easter-japanese

Pernahkan Anda berpikir tentang apa yang Anda lakukan dalam mengisi kehidupan Anda selama ini? Apakah Anda cenderung mengisi kehidupan Anda dengan hal-hal duniawi? Sudahkah Anda memberi perhatian pada batin Anda?

Hampir semua orang di dunia ini menyibukkan diri dengan urusan duniawi dan pribadinya masing-masing, melupakan bahwa ada sisi lain kehidupan kita yang tidak seharusnya diabaikan. Akibatnya, walaupun telah banyak hal-hal duniawi yang telah dicapai, seperti kekayaan, kemakmuran, kekuasaan, kecerdasan, kesehatan, dan lain sebagainya, hampir semua orang tersebut tidak merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya. Mereka merasa ada sesuatu yang hilang dalam kehidupan mereka kemudian berusaha mencari kekayaan atau kekuasaan yang lebih. Namun demikian, semakin banyak hal-hal duniawi yang dikejar semakin banyak penderitaan yang dirasakan.

Sebagai ilustrasi, di sini penulis akan memberikan sedikit gambaran umum kehidupan manusia modern sekarang, terutama mereka yang hidup di kota-kota besar seperti Jakarta.

Setelah dilahirkan ke dunia, bayi manusia dituntut secara kodrati untuk menumbuhkembangkan jasmaninya agar dapat menjadi pribadi yang sehat jika dewasa nanti. Dengan demikian, wajar jika sejak lahir, bayi selalu menyusui ibunya sepuas-puasnya. Menyusui inilah dapat disebut sebagai pemenuhan kebutuhan sekaligus pemuasan nafsu pertama bagi manusia1. Oleh sebab itu, bayi akan menderita jika sudah habis air susu ibunya dan dialihkan untuk mengkonsumsi makanan yang lebih keras.

Memasuki masa kanak-kanak, anak-anak memuaskan dirinya dengan bermain dan bersenang-senang bersama teman-teman sepermainannya. Dalam pikiran anak-anak hanya ada bermain dan bersenang-senang tanpa menghiraukan waktu dan kondisi di sekitar mereka. Tak jarang anak-anak bermain sepuasnya dari pagi sampai malam kemudian melanjutkan permainan itu pada hari-hari berikutnya. Walaupun kelelahan dan keletihan menyertai pemuasan kesenangan ini, anak-anak tetap terikat pada keasyikan bermain ini dan mengabaikan hal-hal lain.

Pada usia sekolah dasar, anak-anak sekali lagi harus menderita karena harus dipisahkan dari dunia bermain dan bersenang-senang. Beberapa anak akan berusaha lari dari kenyataan dan kembali ke dunia anak-anak yang menyenangkan, namun pada akhirnya mereka menyerah juga pada beban kehidupan yang harus ditanggung sampai tua nanti.

Di bangku sekolah dari SD sampai SMA bahkan di bangku kuliah, manusia dituntut untuk terus belajar mengejar prestasi, kecerdasan, dan kecakapan hidup agar bisa lulus ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan dapat menghadapi tantangan kehidupan dan dunia kerja nantinya. Pengejaran prestasi ini membuat kita menjadi pribadi yang induvidualis, egois, haus akan kesenangan duniawi, dan tidak pernah puas dengan apa yang telah diperoleh.

Ada yang mengatakan bahwa masa setelah masa sekolah dan kuliah adalah masa kebebasan dari kungkungan untuk belajar, mengerjakan tugas, dan mengejar prestasi di mana kita dapat lebih mengekspresikan diri kita. Namun, kenyataannya pada tahap ini kehidupan manusia lebih berat daripada sebelumnya. Pada masa ini kita semakin yakin bahwa kehidupan duniawi sangat diperlukan untuk bertahan hidup di zaman modern, untuk mengumpulkan harta dan kekuasaan, untuk mendapatkan prestise, untuk mengangkat derajat dan status sosial kita, yang pada akhirnya semua hal ini membawa kita menuju kebahagiaan.

