Dayananda TG
Siang itu, Wiku Sadayana sibuk membuat bingkai untuk sebuah lukisan bergambar Buddha yang berwajah asing dan bermata sipit. Setelah selesai memasang lukisan ke dalam bingkai, Wiku menggantung lukisan itu di dinding dibelakang Buddha rupang di Sanggar Pamujan.
Dan pada senja hari, seperti biasa Sanggar Pamujan dipenuhi oleh suara para cantrik yang menguncarkan tembang mantra suci mengagungkan Hyang Guru Buddha serta mengulang kembali janji bakti mereka untuk mengikuti ajaran hidup yang luhur dari Hyang Guru Buddha. Sanggar Pamujan yang diterangi kelap kelip dlupak minyak jarak, bercampur dengan bau harum dupa dan beraneka bunga segar yang terserak di meja tempat rupang Hyang Guru Buddha berada, membuat suasana menjadi terasa makin sakral.
Setelah penguncaran mantra suci selesai, mereka bersamadi bersama sama, Sanggar Pamujan yang sebelumnya dipenuhi oleh suara para cantrik bagaikan dengung para lebah mencari madu bunga, kini sunyi senyap sehingga suara berbagai serangga yang keluar senja hari terdengar jelas, hanya di seling sekali sekali oleh dengkung katak yang sibuk berpesta mencari makan.
Suara gong mengakhiri samadi bersama, dan dengan segera Sanggar Pamujan dipenuhi oleh gemersik baju para cantrik yang sedang mengubah letak kaki mereka yang pegal karena duduk tidak bergerak cukup lama. Citramatra yang malam itu memimpin, segera mengajak semua yang hadir untuk melimpahkan jasa jasa baik perbuatan mereka pada hari itu untuk kebahagiaan semua mahluk dan mengakhiri pembacaan tembang mantra malam itu dengan bersembah sujud pada Hyang Guru Buddha.
Para cantrik yang sejak tadi telah memperhatikan ada lukisan baru yang tergantung di dinding, sibuk berkata dan memberi komentar kepada rekan yang duduk disebelahnya. Sedangkan Citramatra, setelah merapihkan jubahnya, bersembah sujud kepada Wiku Sadayana sebagai tanda bahwa ia ingin bertanya.
Wiku Sadayana sambil bersenyum berkata : “Ada apa Citramatra?”
Citramatra menjawab : “Guru , darimanakah gambar tersebut, dan mengapa wajah Hyang Guru Buddha yang tergambar disitu berbeda dengan Rupang dari batu yang biasa kita ketahui?.”
Wiku Sadayana, berdiam sejenak, menunggu suara dari para cantrik mereda, dan baru kemudian menjawab : “Gambar ini aku dapat dari pemberian Saccawirya, sedangkan Saccawirya sendiri mendapatkan dari pedagang asing yang datang ke ibukota kerajaan untuk berdagang. Pedagang tersebut dirampok habis habisan, untunglah punggawa kerajaan dapat menangkap perampok tersebut dan menyerahkan perkaranya kepada Saccawirya yang menjabat sebagai Adhyaksa. Perampok tersebut dihukum berat sesuai dengan undang undang kerajaan yang mewajibkan warga kerajaan melindungi orang asing yang berdagang dengan jujur di kerajaan Wilwatikta ini; dan pada saat akan pulang kembali ke negerinya, pedagang tersebut memberikan lukisan ini kepada Saccawirya sebagai kenang kenangan. Pada 2 bulan purnama yang lalu, aku dan Citramatra pergi ke ibukota kerajaan untuk menghadiri upacara 1000 hari wafatnya Gusti Prabu yang lalu, dan tinggal di rumah Saccawirya. Saccawirya kemudian memberikan lukisan ini kepadaku”
Setelah menyeruput Wedang Jahe hangat yang dihidangkan oleh seorang cantrik, Wiku Sadayana melanjutkan ceritanya : “Lukisan ini dibuat diatas lembar kertas, yang berbeda dengan lembar lontar yang biasa kita gunakan untuk mencatat mantra suci. Penduduk negeri asing ada yang mengetahui cara pembuatan kertas berukuran lebar, jauh lebih lebar dari lembar lontar, bahkan ada yang sampai 2 depa panjangnya, sehingga bisa digunakan untuk membuat lukisan seperti yang kalian lihat. Penduduk negeri asing tersebut, menurut Saccawirya, rata rata bermata sipit dan berkulit lebih cerah daripada kita penduduk Wilwatikta, mungkin lebih cerah dari warna kulit penduduk daerah Pasundan yang pernah bertikai dengan kerajaan Wilwatikta puluhan tahun yang lampau. Oleh karena itu, mereka melukiskan Hyang Guru Buddha sesuai dengan wajah yang mereka lihat sehari hari, yaitu seperti wajah mereka sendiri”.
