah penumpang itu mau turun ia akan meminta barang itu kembali. Mereka juga saling bahu membahu kalau ada yang berniat untuk melakukan kejahatan. Pernah ada suatu kasus seorang remaja menggangu wanita di sebelahnya. Wanita itu langsung menjerit dan bus pun dihentikan. Remaja itu langsung dihajar babak belur oleh seluruh penumpang bus.
Sang Buddha mengajarkan umatnya untuk hidup sederhana—namun tidak berarti tidak harus bekerja keras atau bermalas-malasan. Ajaran ini telah memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap kehidupan masyarakat Sri Lanka. Mereka tetap hidup dalam kesederhanaan meskipun mereka memiliki materi yang boleh dibilang lebih dari cukup.
Suatu ketika ada seorang wanita ke vihara dan sambil menunggu kepala vihara datang ia menyempatkan diri berbincang-bincang dengan kami. Penampilannya sangat sederhana dan dalam pandangan kami dia adalah orang biasa saja—maksudnya tidak punya kedudukan apa-apa. Setelah ia pergi, salah seorang bhikkhu lokal mengatakan bahwa dia adalah dosen di Universitas Kolombo, sungguh tidak kami sangka.
Prof. Galmagoda Sumanapala adalah salah satu professor terkenal di Sri Lanka bahkan masyarakat memberikan gelar the gem of Sri Lanka kepadanya. Akan tepapi, beliau adalah orang yang sangat sederhana dan bersahaja. Sangat sulit untuk mengidentifikasi bahwa beliau adalah professor terkenal karena penampilannya tampak seperti orang biasa. Karena jiwa kesederhanaannya, Prof. Jayasuriya, dosen ekonomi, pernah diusir oleh kondektur bus karena dianggap pengemis jalanan. Penampilan-penampilan para professor terkenal yang lainnya pun tidak ada bedanya. Mereka tampak sederhana. Mereka sangat sulit diidentifikasi bahwa mereka adalah para professor.
Beberapa kali ketika saya sedang pergi ke Maitri Dhamma School, beberapa kendaraan cukup mewah berhenti dan minta saya naik. Sesampainya di dalam, sopirnya bertanya “Apakah Samanera tahu saya?” Tidak ada jawaban lain selain “I do not know, sir.” Ia pun minta saya tidak perlu kuatir karena anaknya juga berada di Maitri Dhamma School. Sesampainya di sekolah saya berusaha untuk mencari tahu yang mana anaknya. Aduh, aduh saya tidak menyangka anak sesederhana itu adalah anak dari orang-orang yang kehidupannya dapat dikatakan mapan secara ekonomi. Sebut saja Thiloma Dissanayake, teman mengajar, dan adiknya Thamali Dissanayake, keduanya adalah murid kami yang paling pandai, hari-hari ke sekolah pakai pakaian seragam sekolah, buku di tangan dan pakai sandal jepit seharga Rp. 3.000. Padahal mereka adalah anak dari orang yang saya ceritakan di atas. Saat saya berkunjungung ke rumahnya, rumahnya juga sangat sederhana walaupun ayahnya punya perusahaan tas.
Kesederhanaan juga dimanifestasikan dalam makanan. Dalam makanan Sri Lanka, menunya tidak terlalu banyak karena mereka menyadari fungsi makanan yaitu untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Banyak pula makanan yang tidak lagi kita makan, masih tetap dimakan oleh orang Sri Lanka. Ambil contohnya singkong rebus. Justru, singkong rebus biasanya dipersembahkan oleh keluarga mapan. Banyak sayuran dan umbi-umbian yang telah kita lupakan masih tetap dikonsumsi oleh masyarakat Sri Lanka.
Kadang ketika kami mahasiswa luar negeri sedang berkumpul kami pun geguyon “Wuah orang Sri Lanka ini mau mentang ajaran Sang Buddha.” “Emangnya kenapa?” begitu tanya yang lain. “Masa dari dulu ketika pertama kali saya datang sampai sekarang makanan tidak pernah berubah.” Ya, kami pun hanya tertawa mendengar geguyon semacam itu.
