Berpikir Cara Buddhis
Abin Nagasena
Setiap kali berhubungan dengan angka 13, sering kali “tanpa kita sadari” ada perasaan “mempermasalahkan” angka tersebut, karena konon angka 13 adalah “tidak sekedar lambang kesialan” tapi lebih dari itu, dapat membawa kesialan bagi orang yang berhubungan dengan angka tersebut.
Pandangan ini banyak diyakini orang, bahkan telah demikian merasuk dalam kehidupan manusia, sehingga angka 13 menjadi angka yang tidak lazim digunakan, menjadi angka yang di-tabu-kan. Tidak heran, hampir tidak dapat ditemukan, jika tidak bisa dibilang tidak ada, rumah dengan nomor 13. Biasanya rumah yang ketiban nomor angka 13 dirubah menjadi 12A, 12B dan seterusnya. Tidak hanya rumah hunian, kamar hotel juga sering kali mengharamkan angka tersebut. Hampir dapat dipastikan, rumah dengan nomor 13 tidak akan laku dijual, kamar hotel dengan nomor 13 juga akan sepi hunian.
Ketakutan akan angka 13 sudah demikian luasnya, bahkan ketakutan ini sudah menjadi budaya lintas negara, juga lintas benua.
Di Indonesia, idiom “cilaka 13” tentu tidak asing lagi di telinga kita. Kenapa harus 13 dan bukan cilaka 14, 15 atau 30? Tidak lain tidak bukan, karena pandangan bahwa angka 13 itu membawa kesialan alias bisa membuat orang bercelaka-ria.
Di belahan Barat, dikenal pula “Friday the 13th” yang konon adalah hari super sial. Semua orang sangat berhati-hati pada hari Jumat yang bertepatan dengan tanggal 13. Kenapa hari-hari Jumat lainnya yang tidak jatuh pada tanggal 13 bukan hari yang harus diwaspadai? Sekali lagi, itu karena pandangan bahwa angka 13 adalah angka sial.
Sialnya angka 13 dikaitkan dengan banyak hal, semisal hitungan-hitungan umum yang berhenti hanya sampai angka 12 saja, sehingga 12 dinyatakan sebagai batasan wajar, sedangkan 13 adalah ketidakwajaran karena melampaui angka 12. Hitungan-hitungan tersebut antara lain bahwa dalam satu tahun hanya ada 12 bulan, angka dalam jam hanya sampai 12, murid Yesus juga hanya 12 orang, dan lain sebagainya.
Selain angka 13 yang sudah sangat umum diyakini sebagai angka sial, masih ada angka-angka lain yang juga diyakini membawa kesialan yang berkembang secara terbatas dalam budaya-budaya regional. Angka 17 misalnya, juga dianggap sebagai angka sial di Itali dan Brazil. Hal ini pula yang menyebabkan sebuah maskapai penerbangan Jerman menghilangkan 13 dan 17 dari deretan nomor kursi penumpang dalam kabin-kabin pesawat.
Dalam budaya Tionghoa, angka 4 adalah angka sial, karena itu angka 4 sebisa mungkin tidak digunakan. Pada apartemen-apartemen atau bangunan-bangunan tinggi lainnya di Singapura, lantai di atas lantai beridentifikasi angka 3 adalah lantai dengan identifikasi angka 5, walaupun sesungguhnya lantai tersebut berada di urutan ke-4. Ketabuan menggunakan angka 4 telah menyebabkan lantai ke-4 itu diberi label lantai 5. Angka 4 mendapat predikat sial, dikarenakan bunyi pelafalannya dalambahasa Mandarin yang mirip dengan pelafalan kata “mati”. Kemiripan bunyi inilah yang menjadikan alasan penghindaran penggunaan angka 4 tersebut.