Citrabala bertanya : “Guru, apakah diijinkan membuat gambar atau patung Hyang Guru Buddha yang berbeda beda wajahnya?”
Sambil tersenyum Wiku Sadayana menjawab : “Hyang Guru Buddha telah moksa mencapai Nirwana hampir 2000 tahun yang lampau, dan tidak ada seorangpun yang masih hidup saat ini yang pernah melihat wajah asli Hyang Guru Buddha , karena itu sangat wajar bila rupang ataupun lukisan Guru Buddha berbeda beda. Tetapi itu bukan masalah, karena kita pengikut atau yang menyatakan diri sebagai murid Hyang Guru Buddha, menghormati serta berterima kasih kepada Beliau atas ajaran Dharma yang beliau berikan, serta teladan keluhuran budi pekerti yang beliau tunjukkan selama beliau hidup.”
Citrabala melanjutkan bertanya : “Kalau begitu, bisakah setiap penyungging (pelukis) bebas melukiskan beliau semaunya sendiri? “
Wiku Sadayana :”Tentu saja tidak bisa bebas semaunya, apakah engkau lupa dalam salah satu lontar ada tertulis 32 ciri ciri tubuh bodhisatwa, sebelum beliau mencapai Pencerahan Sempurna dan menjadi Hyang Buddha?”. Dengan melukiskan sebanyak mungkin ciri ciri tersebut kedalam lukisan, maka dapatlah seorang Penyungging membuat sebuah lukisan dengan menyebutnya inilah lukisan Hyang Guru Buddha. Selain itu juga tentunya lukisan Hyang Guru Buddha menggambarkan perilaku Beliau sehari hari, seperti bersamadi dengan wajah tersenyum, duduk membabarkan ajaran Dharma. Berdiri dengan sikap tangan memberikan berkah; tentunya sangat tidak tepat kalau menggambarkan Beliau sedang memegang tongkat pemukul atau tombak, atau naik kuda sambil mengacungkan pedang, karena perbuatan itu tidak pernah beliau lakukan”.
Citrabala dan para cantrik mengangguk menyetujui penjelasan Wiku Sadayana.
Dan kemudian Wiku Sadayana berkata : “Citramatra, dalam perjalanan pulang dari ibukota kerajaan ke padepokan ini, engkau pernah bertanya, mana yang lebih penting melakukan winaya (berbuat sesuai aturan Sila) atau melakukan upacara ritual yang megah mewah dengan persembahan sesaji yang berlimpah disertai menguncar tembang mantra berhari-hari? Engkau juga bertanya mengapa padepokan kita tidak pernah melakuan upacara ritual besar besaran?”
Citramatra menjawab : “Benar Guru, waktu itu Guru mengatakan setelah tiba di padepokan baru akan dijelaskan dihadapan para cantrik yang lain. Dan aku sudah lupa menanyakan kepada Guru”.
“Baiklah, sebelum aku menjelaskan hal ini, Citramatra dan cantrik-ku sekalian, kalian perhatikan baik baik lukisan yang sudah berbingkai yang tergantung di dinding. Jawab pertanyaanku, jika lukisan itu tidak kuberi bingkai, bisakah kalian semua melihatnya dengan baik?”
