easter-japanese

Bila saya mencoba mengingat-ingat kembali sejarah kehidupan saya dari sejak mula hingga sekarang ini, saya dapat menyimpulkan bahwa sampai sejauh ini tidak ada satu pun masa ketka saya tidak menemukan kata “Perang” tidak diucapkan.

Di awal tahun 70-an dan juga sepanjang tahun itu, ketka saya masih sangat sangat kecil, terjadi perang Vietnam antara tentara kaum kapitalis versus kaum komunis. Kemudian, di era 80-an, ketika saya masih kanak-kanak, dunia mengalami perang yang lama dan berlarut-larut antara dua negara bertetangga: Irak vs Iran dan juga perang “abadi” antara Palestina vs Israel. Selanjutnya, pada tahun 90-an, saat mata saya mulai terbuka dan mengerti sedikit banyak apa yang telah terjadi, kita menyaksikan secara langsung perang teluk antara AS dan sekutunya melawan Irak yang dianggap sebaga seorang anak nakal yang harus dihukum.

Dan kini di sini, di awal abad ke-21 yang kita harapkan menjadi abad yang damai, yang tak rusuh dan berdarah-darah lagi seperti abad-abad lampau, para pecinta damai kembali dibuat bersedih hati dengan terjadinya tragedi kemanusiaan pada tanggal 11 September 2001, ketika beribu-ribu nyawa dikorbankan atas nama kebencian dan dendam amarah.

Pendek kata, hampir sepanjang hidup saya hingga saat ini, tak pernah sekalipun saya menemukan apa yang kita semua sebut sebagai “Perdamaian Dunia” yang sebenar-benarnya. Sampai saat ini, Ia barulah berwujud sebuah mitos, sebuah mantra takhayul yang diucapkan berulang-ulang di atas mimbar kaum politikus dunia, meluncur manis dari bibir indah ratu kecantikan, tercetak kosong di atas lembar koran-koran, dan mendengung ribut dari pembicaraan para utopis kesiangan.

Saya tak hendak menjadi seorang pesimis yang muram, juga seorang yang sinis. Saya hanya ingin mengatakan bahwa, jika kita mencari damai dari dunia ini, seperti yang telah saya tulis diatas, sejauh ini hal itu sangat tidak mungkin karena sejarah dunia telah menunjukkan pada kita bahwa perang adalah hal yang biasa terjadi setiap saat, terutama di masa modern ini ketka dunia tak lagi cukup bagi setiap manusia serakah. Kekerasan tampaknya telah menjadi sebuah bahasa universal yang dipakai untuk mengatasi kekerasan lainnya, dengan hasil berupa kekerasan yang lebih keras lagi.

Memang untuk berharap akan perdamaian dunia, akan putusnya rantai dendam dan kekerasan yang selama ini kita alami dan saksikan itu boleh-boleh saja dan mungkin juga baik. Karena harapanlah yang membuat kita tetap dapat bertahan dan hidup.

Tetapi untuk benar-benar mewujudkan perdamaian dunia, pertama-tama kita harus memulainya dari diri kita sendiri. Karena disinilah ia sebenarnya berada selama ini. Dan hal itu, kawan, adalah sesuatu yang sulit. Sebab dalam usaha menemukan kedamaian di dalam diri, kita harus memerangi diri ktia sendiri, musuh yang paling sulit untuk diperangi. Tetapi kemenangan yang kita peroleh, kedamaian itu, adalah sangat berharga dan pantas diperjuangkan. Oleh karenanya, saya kira, sesulit apa pun itu, menaklukkan diri sendiri demi kedamaian sejati jauh lebih penting dan berharga dan solusi paling ideal untuk menwujudkan perdamaian dunia.

Chuang 161104