easter-japanese

Ketika kecil dulu, saya senang sekali jika pada suatu hari saya jatuh sakit. Sakit bagi saya adalah kesempatan untuk bermanja-manja, untuk mendapatkan perhatian lebih dari orangtua saya. Dan pada kasus-kasus tertentu, jatuh sakit atau pura-pura sakit bisa menjadi alasan terbaik untuk tidak masuk sekolah.

Tetapi sekarang, saat umur makin tua dan kemanjaan makin berkurang, jatuh sakit justru menjadi suatu kesulitan dan ketidaknyamanan yang menganggu aktivitas saya. Contohnya seperti kejadian baru-baru ini, ketika saya harus menjalani operasi katarak pada mata saya.

Sebelum operasi dilakukan, saya mengira bahwa ini cumalah soal sederhana: begitu katarak itu dihancurkan via operasi dan lensa mata yang baru telah dipasang, maka soalnya jadi beres sudah: penglihatan langsung terang jelas dan saya tidak perlu membatasi kegiatan-kegiatan rutin saya.

Nyatanya tidak sesederhana itu. Operasi ternyata hanyalah satu tahap, tahap berikutnya pasca operasi benar-benar membuat saya merasa repot dan tidak nyaman. Disamping penglihatan ternyata harus mengalami masa kabur selama 2 atau 3 minggu dan mata terasa tidak nyaman, saya pun harus terus makan obat 2 atau 3 kali sehari, meneteskan obat tetes tertentu tiap 2 jam sekali, memakai kacamata gelap sepanjang hari untuk melindungi mata dari sinar, menjaga mata supaya tidak terkena air dan sebagainya. Dan yang paling menyiksa: untuk waktu yang cukup lama, saya tidak bisa membaca buku atau menonton tv.

Selama menjalan prosedur pasca operasi yang menimbulkan ketidaknyamanan dan membatasi kegiatan rutin saya sehari-hari itulah, baru saya sadari betapa berharganya kesehatan itu, dan alangkah beruntungnya orang-orang yang sehat, yang jiwa raganya berfungsi sebagaimana mestinya. Dalam kaitannya dengan kesadaran ini, saya teringat kata-kata dari orang bijak yang berujar, ”Manusia seringkali baru menyadari sesuatu itu berharga ketika ia telah kehilangan sesuatu itu.”

Tanyalah pada seorang penderita kelainan jantung atau penyempitan pembuluh darah akibat terlalu banyak timbunan kolesterol atau karena kebiasaan merokok. Bagaimanakah penderitaannya karena kelainan atau penyakitnya itu? Bagaimanakah rasanya terkena serangan jantung? Bagaimana ketidaknyamanan hidupnya untuk berpantang makan ini makan itu, untuk tidak boleh berkegiatan ini berkegiatan itu, untuk harus ingat makan sekian pil pada waktu-waktu yang telah ditentukan, untuk terus harus bersiap-siap suatu ketika akan dijemput oleh malaikat maut? Juga, tanyalah pula seperti apa rasa bosannya karena harus terus bertemu makhluk putih-putih berstetoskop? Dan berapa banyak pengorbanan materi (baca: duit) yang harus ia lakukan untuk tetap menjaga hidupnya? Saya yakin dari jawaban-jawabannya, di samping terlontar harapan-harapan akan kesehatannya, kita akan menemukan banyak ungkapan-ungkapan penyesalan dan rasa “iri” terhadap orang-orang yang sehat.

Bagi seorang anak kecil yang masih suka bermanja-manja, terkena flu atau demam boleh saja menjadi kesempatan untuk mendapat perhatian lebih dari orangtuanya, atau sebagai peluang untuk menghindar dari pelajaran matematika di sekolah. Tetapi bagi kebanyakan kita, jatuh sakit justru akan menjadi awal dari kesulitan-kesulitan dan ketidaknyaman yang membatasi kegiatan kita sehari-hari. Dan di masa ketika materialisme berkuasa seperti sekarang ini, jatuh sakit bisa berarti jatuh miskin.

Bahwa sehat itu adalah kekayaan yang utama, bahwa sehat itu berarti kaya (tetapi tidak sebaliknya), mungkin banyak orang pernah mendengar dan setuju dengan pernyataan-pernyataan itu. Tetapi bila kita lihat di seputar kita, tampaknya, kesehatan adalah hal terakhir yang kita sadari untuk disyukuri.

Banyak contoh yang dapat ditulis di sini mengenai wujud dari tiadanya rasa syukur itu. Antara lain, bermuram durja, putus asa, menyia-siakan energi muda dengan merokok, begadang, minum minuman keras, minum pil koplo atau sejenisnya dan sebagainya kegiatan-kegiatan tak berguna yang hanya menyakiti dan merusak diri sendiri.

Jadi, saya percaya, disamping hemat, sehat itu juga pangkal kaya. Karena sehat itu salah satu dari kekayaan yang utama, maka orang yang sehat adalah orang yang kaya. Tetapi tidak sebaliknya: apa gunanya kita punya segudang uang dan emas jika untuk makan coklat sebatang pun kita tak boleh atau tak bisa?

Chuang 151102