Dengan cepat Citrabala menjawab : “Tidak bisa , guru, itu sama saja dengan wayang kulit tanpa gapit, akan lungkrah,(bhs Jawa: loyo), dan tidak mungkin dilihat dengan baik”
“Ah, Citrabala, bagus sekali perumpamaan mu dengan wayang kulit tanpa gapit, gambar ini pun akan lungkrah, tergulung bagian sudutnya , sehingga tidak enak dilihat”, tukas Wiku Sadayana, yang kemudian melanjutkan bertanya : “Seandainya aku membuat bingkai untuk lukisan tersebut dengan bingkai yang berukuran besar, misalnya selebar setengah jengkal, bagaimana pendapat kalian, apakah lukisan itu menjadi lebih serasi?”
“Tidak mungkin serasi, eyang guru”, jawab salah seorang cantrik dan lanjutnya : “itu sama saja seperti sebuah wayang kulit yang bergapit sungu kerbau berukuran sebesar jempol kaki, tidak enak dilihat. Bingkai selebar setengah jengkal terlalu berlebih untuk ukuran lukisan seperti itu, sehingga tidak enak dilihat.”
Dengan gembira, Wiku Sadayana menjawab : “Bagus, bagus, kalian semua menjawab dengan baik, nah pertanyaan ku yang terakhir, jika bingkai lukisan itu aku beri hiasan ukiran yang indah, aku beri tambahan batu batu permata yang gilang gemilang dan mahal harganya, apakah itu akan memperindah lukisan tersebut?”
Kali ini Citramatra dengan sigap menjawab : “Guru, hiasan ukiran dan batu permata itu akan menenggelamkan keindahan lukisan, yang melihat lukisan akan bingung, perhatiannya akan terpecah, memperhatikan lukisan atau memperhatikan bingkai berhias permata; bingkai yang guru buat sederhana bentuknya, ukurannya pun serasi tidak terlalu tebal, juga tidak terlalu tipis, serasi dengan besar lukisan yang sedepa lebarnya.”.
“Bagaimana pendapat yang lainnya ?” tanya Wiku Sadayana.
“Kami sependapat dengan Citramatra, guru “, serempak para cantrik yang lain menjawab.
Setelah berdehem dehem membersihkan tenggorokannya, Wiku Sadayana berkata : “Nah, perhatikan baik baik yang akan aku katakan. Ajaran Dharma dari Hyang Guru Buddha berupa pengertian mengenai kehidupan dan cara membebaskan diri dari penderitaan yaitu mencapai Nirwana, selain itu juga banyak nasihat nasihat lain yang diberikan kepada pengikut Beliau waktu itu, yang bisa kalian baca di lontar, Ajaran Dharma itu adalah seperti gambar lukisan ini. Sedangkan winaya, atau berbagai pantangan dan tuntunan perilaku yang baik, sama seperti bingkai untuk memegang lukisan agar teguh, tidak kusut atau tergulung bagian ujungnya; sedangkan ukiran dan permata yang aku tanyakan tadi, adalah berbagai upacara ritual yang menjadi tradisi dari para pengikut serta murid Hyang Guru Buddha.
