easter-japanese

Dalam sistem kehidupan saat ini tampaknya sudah tidak ada lagi celah bagi manusia untuk menyembunyikan sifat egoismenya. Sifat ini pada dasarnya merupakan rasa akan diri sendiri yang sangat kuat sehingga memberikan suatu dorongan untuk “lebih” memilih saya daripada orang lain. Secara umum, sifat ini telah tertanam begitu lekatnya pada diri manusia bahkan sejak dia masih berusia dini. Manusia telah sangat terbiasa menciptakan suatu pola pikir bahwa ada sesuatu yang terpisahkan dari lainnya sehingga ada sekat-sekat antar individu yang saling berlomba memberi energi pada ketamakan, kerakusan, persaingan dan perilaku merusak lainnya hanya untuk memenuhi kebutuhan eksistensinya.

Keadaan ini tampaknya telah membuat tingkatan manusia mengalami kemunduran seperti yang diungkapkan Erich Fromm dalam The Anatomy of Human Destructiveness, “Hal yang unik pada diri manusia ialah bahwa dia dapat dikuasai oleh dorongan membunuh dan menyiksa, dan bahwa ia merasa bernafsu dalam melakukannya; dialah binatang yang dapat menjadi pembunuh dan penghancur spesiesnya tanpa alasan yang masuk akal, baik dari sisi biologi maupun ekonomi.” Kondisi ini diperparah oleh fakta bahwa manusia bisa tidak merasakan empati maupun rasa bersalah ketika “mencurangi” sifat alamiahnya. Ironisnya, sumber dari semua kondisi ini dihasilkan dari dapur pikiran manusia itu sendiri.

Jika mencermati pola pikir manusia pada zaman primitif dimana terdapat naluri untuk mempertahankan diri jika merasa terancam misalnya oleh binatang buas atau bahaya kematian, naluri ini akan menghasilkan suatu respon sistem pertahanan yang akan merangsang kesadaran kita untuk melawan keadaan tersebut. Hal ini merupakan sifat alamiah atau ciri bawaan manusia itu sendiri. Seiring berkembangnya zaman, ketika manusia sudah semakin berkembang dan mampu meminimalisasi ancaman tersebut, tampaknya telah terjadi pergeseran pola pikir secara global dimana manusia merasa terancam oleh spesiesnya sendiri.

Banyak opini yang mengatakan bahwasanya sifat-sifat destruktif (egoisme, ketamakan, kerakusan, persaingan, dan lainnya) juga merupakan ciri bawaan manusia itu sendiri yang manakala akan teraktivasi ketika merasakan ancaman. Hal ini telah digeneralisasi dan dijadikan sama dengan naluri bertahan yang merupakan ciri bawaan. Namun hal ini terlihat rancu karena tidak ada alasan yang jelas yang mendukung fakta bahwa kita merasa terancam dengan spesies sendiri. Tidak ada alasan yang jelas mengapa kita senantiasa “mengeksploitasi” spesies sendiri.

Tentunya ada sesuatu yang turut campur dalam pembentukan konsep global ini. Fakta bahwasanya manusia terlahir sebagai kasta tertinggi dalam alam ini dan dianugrahi dengan cara berpikir yang paling unggul serta senantiasa dapat berkembang telah menjadikan manusia itu sendiri sebagai tantangan kehidupan. Memiliki bekal sifat alamiah untuk selalu memenuhi kebutuhannya dan ketika terjadi perubahan dalam kehidupan itu sendiri, manusia memanfaatkan anugrahnya untuk selangkah lebih maju dalam pemenuhan kebutuhan. Hal ini ternyata memunculkan suatu reaksi dalam pikiran yakni hasrat yang timbul sebagai “efek” dari anugrah tersebut.

Hasrat atau keinginan ini telah berhasil atau lebih tepatnya manusia telah sukses membiarkan kesadaran mereka direnggut oleh hasrat-hasrat tersebut. Yang terjadi selanjutnya hasrat ini bermodifikasi menghasilkan buah-buah pikiran dan menjadi semakin kuat karena manusia telah membiarkan perhatian dan energi mereka tersedot ke hasrat. Yang lebih parah adalah buah-buah pikiran ini setiap hari “berbicara” di kepala manusia tanpa pernah disadari bahwasanya hakikat ketika mereka lahir kepala mereka tidak pernah seberisik seperti saat ini.

