easter-japanese

Setiap kali saya menengok ke dalam sejarah kehidupan Buddha, selalu ada saja teladan yang dapat saya temukan, dan temukan, dan temukan lagi. Kehidupan-Nya—yang meskipun cukup singkat untuk masa itu—bagaikan sumur dari mata air kebijaksanaan yang tak pernah kering sepanjang masa.

Dalam kaitannya dengan semangat pantang menyerah, kehidupan Buddha telah memberikan kita suatu teladan mengenai keteguhan dan ketabahan yang sempurna dari seorang manusia yang mempunyai impian besar, suatu impian yang bukan melulu demi kemuliaan diri-Nya sendiri, tetapi juga untuk kebahagiaan segenap makhluk di seluruh alam kehidupan: KEBEBASAN SEJATI.

Seperti yang kita semua ketahui, pada malam menjelang pelepasan agung, Pangeran Sidharta meninggalkan istana dan segala kemewahannya sebagai seorang putra mahkota tanpa sedikit pun keragu-raguan, tanpa sedikit pun ketakutan akan kegagalan, dan tanpa sedikit pun kecengengan seorang pangeran yang terbiasa hidup nikmat nyaman dan mewah.

Dan bayangkanlah, andaikata pada detik-detik yang sangat menentukan itu, seorang Pangeran Sidharta–yang meskipun telah diramalkan akan menjadi Buddha, tetapi bagaimana pun Beliau barulah hanya seorang Bodhisatta–menjadi kecil hati, takut akan kegagalan dan enggan meninggalkan segala kemewahan dan kenyamanan hidupnya, kita saat ini pasti tak kan mengenal apa itu Ajaran Buddha, apa makna sejati dari kehidupan ini dan bagaimana cara mencapai kebahagiaan sejati dan sebagainya. Dan nama Sidharta, barangkali hanya kita ketahui sebagai nama seorang raja yang bijaksana yang memerintah suatu kerajaan di masa India Kuno. Tidak lebih dari itu.

Tetapi Pangeran Sidharta, untunglah, bukan seorang pengecut yang takut gagal, bukan seorang pangeran cengeng yang melekati segenap kenyamanan dan kenikmatan hidupnya. Dia adalah seorang manusia yang berani memiliki cita-cita, berani memimpikan suatu impian, dan yang terpenting berani mewujudkan cita-citanya sehingga hari ini kita memujanya sebagai seorang Buddha, yang sadar, yang telah menaklukan musuh yang seharusnya ditaklukkan.

Buddha dengan demikian menjadi salah seorang manusia yang paling sukses dan bahagia di dalam sejarah dunia kita. Dan itu semua tidak Ia dapatkan dengan begitu saja dari pemberian para dewa atau makhluk brahma, meskipun pada kenyataannya Ia seorang Bodhisatta yang dicintai, dijaga dan dipuja oleh para dewa dan brahma. Sebab, seperti yang ktia ketahui pula, pangeran harus melalui masa enam tahun pencarian yang melelahkan dan menyiksa, yang bahkan dalam satu masa hampir saja merengut nyawanya. Pangeran benar-benar harus berjuang keras dari satu kegagalan menuju kegagalan lain, dari satu siksaan menuju siksaan lain, dari satu godaan menuju godaan lain sebelum ia pada akhirnya menemukan jalan yang dicarinya, obat penyembuh penderitaan semua makhluk yang hidup, menjadi Buddha.

Lalu terpikirlah oleh saya, bila seorang Bodhisatta yang dipuja dan dicintai segenap makhluk pun harus mengalami kegagalan dan penderitaan sebelum ia pada akhirnya menjadi Buddha, mengapa kita yang bukan siapa-siapa ini, yang begitu kerdil dan hina bila dibandingkan dengan diri-Nya, begitu cengeng dan penakut manakala dihadapkan pada satu pilihan untuk melangkah atau tidak, untuk memiliki impian dan mewujudkannya?

Mengapa kita seringkali bersedih hati dalam kegagalan dan tetap diam berkumbang didalamnya, bukannya meneladani semangat Buddha yang pantang menyerah, yang tak takut gagal dan berani mengambil resiko pada saat Ia sebenarnya bisa saja duduk tenang dan nikmat sebagai pangeran mahkota yang hidupnya luar biasa mewah dan nyaman?

Buddha telah menunjukkan jalan-Nya, Ia telah memberikan teladan-Nya. Lalu mengapa kita masih saja gentar untuk memiliki impian dan mewujudkannya menjadi nyata?

Chuang 110703