Banyak di antara kita yang terseret arus globalisasi sehingga apa pun trend yang ada selalu kita ikuti dan meninggalkan tradisi lama. Hal ini tidaklah begitu tampak dalam kehidupan masyarakat Sri Lanka. Mereka, walaupun mengikuti perkembangan zaman, tetap berusaha mempertahan budaya meraka. Contohnya, adalah pakaian tradisional, obat-obatan tradisional dan sebagainya. Wanita tetap menggunakan pakaian tradisional dipandu dengan sari. Mereka masih senang memelihara rambut mereka tumbuh panjang dan mengepang rambut adalah hal yang biasa. Di Indonesia, pemandangan seperti itu sudah sangat sulit ditemukan karena pada umumnya wanita merasa malu melakukan hal itu. Alasannya kuatir rambutnya dianggap seperti buntut kuda.
Sungguh saya sangat terkesan melihat dan mendengarkan cerita tentang hubungan orangtua dan anak dalam kehidupan masyarakat Sri Lanka. Saya melihat dan merasakan ada hubungan kasih sayang yang sangat luar biasa antara orangtua dan anak. Orangtua sangat mencintai anak-anaknya. Demikian pula anak-anak, mereka juga sangat mencintai orangtuanya. Dengan demikian, anak-anak mendapatkan kasih sayang yang cukup dan orangtua pun tidak kekurangan perhatian.
Meskipun sibuk, orangtua Sri Lanka tetap berusaha memberikan kasih sayangnya kepada anak-anak. Sebagai contohnya, mereka akan berangkat kerja setelah anak-anak berangkat sekolah sehingga memungkinkan bagi anak-anak untuk bernamaskara (sujud) kepadanya. Kalau memang sempat, mereka akan mengantarkan anaknya ke sekolah dan menjemputnya saat pulang walaupun mereka kadang sudah duduk di bangku SMU. Pada malam hari, mereka akan tidur setelah anak-anak bernamaskara (bersujud). Dengan demikian, setiap hari orangtua memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk bernamaskara (sujud) sebanyak dua kali.
Prof. Galmagoda Sumanapala adalah professor, juga guru besar yang luar biasa sibuknya. Beliau adalah dosen di S1, S2, S3, direktur fakultas ayurvedik (dulu saat article ini saya tulis. Sekarang beliau menjabat sebagai Directur Post-Graduate Institute of Pali and Buddhist Studies) dan juga mahasiswa ayurvedik, penceramah di radio maupun televisi, dan banyak lagi tugas-tugas yang harus beliau jalankan. Akan tetapi, kepada kami beliau mengatakan, “Kalau anak saya bilang, “Pak ayo kita nonton ke bioskop” saya pun akan temani mereka karena itu adalah tugas saya sebagai orangtua.”
Orangtua Sri Lanka sangat memperhatikan kesejahteraan anak-anaknya baik di masa sekarang maupun di masa yang akan datang. Oleh sebab itu, ketika mereka punya uang mereka akan langsung buka tabungan atas nama anak mereka agar anaknya tidak mendapatkan kesulitan di kemudian hari. Mereka juga akan menyediakan perlengkapan untuk anaknya ketika mereka menjalani kehidupan rumah tangga dan mereka mempersiapkan semua itu sejak dini.
Karena tingginya rasa kasih sayang dan perhatian terhadap anak-anak dan orangtua, wanita Sri Lanka banyak dicari untuk menjadi pembantu rumah tangga. Salah satu faktor yang membuat meraka dapat memperpanjang visa di Siprus sehingga saat ini ada 80.000 penduduk Sri Lanka di negara yang luasnya hanya 9.251 km2 tersebut adalah karena alasan itu dan karena kecerdasan anak-anak mereka. Pernah juga ada seorang wanita Sri Lanka menjadi pembantu rumah tangga di Inggris. Ia melaksanakan tugas dengan baik sehingga majikannya puas atas pelayanan yang ia berikan. Pada saat detik-detik terakhir menjelang kematiannya, majikannya yang statusnya unmarried millionaire, menulis surat wasiat. Surat itu berbunyi, “Seluruh harta kekayaan yang saya miliki, saya wariskan kepada pembantu saya.” Akhirnya, pembantu itu pun jadi milioner dadakan.