Manusia menjadi terjebak dalam kondisi ini karena terbiasa memberikan energi dan perhatian terhadap keinginan-keinginan yang terus menerus berkecamuk. Yang menjadi permasalahan adalah kemudian manusia mengidentikkan pikiran-pikiran tersebut sebagai “dia yang hadir pada saat ini.” Hal ini menyebabkan kita selalu terjebak dalam ruang waktu masa lalu dan masa depan. Contoh mudahnya bisa diperhatikan ketika kita duduk tenang, perhatikanlah pikiran kita, apakah sedang berpikir tentang hal yang akan datang atau masih sibuk mengomentari hal-hal yang telah berlalu. Kemudian cobalah mengarahkan pikiran anda pada saat ini, rasakan apa reaksi yang muncul. Mungkin akan muncul reaksi penolakan karena kita merasa tidak ada apa-apa saat ini, kita merasa kondisi ini bukanlah “kita”.

Sedikit banyak pemikiran manusia mungkin akan seperti pernyataan Descartes, “Aku berpikir maka aku ada.” Manusia membiarkan diri mereka tidak bisa merasakan ketenangan dalam keheningan dan buta akan rahasia keindahan yang ada di balik “keheningan” itu sendiri. Manusia merasa mereka perlu terus berpikir meskipun menghabiskan sebagian besar energi mereka untuk pemikiran-pemikiran yang menimbulkan sifat-sifat destruktif tersebut. Kita menjadi terlalu khawatir akan ke-eksistensi-an kita.

Seperti sabda Buddha yang mengungkapkan bahwa keinginan menyebabkan lahirnya dukkha, keinginan-keinginan kita yang mulanya hanya berupa gambaran mental di dalam kepala kita telah bertransformasi menjadi suatu wujud fisik yang dapat dilihat dalam pola perilaku antar manusia itu sendiri. Kita sepertinya telah mengkhianati sifat kemanunggalan atau keterpaduan manusia sebagai suatu kesatuan. Tampaknya kita tidak pernah tergerak akan fakta bahwa struktur penyusun dasar dari manusia itu semuanya sama dan melupakan bahwa kita memiliki jiwa yang sama. Keberadaan dari hasrat tersebut tidak bisa kita tolak karena itu adalah alami. Manusia tidak bisa hidup jika tidak memiliki hasrat, hasrat untuk makan, hasrat untuk melakukan hal yang berguna bagi sesama, hasrat untuk melayani, bahkan hasrat untuk hidup. Seperti yang telah diutarakan sebelumnya bahwa hasrat ini merupakan efek dari perubahan. Ketika terjadi perubahan maka hasrat akan muncul untuk membandingkan dan menilai. Karena kita terbiasa mengidentikkan diri dengan pikiran maka kita mengikuti dorongan tersebut. Contoh mudahnya, ada satu pasangan yang berpacaran. Sang cowok sedang asyik bermain game ketika sang pacar menghubungi mengajak ngobrol. Karena sang cowok merasa bermain game jauh lebih asyik daripada ngobrol dengan pacarnya maka dia mengabaikannya, mengabaikan dan menolak perubahan masa kini karena merasa di dalamnya kosong dan tidak bermakna. Dia mungkin merasa terbebani dan menganggap ini waktuku dan menganggap dia harus membagi waktunya untuk sang pacar. Dia tidak bisa hadir saat ini dan merasa waktu untuk pacarnya adalah waktunya juga. Dia selalu kehilangan waktu dan terjebak dalam ruang waktu.

Untuk terbebas dari segala bentuk pembicaraan pikiran ini sangatlah memungkinkan. Caranya adalah hadir pada saat ini seperti yang diungkapkan Eckhart Tolle dalam A New Earth, “Begitu ada suatu tingkatan tertentu dari Kehadiran Penuh, keheningan dan kemawasan perhatian dalam persepsi makhluk hidup, mereka dapat merasakan inti kehidupan yang suci, sesuatu yang selalu ada dalam kesadaran atau jiwa setiap makhluk , setiap bentuk kehidupan, mengenalinya sebagai kesatuan dengan mereka sendiri sehingga lalu mencintainya seperti mencintai diri mereka sendiri.” Untuk membiasakan diri hadir pada saat ini kita bisa memulainya dengan berlatih meditasi. Jika kita merasa kesulitan untuk duduk meditasi, kita bisa ditengah-tengah kesibukan kita memperhatikan setiap tarikan nafas kita dan rasakan keindahan serta kedamaiannya. Rasakan dan sadari betapa mudahnya kita melekat pada kondisi-kondisi masa depan dan masa lalu. Bayangkan bila seluruh umat manusia bisa mulai melatih diri untuk hadir sepenuhnya pada saat ini, sangatlah mungkin terjadi pergeseran kesadaran sekali lagi untuk terbebas dari kegilaan pikiran manusia…

FREDRICK NEO Penulis merupakan mahasiswa S-1 Teknik Nuklir UGM dan anggota Redaksi Bulletin Eka-citta Kamadhis UGM