Alex Chandra
Aku adalah pemilik karmaku sendiri. Pewaris karmaku sendiri. Lahir dari karmaku sendiri. Berhubungan dengan karmaku sendiri. Terlindung oleh karmaku sendiri. Apa pun karma yang kuperbuat, baik atau buruk, itulah yang akan kuwarisi. Hendaklah ini seringkali direnungkan.
Mungkin kita sudah sering mendengarkan bait syair di atas. Namun sudahkah kita pahami bait syair tersebut? Konsep karma adalah salah satu pengetahuan dasar yang ditekankan dalam ajaran Buddha. Inti konsep karma adalah segala sesuatu yang terjadi pada diri kita, entah baik atau buruk, itu adalah hasil dari perbuatan kita sebelumnya. Tidak ada akibat yang muncul tanpa sebab sebelumnya. Kita tidak dapat menolak buah karma, entah baik atau buruk. Jadi, hendaknya kita dapat mawas diri dan tidak menyalahkan orang / makhluk lain atas kejadian yang tidak menyenangkan yang menimpa pada diri kita.
Pernahkah kita melihat bayi yang baru lahir? Bagaimanakah bayi tersebut? Adakah bayi yang sudah membawa uang, emas, pakaian, rumah, atau kunci mobil dari rahim sang ibu? Tentunya semua bayi tidak membawa apa-apa saat kelahiran mereka. Walaupun mereka tidak membawa kekayaan duniawi pada saat kelahiran mereka, sesungguhnya mereka membawa kekayaan sejati yang kelak akan mengikuti mereka. Apakah kekayaan sejati yang dimaksud? Wujud kekayaan sejati itu adalah fisik yang sehat dan lengkap, wajah yang cantik / rupawan, suara yang merdu, terlahir di keluarga yang berkecukupan dan berbahagia, dan sebagainya. Kekayaan sejati ini sangat bervariasi, tergantung pada buah karma si bayi yang bersangkutan. Kekayaan sejati ini akan terus mengikuti si bayi hingga ia dewasa, meninggal dan terlahir kembali. Oleh karena itu orang yang mempunyai kekayaan sejati ini akan berbahagia karena kekayaan sejati tidak dapat hilang dicuri dan tidak dapat ditinggalkan sekalipun orang tersebut telah meninggal.
Seperti yang telah dikemukakan di awal, kekayaan sejati ini tidak datang begitu saja. Kekayaan sejati muncul karena ada sebabnya, yaitu perbuatan baik yang dilakukan terus-menerus baik di masa lalu dan di masa sekarang. Ada sepuluh jasa perbuatan baik yang dapat dilakukan untuk memperoleh kekayaan sejati bagi si pelaku baik pada kehidupan ini maupun kehidupan yang akan datang.
Sepuluh jasa perbuatan baik itu adalah:
Suatu ketika Buddha Gotama bertanya: “Jika, O para siswa, beberapa butir debu yang berada di ujung kuku dari jari-Ku ini, dibandingkan dengan banyaknya debu yang ada di alam semesta ini, yang manakah yang akan dikatakan lebih sedikit, dan yang manakah lebih banyak?â€
Para siswa menjawab: “Yang Ariya, debu yang ada di ujung kuku itu yang lebih sedikit dan debu yang ada di alam semesta ini yang lebih banyak.â€
Buddha Gotama bersabda lagi: “Demikian juga, O para siswa, mereka yang telah meninggal dunia sangat sedikit sekali yang terlahir lagi di alam manusia dan dewa, bagaikan beberapa butir debu yang berada di ujung kuku dari jari-Ku ini, sedangkan mereka yang terlahir di alam yang menyedihkan itu adalah banyak sekali, bagaikan banyaknya debu di alam semesta ini.†(Nakhasikha Sutta / Sutta Ujung Kuku).
Makhluk dapat lahir di alam manusia atau dewa karena kebajikan yang dilakukannya. Sedangkan makhluk dapat lahir di alam penderitaan karena kejahatan yang dilakukannya. Berbuat jahat itu mudah, tetapi berbuat baik itu sungguh sulit.
Setelah merenungkan bahwa sungguh sulit terlahir di alam manusia atau dewa, maka seharusnya kita semua bersemangat untuk mempraktekkan Dhamma dengan cara menghindari perbuatan jahat, banyak berbuat baik, dan membersihkan batin.
Kehidupan di alam manusia ini terlalu singkat dan terlalu sayang untuk disia-siakan. Selagi masih mempunyai kekuatan untuk menanam jasa kebaikan, marilah kita semua berusaha sungguh-sungguh untuk mempraktekkan Dhamma.
Di dalam kehidupan ini, mencari kekayaan duniawi itu baik dan memang perlu. Namun kekayaan duniawi itu sewaktu-waktu bisa rusak, hilang, atau terpaksa ditinggalkan saat pemiliknya meninggal. Sedangkan kekayaan sejati itu tidak dapat hilang dicuri dan tetap mengikuti pemiliknya sekalipun ia telah meninggal. Oleh karena itu mengumpulkan kedua kekayaan itu baik kekayaan duniawi maupun kekayaan sejati sebaiknya dilakukan bersama-sama secara seimbang agar memberikan manfaat bagi pemiliknya.
“Jika seseorang berbuat bajik, hendaklah ia mengulang-ulang perbuatan itu dan bersuka cita dengan perbuatan itu. Sungguh membahagiakan akibat dari memupuk kebajikan.” (Dhammapada 118)