Karena pengaruh agama Buddha, Sri Lanka telah memulai kegiatan literaturnya sejak abad kesatu Sebelum Masehi. Hal ini ditandai dengan ditulisnya Tipitaka ke dalam daun lontar. Semenjak saat itu, kegiatan akademik seperti belajar dan menulis terus mewarnai kehidupan masyarakat Sri Lanka. Sebagai imbasnya, kita pun bisa menemukan karya-karya sastra hasil kreasi masyarakat Sri Lanka seperti Dipavaṁsa, Mahāvaṁsa, Rasavahini, Balavatara dan masih banyak yang lainya. Di abad modern ini, Sri Lanka dikenal sebagai negara yang paling produktif di Asia dalam memproduksi buku. Mulai dari anak-anak hingga kakek-kakek pada umumnya pandai menulis. Selain itu, Sri Lanka juga telah melahirkan sarjana-sarjana Buddhist tingkat dunia. Sebut saja, K.N. Jayatilleke, G.P. Malalasekera, D.J. Kalupahana, K. Sri Dhammananda dan yang lainnya.
Masyarakat Sri Lanka mempunyai minat belajar yang cukup tinggi. Mereka tidak pernah merasa bahwa umur menjadi halangan dalam belajar. Bhante Belangoda Ānanda Maitreya mengenal komputer pada usia 94 tahun. Tanpa menyia-nyiakan waktu atau merasa terlalu tua, beliau pun mempelajari komputer. Padahal banyak di antara kita yang masih muda dan memiliki ingatan yang masih kuat, merasa malas untuk belajar—sungguh luar biasa!!!
Secara global, masyarakat Sri Lanka memiliki semangat belajar yang tinggi karena dipicu oleh ide bahwa mereka merasa mempunyai tanggung jawab untuk tetap mempertahankan ajaran Sang Buddha. Dengan sendirinya, mempelajari bahasa menjadi salah satu favorit di kalangan masyarakat luas. Mereka senang mempelajari bahasa asing. Pāli, Sanskrit, Inggris, Jepang, Mandarin adalah bahasa favorit. Oleh karena itu tidaklah mengherankan kalau kita menemukan banyak orang yang mampu berbahasa Inggris dengan baik di negeri ini. Tidak hanya orang-orang yang berdasi yang mampu berbahasa Inggris. Pengamen dan pengemis meski jumlahnya cukup sedikit, juga pandai berbahasa Inggris. Saat mereka sedang mengamen atau mengemis, mereka menggunakan Bahasa Inggris dengan fasih. Kadang saya pikir Bahasa Inggris mereka jauh lebih baik dari sarjana-sarjana yang kita miliki.
Ada empat agama yang diakui secara resmi di Sri Lanka yaitu Buddha, Kristen, Hindu dan Islam. Agama Buddha dianut 69% penduduk Sri Lanka, Hindu 15%, Kristen 8% dan Islam 7%. Semua agama hidup dengan rukun dan saling bahu membahu.
Walaupun agama Buddha menjadai agama mayoritas di Sri Lanka semanjak awal hingga sekarang, tidak ada larangan bagi agama lain untuk berkembang di negara ini. Semuanya diberi kebebasan untuk menganut suatu agama berdasarkan kepercayaan mereka masing-masing.
Pernahkah Anda mendengar atau melihat semua agama yang ada di negara tersebut duduk bersama menghormati satu objek? Saya tidak saja hanya mendengar tapi melihat sendiri hal itu dan hal semacam itu hanya saya temukan di Sri Lanka yaitu Siripada. Semua agama yang ada di Sri Lanka percaya bahwa Siripada adalah tempat yang bersejarah bagi agama mereka. Agama Buddha percaya bahwa Siripada adalah replica telapak kaki Sang Buddha. Umat Hindu percaya bahwa itu adalah replica telapak kaki Vishnu. Sementara agama Islam dan Kristen meyakini bahwa itu adalah telapak kaki nabi Adam. Sebagai akibatnya penganut agama-agama dari berbagai negara di seluruh penjuru dunia berduyun-duyun mengunjungi Siripada untuk memberikan penghormatan. (untuk lebih lengkapnya silakah baca artikel berjudul Sripada: Buddhism’s Most Sacret Mountain di www.buddhanet.net/e-learning/buddhistworld/sri-pada.htm)
Dalam sejarah memang agama Kristen pernah menghancurkan agama Buddha. Mereka memaksa orang-orang Sri Lanka untuk menganut agama Kristen dan bahkan membunuh anak-anak mereka dengan cara yang tragis bila mereka tidak mau pindah agama. Juga ada isu bahwa kelompok sparatis Macan Tamil Elam (LTTE) disponsori oleh orang Kristen. Namun demikian, umat Buddha tetap tenang dan tampak tidak ada dendam atas apa yang telah dilakukan oleh orang-orang Kristen. Justru sebaliknya, banyak umat Kristen yang menaruh simpati kepada agama Buddha. Banyak juga yang karena tidak puas beragama Kristen, kemudian pindah ke agama Buddha. Prof. Galmagoda Sumanapala memperkenalkan saya kepada seorang psikiater Kristen yang menikah gara-gara ingin merealisasi Nibbana dalam kehidupan sekarang ini juga.