“Perhatian dan upaya yang berlebihan pada upacara ritual, dapat membuat kita semua melupakan ajaran Dharma; apalagi umat yang melihat, mereka akan lebih tertarik pada upacara ritual yang rumit dan megah dibandingkan mendengarkan wejangan Dharma yang disampaikan oleh orang yang mengerti Dharma ajaran Guru Buddha. Demikian juga perhatian yang berlebih pada Winaya serta aturan aturan, akan menyebabkan para murid kuatir bertindak melanggar Winaya, dan sibuk memperhatikan kesalahan sesama rekan, bukannya memanfaatkan waktu, pikiran dan tenaga mereka untuk menyelami dan melaksanakan Dharma untuk mensucikan batin dan pikiran mereka sendiri. Sebaliknya ada juga orang yang hanya mempelajari dan memperdebatkan ajaran Dharma dari Hyang Guru Buddha dan mengabaikan pelaksanaan Winaya dan aturan aturan yang diperlukan, serta mengabaikan upacara ritual untuk mengenang dan menghormati Hyang Guru Buddha; maka kita akan menjumpai orang yang ahli serta mengetahui banyak sekali ajaran Dharma, tanpa melaksanakannya dalam kehidupan sehari hari, orang ini tidak mengerti bahwa Winaya adalah sarana yang menjamin tegaknya Dharma; jika para murid berperilaku dengan melanggar Winaya, siapakah yang akan tertarik untuk mempelajari Dharma? Dan mungkinkah akan ada umat yang bersedia mendukung kehidupan para Wiku yang berperilaku tidak bermoral? Tidak akan ada! Jika terjadi maka hal ini merupakan tanda awal akan lenyapnya ajaran Dharma dari Hyang Guru Buddha pada daerah tersebut”.
Suasana dalam Sanggar Pamujan menjadi hening, sunyi senyap. Tidak biasa mereka mendengar petuah yang panjang lebar dari Wiku Sadayana yang biasanya hanya memberi petuah petuah singkat.
Akhirnya, Wiku Sadayana memecah keheningan : “Sama juga seperti lukisan yang berbingkai dengan ukuran serasi dan diberi hiasan sederhana. Kita memerlukan Winaya dan aturan aturan yang perlu dipatuhi tanpa berlebihan; kita juga memerlukan upacara ritual yang sederhana untuk menunjukkan rasa hormat dan terima kasih kita dengan tulus pada Hyang Guru Buddha yang telah mengajarkan Dharma bagi kesejahteraan sesama mahluk; dan kita juga perlu mempelajari dan menyelami Dharma untuk mensucikan batin serta pikiran kita hingga tercapainya Nirwana. Ketiga nya perlu diperhatikan tetapi harus seimbang tanpa berlebihan pada salah satu diantaranya.”
Citramatra kemudian berkata : “Guru, sebetulnya aku tadi ingin juga bertanya mengapa kita disini tidak pernah mengadakan upacara ritual yang megah seperti yang berlangsung di ibukota dan berbagai Sanggar Pamujan yang lain sehingga banyak sekali umat yang datang hadir, sekarang aku tahu, itu terlalu berlebihan.”
“Citramatra, bukanlah tujuan dari Hyang Guru Buddha membabarkan Dharma untuk mengumpulkan umat untuk menonton upacara ritual, tetapi Beliau bertujuan membebaskan manusia dari penderitaan melalui pelaksanaan Dharma yang telah Beliau ajarkan, sedangkan para Wiku yang berkelakuan baik bersesuaian dengan Winaya akan menarik hati para umat untuk mempelajari dan melaksanakan Dharma, sebaliknya, tontonan berupa upacara yang megah memang mendatangkan umat yang banyak, tetapi sebagian besar dari mereka hanya ingin menonton keramaian saja. Bahkan hal itu dapat menimbulkan pengertian yang salah dari umat, yang beranggapan bahwa dengan ikut serta pada upacara ritual sudah dapat membebaskan mereka dari penderitaan; timbulnya pandangan salah seperti ini perlu dihindari dengan mengadakan upacara ritual secukupnya saja”.
Dengan sikap yang tenang, Wiku Sadayana menatap ke para cantriknya dan kemudian berkata : “Kini sudah larut malam, kita semua perlu beristirahat, Citrabala, pimpinlah kita semua untuk memberikan sembah sujud pada Hyang Guru Buddha untuk mengakhiri pertemuan kita malam ini”
Tidak lama kemudian , padepokan tersebut diselimuti keheningan ketika para penghuninya telah lelap di pondok masing masing.
Cetya Dhyana Loka, April 2010