Karena pandangan salah di atas, manusia cenderung mengejar kepuasan duniawi setinggi-tingginya tanpa menghiraukan apa pun. Kakak beradik memutuskan tali persaudaraan mereka karena pembagian harta warisan orang tua mereka; suami istri bertengkar dan akhirnya bercerai karena sang suami tidak dapat lagi menghidup istri dan anak-anaknya; pengusaha membunuh saingan usahanya karena memperebutkan lahan usaha yang potensial.

Walaupun sebagian orang telah diperkenalkan pada hal-hal yang berhubungan dengan agama dan spiritual pada usia dini, sedikit sekali orang yang benar-benar memperhatikan hal-hal ini. Orang-orang yang katanya rajin beribadah, sembahyang, berdoa, bermeditasi dan seterusnya pun hanya meluangkan sangat sedikit waktu hidupnya untuk melakukan hal-hal tersebut. Orang Islam hanya benar-benar menjadi seorang Muslim yang taat dan beriman pada jam-jam ketika ia menjalankan sholat; umat Kristen hanya benar-benar merupakan pengikut Yesus yang taat pada jam-jam ketika ia mengikuti kebaktian dan misa di gereja; umat Buddha pun hanya menjadi upasaka-upasika yang susila dan berpandangan benar pada jam-jam ketika mereka membaca paritta dan bermeditasi di vihara. Di luar waktu-waktu tersebut mereka adalah sosok yang berbeda 180″ dari sebelumnya.

Kebanyakan manusia modern berpikir dan berencana untuk memelihara dan merawat batin mereka setelah memperoleh harta yang banyak, setelah memiliki kekuasaan dan wibawa, setelah anak-anak mereka semuanya telah menjadi sukses seperti mereka, setelah kelahiran cucu mereka yang kesekian, setelah mencapai usia sekian, setelah apa yang mereka anggap sebagai kebahagiaan tercapai. Tetapi, ketika hal-hal tersebut datang atau tercapai, mereka sudah terlalu tua dan jompo untuk memenuhi kebutuhan batin mereka, atau lebih parah lagi, mereka tak pernah mencapai kebahagiaan yang diidam-idamkan sampai maut menjemput sehingga tidak pernah sama sekali menyentuh batin mereka.

Pada akhirnya orang-orang seperti ini akan meninggal dunia dalam kesia-siaan dan terlahir kembali di alam-alam yang lebih rendah atau terlahir kembali di alam yang menyenangkan tetapi dengan kondisi yang tidak menyenangkan. Konsekuensi jangka panjangnya adalah mereka akan berputar-putar dalam lingkaran samsara tanpa henti dan sulit untuk mencapai akhir penderitaan dan tiba di Pantai Seberang.

Lalu bagaimanakah kita memperhatikan, memelihara, merawat, dan memenuhi kebutuhan batin kita? Pertama, perbanyaklah melakukan perbuatan berdana. Berdana dapat membantu kita melepaskan keterikatan terhadap benda-benda duniawi yang kita anggap milik kita. Jangan hanya berdana untuk keperluan vihara dan para bhikkhu, tetapi juga mulailah untuk berdana kepada masyarakat sekitar kita yang memerlukan bantuan. Misalnya, mendanakan pakaian bekas kesayangan kita (yang merupakan bentuk kemelekatan kita terhadap materi) kepada orang miskin atau korban bencana alam yang membutuhkan. Perlu ditekankan di sini bahwa lebih baik mendanakan benda yang menjadi objek kemelekatan kita daripada mendanakan benda yang tidak kita perlukan lagi (tidak bernilai apa-apa bagi kita).

Kedua, perbanyaklah mendengarkan Dhammadesana dan membaca buku-buku Dhamma. Dhammadesana yang diberikan oleh mereka yang benar-benar memahami Dhamma dapat mengisi kekosongan batin dalam mencari pandangan dan pegangan hidup yang benar dalam menghadapi berbagai masalah dan tantangan kehidupan. Demikian pula dengan membaca buku-buku Dhamma.