Sri Lanka is the paradise of animals (Sri Lanka adalah surganya para binatang) adalah salah satu komentar yang dilontarkan menanggapi kondisi kehidupan binatang di Sri Lanka. Mengapa julukan semacam itu diberikan? Jawabannya ternyata sangat gampang yaitu karena semua binatang bisa hidup dengan bebas tanpa merasa terganggu.
Sri Lanka berbeda dari Indonesia. Di Indonesia, kita tidka bisa membiarkan begitu saja binatang peliharaan kita. Kita harus menjaga dan merawatnya dengan baik. Kalau tidak, mungkin dalam hitungan jam habis dijarah pencuri. Di Sri Lanka binatang peliharaan dibiarkan begitu saja. Oleh karena itu, seperti di sekitar Kota Kolombo atau di tempat-tempat lain, kita bisa menyaksikan kambing, sapi, atau kerbau berkeliaran begitu saja. Yang lebih menakjubkan lagi, mereka juga diberi hak yang sama dalam menggunakan jalan raya. Kalau ada sapi, kambing, kerbau atau binatang yang lain sedang menyebrang jalan, dengan bersabar para supir menunggu hingga binatang itu menyebrang jalan.
Mungkin karena kuatnya kasih sayang umat Sri Lanka kepada binatang, kita dapat menyaksikan berbagai jenis burung atau binatang lain yang sudah sulit kita jumpai di Indonesia. Meskipun vihara kami ada di tengah kota, suasananya tidak ada bedanya dengan di tengah hutan di Indonesia. Setiap saat kita bisa mendengarkan burung-burung berkicau menyanyikan lagu dengan penuh kebahagiaan. Selain itu, mereka juga tidak takut dengan manusia.
Ketika kami masih tinggal di Vihara Bellanwila, ada burung kutilang yang bersarang di dekat kuti kami. Anda boleh percaya juga bolah tidak, walaupun burung itu adalah burung liar tidak ada bedanya dengan burung peliharaan. Setiap pagi, Samanera Santacitto rajin memberikan pisang dan dengan santai tanpa perasaan takut, burung itu makan pisang sambil hinggap di tangan Samanera Santacitto.
Karena kuatnya pengejawantahan sila pertama yaitu menghindari pembunuhan, umat-umat Buddha sangat jarang bahkan boleh dibilang sama sekali tidak melakukan pembunuhan. Namun demikain, umat Buddha Sri Lanka bukanlah umat vegetarian. Mereka juga makan daging dan ikan. Lalu dari manakah ikan dan daging tersebut didapatkan? Begitulah pertanyaan yang mungkin muncul di benak Anda.
Umat Buddha Sri Lanka sangat jarang makan daging. Kalau pun toh mereka makan paling banter hanya daging ayam. Oleh karena itu, ayam adalah binatang yang paling sial di Sri Lanka. Daging ini pada umumnya disediakan oleh umat agama lain yaitu Islam, Kristen atau Hindu. Umat Islam adalah yang mendominasi daging ayam sementara umat Kristen dan Hindu yang mendominasi untuk menyediakan daging babi atau sapi. Karena umat Buddha Sri Lanka sangat jarang atau boleh dikatakan menghindari makan daging, harga daging relatif murah. Daging ayam, sebagai contohnya, di super market seperti Food City hanya sekitar Rs 15,00 hingga 30,00 atau setara dengan Rp. 1.500.00 hingga 3.000,00 di Indonesia. Harga daging relatif murah karena pengkonsumsinya hanyalah 31% dari penduduk Sri Lanka.
