easter-japanese

Dikutip dari “Suara Redaksi” Buletin Mahasathi… Telah dilakukan pengeditan…

Awal tahun 2003 lalu kita disuguhkan kebijakan pemerintah yang banyak mendapat respon kontra dari rakyat. Namun pada kala bersamaan, dunia hiburan, masyarakat ibu-kota disuguhkan penampilan F4, boysband asal Taiwan. Kita tidak akan membincangkan keputusan politis pemerintah pada kesempatan ini, melainkan fenomena musikal F4 ini.

Fenomenal, karena ini kali pertamanya bagi entertainer oriental [khususnya Mandarin] mengadakan pertunjukan massal, terbuka, dan dua hari berturut-turut. Sebelumnya, para penghibur oriental “hanya mampu” manggung di restoran internasional, dan dihadiri oleh penggemarnya yang terbatas, baik “jenis” maupun jumlahnya. F4 lain, dua hari pertunjukannya sukses, yakni dari segi: target pengunjung, kepuasan penggemar, dan keamanan!

Para penggemar F4 yang hadir di konser tersebut, dari kalangan: artis/entertainer lokal, usahawan, pelajar, orang tua, dewasa, ABG/remaja, anak SD {Joshua-lah yang meminta papanya, Jeddy Suherman untuk mempromotori pertunjukan F4}. Bahkan menurut laporan Kompas, ada pembantu RT di daerah Bandengan yang nekat meminjam uang Rp 1,500,000 dari majikannya untuk menghadiri konser F4. Penggemar F4 tidak dibedakan pribumi maupun non-pribumi, tidak dibedakan warna kulit, tidak dibedakan mata sipit atau belok, dan tidak dibedakan agama apa. Pendek kata, penggemar F4 lintas isu SARA.

Pada sisi lain, kita melihat adanya kenyataan bahwa pertikaian dan kekerasan yang mengatasnamakan agama terjadi berbagai belahan dunia, termasuk di tanah air tercinta ini. Dewasa ini kita bisa saksikan maraknya kasus aliran agama “sesat”; aksi anarkis pun mewarnai inter-agama yang bersangkutan. Rasanya “memalukan”, ketika pemuka agama-agama berkumpul dan membicarakan perdamaian untuk mengakhiri pertikaian yang berlangsung oleh pengikut masing-masing; baik inter-agama maupun antar-agama. Apa sih nilai essensiil dari eksistensi sebuah agama? Semua agama menggaungkan keras nan nyaring tentang: perdamaian, cinta-kasih, toleransi, anti-kekerasan, dan masih banyak lagi. Namun, ternyata pertikaian dan kekerasan malah terjadi antar & inter penganut-agama.

F4 berasal dari dunia hiburan yang kita sebut saja “musik”. Para penggemar yang hadir tidak ingin adanya pertikaian dan keributan, mereka hanya ingin dihibur dan bahagia; having great times lah. Kita semua beragama, pun, menginginkan kebahagiaan, bahkan lebih tinggi, yakni kedamaian spiritual [jauh ke dalam bathin]. Bagaimana mungkin akan memperoleh kebahagiaan spiritual, jika raga/badaniah alias indera kita tidak bisa berdamai dengan dunia luar??? Jadi, sepantasnya agama berfokus pada pembahasan akan perdamaian imani dan spriritual, bukannya perdamaian duniawi alias antar & inter agama. Kelasnya beda yah? Jimmy Carter yang baru-baru ini (2003-an) menerima Penghargaan Nobel Perdamaian, dia bukanlah seorang agamawan, dia adalah politikus. Dan memang pantas, politikus-lah yang berkolerasi langsung dengan yang namanya perang dan damai. Agama seyogyanya berhubungan dengan penggapaian perdamaian dan kebahagiaan hakiki dan paling pribadi dari setiap individu. Isunya jauh lebih luhur; minimum requirement-nya yah: tidak perang, harmonis, dll. Nah, jika sumber permasalahan dan pertikaian justru beranjak dari isu² agama; bukankah sangat disayangkan dan memalukan?

Anti perang, damai, sejahtera, makmur, sentosa, harmoni, bla³… merupakan idaman setiap bangsa; bahkan negara yang menganut paham komunis. Vladimir Putin merupakan pemimpin yang menolak invasi AS dan sekutunya ke Irak. Kita tahu bahwa salah satu itu pertikain AS dan Uni Soviet (dulu), salah satunya adalah karena pengaruh komunisme global. Lucu sekali jika pemimpin negara yang dikenal dengan paham komunis; menyarankan negara yang mengaku sangat beragama (mata uangnya pun ada slogan “In God We Trust”): supaya tidak melakukan kekerasan perang atas negara lain…

Semoga para oknum yang bertikai dengan mengatasnamakan agama masing-masing maupun sektarian, mulai merasa malu dengan “agama baru” yang namanya “musik”. Musik telah mampu membawa kebahagiaan bagi jutaan bahkan miliaran umat manusia selama berabad-abad. Musik tidak membedakan SARA. Nama besar The Beatles dan Elvis Presley dengan tembang anyar mereka masih dipuja hingga detik ini. Tentunya kita tidak pernah mendengar adanya pertikaian antar penggemar grup musik. Bahkan agama tertentu telah berkoalisi dengan musik sebagai media propagandanya.

Kita bisa lihat, justru para musisi banyak memberikan kontribusi dalam bentuk karya lagu, mewartakan anti perang & kemanusiaan…

  • John Lennon “Imagine”
  • Scorpions “Under The Same Sun”, “White Dove”
  • White Lion “What Do We Fighting For?”, “When The Children Cry”
  • U2…

Mungkin… “kritikan” ini juga sudah boleh mulai diberlakukan untuk kita yang sering berdiskusi di dalam bentuk apapun, tentunya atas dasar keagamaan. Banyak motiv yang bisa kita temukan, menambah wawasan, sharing pengetahun, saling A³ (asah, asih, & asuh), mencari komunitas yang sama, mencari ajaran yang cocok, dll… Atau ada juga ada yang ingin “perform”, mewarnai komunitas dengan karakteristik unik, cari atensi, bahkan mengacaukan karena latarnya beda… Apapun itu semua, mari kita mulai melihat value F4 di atas dan refleksikan pada diri kita masing²… Point utamanya bukan pada: apakah benar atau salah? Saya lebih prefer menggunakan istilah: BERMANFAATKAH? Tentunya untuk kehidupan spiritual kita, yang berhubungan dengan pengembangan bathin?