Ketiga, jalankan dan taatilah sila. Menjalankan sila sangat penting untuk mencegah tumbuhnya akar-akar kejahatan dan memupuk akar-akar kebajikan dalam batin. Dengan demikian, sila dapat mengendapkan kekotoran dalam batin kita. Untuk umat awam, standar sila yang harus dijalankan adalah Pancasila, tetapi bagi mereka yang merasa terlalu berat untuk menjalankan kelima sila sekaligus, diperbolehkan untuk menjalankan satu atau beberapa sila dahulu sesuai kemampuan. Setelah maju dalam sila tersebut, barulah menjalankan sila-sila yang lain secara bertahap sampai akhirnya semua Pancasila dilaksanakan. Kemudian mereka yang sudah terlatih dalam Pancasila dapat melatih diri dalam tingkat sila yang lebih tinggi, yaitu Atthasila dan Dasasila.

Ada sebuah pedoman praktis yang dapat diberikan di sini agar kita dapat menjalankan sila atau minimal tidak melanggar sila: “Sebelum suatu perbuatan akan dilakukan atau suatu perkataan akan diucapkan, pikirkanlah secara mendalam apakah perbuatan atau perkataan tersebut bermanfaat bagi diri sendiri dan makhluk lain. Jika benar-benar bermanfaat bagi kebaikan diri sendiri dan makhluk lain, maka perbuatan atau perkataan tersebut boleh dilakukan atau diucapkan; sebaliknya, jika tidak bermanfaat, janganlah melakukan perbuatan tersebut atau mengucapkan perkataan tersebut.”

Keempat, lakukan meditasi secara teratur. Meditasi merupakan santapan utama bagi batin kita. Telah banyak penelitian membuktikan bahwa meditasi dapat menenangkan batin dan membantu mengatasi problem-problem kehidupan manusia seperti stress dan masalah kejiwaan lainnya.2 Menurut Buddha Dhamma sendiri, meditasi selain membawa ketenangan batin, juga merupakan jalan satu-satunya menuju kesucian batin (Pandangan Terang atau Nibbana).

Untuk berlatih meditasi, meditator harus telah menyempurnakan silanya dan memiliki pembimbing meditasi yang berpengalaman. Luangkanlah waktu di sela-sela kesibukan sehari-hari untuk bermeditasi. Duduk bersila atau di atas kursi dengan posisi yang nyaman sambil memperhatikan keluar masuknya napas atau berjalan berkeliling sambil menyadari gerakan kaki langkah demi langkah selama beberapa menit merupakan contoh bentuk meditasi yang dapat dilakukan di rumah atau kantor. Namun, akan lebih baik lagi jika dapat meluangkan waktu untuk mengikuti kegiatan pelatihan meditasi yang diadakan di vihara-vihara.

“Lebih baik daripada seseorang yang hidup seratus tahun tetapi tidak dapat melihat Dhamma yang mulia adalah seseorang yang hidup sehari tetapi dapat melihat Dhamma yang mulia.” (Dhammapada VIII:115).

Sekarang, sudahkah Anda memberi makan batin Anda?


Catatan Kaki
  1. Menurut Sigmund Freud yang dikenal sebagai bapak ilmu psikoanalisis, bayi manusia cenderung memuaskan nafsu makan dan nafsu seksualnya ketika meneteki puting susu ibunya. Perlu ditekankan di sini bahwa nafsu ini sifatnya sangat halus dan berbeda dengan nafsu pada orang dewasa. ↩︎

  2. Penulis pernah membaca sebuah buku agama Katolik yang menyatakan bahwa meditasi merupakan aspek penting ajaran Buddhisme dan Hinduisme yang terbukti banyak memberikan manfaat bagi para praktisinya sehingga agama Katolik memasukkan ajaran meditasi ke dalam ajaran mereka walaupun dengan penekanan objek meditasi yang berbeda. Hal-hal yang disebutkan di atas merupakan hal-hal yang harus dijalankan oleh para umat awam yang berusaha merawat batin mereka agar tidak tercemar oleh arus kehidupan duniawi yang semakin kuat seiring perkembangan zaman. Perlu diperhatikan di sini bahwa yang terpenting bukan hanya seberapa sering Anda melakukan hal-hal di atas, tetapi juga seberapa kuat pengaruh perbuatan-perbuatan tersebut tetap menjaga Anda dalam pandangan hidup yang benar sesuai dengan Dhamma. Seseorang seharusnya mengisi hidupnya dengan Dhamma agar hidupnya tidak sia-sia, seperti sabda Sang Buddha berikut: ↩︎