Masyarakat Sri Lanka lebih senang makan ikan. Ikan disediakan oleh penduduk lokal dan juga hasil impor. Ikan asin, misalnya, lebih banyak diimpor dari Indonesia. Sementara masyarakat lokal yang menjadi nelayan adalah penganut agama lain. Karena dikonsumsi secara luas, harga ikan cukup tinggi setara dengan harga sayur.
Selain mempraktikkan sisi pasif sila pertama, masyarakat Sri Lanka juga aktif menjalankan sisi aktik sila tersebut. Sebagai buktinya, mereka menyediakan makanan kepada burung-burung, tupai dan binatang-binatang lainnya. Juga telah menjadi budaya di Sri Lanka untuk menyelamatkan binatang dari pembunuhan. Biasanya kalau ada sapi atau kambing yang akan disembelih, umat-umat langsung akan membeli binatang itu dan menyerahkannya ke vihara. Vihara kemudian akan menyerahkan binatang itu kepada umat yang kurang mampu.
Penghargaan terhadap alam, perlindungan terhadap binatang telah menempatkan Sri Lanka untuk mendapatkan pengakuan internasional. Baru-baru ini, Sri Lanka menduduki posisi kedua dari top-20 best nature in the world. Secara pribadi, saya memang memang layak mendapatkan penghargaan tersebut, mengingat proteksi yang begitu kuat terhadap alam.
Agama Buddha yang telah berakar kuat dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat Sri Lanka, membuat masyarakat bangsa ini mengamalkan nilai-nilai moral dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dengan kata lain, mereka mempraktikkan nilai-nilai moral dengan baik. Banyak contoh yang bisa kita ambil.
Tingkat kejahatan di Sri Lanka boleh dikatakan cukup rendah. Berita-berita seperti perampokan, pemerkosaan, pencurian, pembunuhan dan sebagainya sangat jarang kita saksikan. Radio, televisi maupun media cetak juga sangat jarang menyiarkan berita-berita tersebut. Selama berada di Sri Lanka, hanya beberapa kali saya mendengar berita criminal, itu pun lewat teman yang kebetulan menyaksikannya lewat media massa.
Prostitusi yang merupakan penyakit masyarakat sebagai akibat dari kemiskinan, juga sangat jarang. Beberapa dosen kami yang memang telah memahami kehidupan Sri Lanka dengan baik mengatakan bahwa bila dibandingkan dengan negara-negara lain tingkat prostitusi di Sri Lanka sangat rendah. Dampak nyata dari praktik moral ini adalah rendahnya tingkat penderita HIV/AIDS. Prosentase prenderita HIV/AIDS menunjukkan bahwa Sri Lanka berada di urutan terendah bila dibandingkan dengan negara-negara lainnya.
Ketika pertama kali sampai di Kolombo, kita mendapatkan cerita dari staf KBRI bahwa udara Sri Lanka adalah yang paling bersih untuk kawasan Asia Selatan. Hal ini dapat dimaklumi karena masyarakat Sri Lanka senang memelihara pohon terutama pohon Bodhi. Mereka tidak pernah memotong pohon Bodhi atau merusaknya. Bahkan, kalau ada bhikkhu yang berkeinginan membangun vihara di mana terdapat pohon Bodhi usaha itu akan didukung sepenuhnya oleh umat Buddha. Karena alasan tersebut, kita akan menemukan vihara-vihara kecil di sekitar pohon-pohon Bodhi yang ada di pertigaan atau perempatan jalan. Dalam pandangan umat Buddha Sri Lanka, suatu vihara tidak akan dianggap lengkap kalau tidak ada pohon bodhinya.
Karena umat Buddha menghormati, menjaga dan merawat pohon Bodhi bahkan seperti Sri Mahābodhi memiliki team khusus yang terdiri dari para professor dan pakar terkenal, pohon Bodhi dapat berusia panjang. Sebagai akibatnya, di negeri inilah kita bisa menemukan pohon tertua di dunia. Bukti-bukti arkeologis maupun bukti-bukti literatur menunjukkan bahwa Sri Mahābodhi di Kota Anuradhapura ditanam pada abad ketiga Sebelum Masehi yaitu bertepatan dengan kedatangan Y.M. Sanghamittā Theri ke negeri ini. Hingga kini, pohon bersejarah tersebut masih tetap tumbuh dengan baik. Dengan demikian, Sri Mahābodhi telah berusia lebih dari 2200 tahun. Konon, para penjajah pernah berusaha untuk memusnahkan pohon ini tapi tak ada satu alat pun yang dapat digunakan untuk merusaknya.
Menyusul pohon Bodhi adalah pohon nangka. Belakangan pemerintah melarang masyarakat menebang pohon nangka. Kalau mereka mau menebang, harus mendapatkan izin dari pemerintah. Peraturan ini ditetapkan karena pohon nangka dianggap sebagai sumber makanan yang berharga.
Masyarakat Sri Lanka juga tidak terlalu merusak hutan seperti masyarakat kita. Kalau mereka ingin membangun di kawasan hutan, kelestarian lingkungan tetap dijaga dengan baik. Oleh karena itu, negera ini kita bisa menemukan ribuan vihara hutan yang sangat natural. Khusus untuk Yogasrama Saṁstava—kelompok bhikkhu yang paling ketat dalam menjalankan Dhamma-Vinaya—memiliki lebih dari 120 vihara hutan. Vihara-vihara tersebut menjadi “surga” kami selama kami tinggal di Sri Lanka. Meskipun kuti-kuti dan bangunan lain dibangun, pohon-pohon besar tetap dipertahankan.
Di negara kita, kita sering mendengar cerita tentang hantu, setan, pocongan atau makhluk gentayangan. Selama di Sri Lanka secara pribadi saya tidak pernah mendengar cerita soal hantu, setan, atau makhluk gentayangan dari masyarakat Sri Lanka. Kalau pun pernah, itupun dari teman-teman manca negara. Karena penasaran, kami pun menanyakan hal ini kepada Prof. Galmagoda Sumanapala, seorang professor yang cukup akrab dengan kami dan tidak alergi mendengarkan hal-hal yang tampak mistik.
“Pak, mengapa di Sri Lanka ini kita tidak pernah mendengar cerita soal hantu, setan atau makhluk gentayangan? Apakah tidak ada makhluk-makhluk semacam itu?” begitu tanya kami. Prof. Sumanapala mengatakan bahwa makhluk-makhluk semacam itu ada tapi tidak sampai seperti di negara-negara lain. Ketika kami tanya lebih jauh mengapa hal itu bisa terjadi, Prof. Sumanapala mengatakan, “Karena orang Sri Lanka rajin melakukan patidana.”
Dalam tradisi umat Buddha Sri Lanka, setelah ada sanak famili yang meninggal mereka akan melakukan patidana, mengajak makhluk lain yang telah meninggal turut berbahagia atas kebajikan yang telah dilakukan oleh keluarganya. Sama seperti masyarakat kita yang melakukan patidana pada waktu-waktu tertentu, masyarakat Sri Lanka khususnya umat Buddha juga melakukan patidana pada waktu-waktu tertentu. Hanya saja saya tidak tahu secara pasti. Seingat saya, mereka akan melakukan patidana setelah tujuh hari, satu bulan, tiga bulan setelah meninggal dan seterusnya.
Pada saat melakukan patidana, mereka akan mengundang para bhikkhu untuk menerima dana makanan. Mereka akan mengundang minimal lima bhikkhu atau samanera. Hanya saja mereka tidak membedakan antara bhikkhu dan samanera. Yang terpenting bagi mereka adalah ada orang yang pakai jubah kuning untuk menerima dana makanan.
Tidak hanya manusia yang dipatidanai. Binatang-binatang yang mati juga sering mendapatkan perlakuan yang sama; apalagi kalau binatang itu mati secara tidak wajar, contohnya keracunan. Dalam kasus-kasus semacam itu, mereka akan dengan segera melakukan patidana dan juga mengundang para bhikkhu untuk menerima dana makanan.
Mungkin karena alasan kesibukan, pada umumnya umat mengundang para bhikkhu untuk menerima dana makanan pada hari Sabtu dan Minggu. Oleh karena itu, pada hari tersebut kita sering kelabakan mencari bhikkhu karena sering kali ada undangan lebih dari satu tempat dan mereka minta bhikkhu lebih dari lima kadang sepuluh atau dua puluh.
Perhatian Pemerintah terhadap kesejahteraan rakyatnya Banyak orang mengannggap bahwa Sri Lanka adalah Negara miskin, Negara yang masih belum maju. Akan tetapi, negeri ini adalah negeri yang berorientasi pada kesejahteraan rakyatnya. Ini merupakan implementasi ajaran Sang Buddha, di mana pemerintah harus memperhatikan kesejahteraan rakyatnya. Rakyat yang tidak mampu perlu dibantu; rakyat yang hidup dalam kekurangan perlu disuplai. Sejauh apakah ajaran itu diimplementasikan oleh pemerintah Sri Lanka?
Memiliki rakyat yang berpendidikan baik adalah orientasi pemerintah Sri Lanka. Karena itu, pendidikan di Sri Lanka dari tingkat Sekolah Dasar hingga S1 bebas biaya. Tidak sekedar itu, mahasiswa dari tempat jauh disediakan asrama. Kebutuhan mereka sehari-hari diperhatikan. Mereka juga diberi beasiswa tiap bulan.
Kesehatan adalah kebutuhan masyarakat yang sangat penting. Kalau kita tidak sehat, sulit bagi kita untuk melakukan aktifitas sehari-hari. Karena itu, pemerintah sangat memperhatikan kesehatan rakyatnya. Di Sri Lanka, rakyat tidak dipungut biaya perawatan kalau mereka berobat ke rumah sakit umum. Kadang, saya berpikir entah bagaimana pemerintah menangani hal ini. Ambil saja contohnya, di Colombo National Hospital, setiap harinya ada 800 pasien baru. Padahal, rumah sakit pun tersebar di berbagai tempat.
Saya sering mendengar cerita dari teman-teman di Indonesia yang mengeluh karena sering terjadi pemadaman aliran listrik. Terkadang mereka perlu mendapatkan jatah bergilir. Selama tinggal di Sri Lanka, jarang sekali saya merasakan adanya pemadaman aliran listrik. Pemadaman aliran listrik terjadi hanya pada saat terjadi perbaikan jaringan atau saat karyawan PLN, mogok kerja.
Hampir semua jalan di Sri Lanka telah diaspal. Ini tidak hanya terjadi di kota-kota besar tetapi juga terjadi di desa-desa terpencil. Bus sebagai sarana transportasi juga disediakan. Biaya bus juga terhitung murah bila dibandingkan dengan biaya bus di Indonesia.
Pendidikan harus gratis; kesehatan harus gratis dan listrik pun harus tetap diperhatikan kelangsungannya. Seandainya pemerintah gagal menyediakan kebutuhan-kebutuhan itu, jangan pernah berharap untuk bisa duduk lama di kursi pemerintahan.
Demikianlah agama Buddha yang berdasarkan tradisi telah ada sejak abad keenam Sebelum Masehi namun secara resmi sejak abad ketiga Sebelum Masehi telah memberikan kontrubusi yang cukup besar bagi kehidupan masyarakat Sri Lanka. Dari apa yang telah kita saksikan bersama, kita pun bisa menyimpulkan bahwa agama tidak hanya menjadi simbol kehidupan tetapi juga mewarnai setiap lini kehidupan masyarakat Sri Lanka. Kondisi yang begitu menyenangkan itu, membuat saya jauh lebih kerasan tinggal di Sri Lanka daripada di Indonesia.
Sebagai umat Buddha yang baik dan sama-sama sebagai penganut ajaran Sang Buddha sudah selayaknya kita mengikuti jejak langkah saudara tua kita. Sudah selayaknya kita pun mengaplikasikan nilai-nilai agama Buddha dalam kehidupan sehari-hari sehingga kita pun bisa hidup lebih bahagia, aman, tentram, sejahtera dan pada akhirnya mampu merealisasi Nibbana.