Selain angka-angka sial, ternyata juga dikenal angka-angka yang diyakini sebagai angka keberuntungan dalam tradisi Tionghoa. Angka yang beruntung dinobatkan sebagai angka keberuntungan adalah angka 8 dan 9. Angka 8 dianggap beruntung karena pelafalan dalam bahasa Mandarin “Ba” (baca: Pa) yang mendekati bunyi kata “Fa” yang artinya “berkembang, tumbuh”. Sedang predikat keberuntungan angka 9, sering kali dikaitkan dengan pendapat bahwa angka yang paling besar dari semua angka tunggal adalah angka 9. Selain itu, angka 9 dinyatakan memiliki keutamaan karena melambangkan kepenuhan langit dan bumi. Angka 9 tidak pernah berubah meski dikalikan dengan angka berapapun. Dengan kata lain, angka 9 dikalikan dengan angka manapun, hasilnya tetap 9. Sebagai misal, 9×3=27, kemudian tambahkan 2+7=9, demikianlah hasilnya tetap 9.
Yang dianggap membawa kesialan atau dinobatkan sebagai pembawa keberuntungan tidak cukup hanya angka-angka saja, ternyata muncul pula pandangan hari sial dan hari baik. Bukan rahasia lagi kalau dalam masyarakat kita banyak kegiatan yang dilakukan dengan kungkungan hari baik dan hari buruk. Mau pindah rumah cari hari baik dulu, mau menikah sesuaikan dengan hari baik dulu, mau memulai suatu usaha hitung hari baik dulu. Bahkan kini, kelahiran seorang bayi juga diusahakan bertepatan dengan hari baik, kalau perlu dengan tindakan medis seperti penggunaan obat-obatan untuk mempercepat persalinan ataupun lewat operasi caesar.
Terdapat pula pandangan akan adanya bulan baik dan bulan kurang baik. Banyak kegiatan “seperti pernikahan” dilakukan terpusat hanya pada bulan-bulan tertentu yang dianggap baik, sedang pada bulan-bulan yang lain kegiatan serupa dihindari.
Tidak dipungkiri bahwa di antara umat Buddha, yang jumlahnya minoritas dalam masyarakat kita ini, ada juga yang memegang pandangan-pandangan tersebut, meskipun itu merupakan pandangan yang berbeda jalur dengan ajaran Buddha. Ini umumnya dilakukan oleh umat yang terklasifikasi dalam kategori “hanya memeluk” agama Buddha saja.
Umat yang mendalami dan menerapkan ajaran luhur Buddha, bukan sekedar memeluk agama Buddha, seyogyanya tidak terjerat dalam pandangan per-angka-an, per-hari-an dan per-bulan-an pembawa sial atau keberuntungan itu. Buddhisme secara tegas menolak pandangan-pandangan tersebut karena itu adalah pandangan yang tidak rasional yang tidak dapat diterima oleh akal sehat. Ini bertentangan dengan ehipassiko – datang dan buktikan – yang menjadi landasan ajaran Buddha.
Mengatakan bahwa pandangan-pandangan tersebut sebagai tidak rasional, sudah tentu harus dilandasi dengan alasan yang rasional.
Bila dikatakan angka 13 adalah angka sial, dalam hasil perlombaan yang diikuti oleh, katakanlah 20 orang peserta, bagi para peserta yang menduduki peringkat urutan ke-14 dan seterusnya, apakah angka-angka ini lebih baik daripada angka 13? Apakah peringkat angka 13 merupakan angka yang paling sial bahkan bila dibandingkan dengan peringkat terakhir? Apakah benar angka 8 atau 9 membawa keberuntungan sehingga gelar juara selalu disandang oleh peserta dengan urutan angka 8 atau 9?
Mereka yang gemar bergelut dalam dunia statistik tidak pernah menemukan hubungan dan bukti yang mendukung akan kebenaran adanya angka sial dan mujur. Padahal, bila angka sial dan mujur itu benar-benar ada, meski kita tidak memahami logika yang mendasarinya, tetapi setidaknya para pakar statistik seharusnya telah dapat menemukan pola kebenaran ini. Ternyata dunia statistik tidak pernah mencatat fenomena angka sial dan mujur. Sial atau mujur, itu tak terlepas dari pengaruh psikologis setiap individu yang meyakininya.
Lalu, bagaimana dengan hari sial? Pada keyakinan yang menyatakan adanya suatu makhluk adikodrati sebagai pencipta segalanya, tentu menjadi tidak logis jika Sang Pencipta menciptakan hari-hari yang diciptakanNya sendiri sebagai hari sial, pun apakah masuk akal bila Sang Pencipta mendiskrimasi hari-hari tertentu sebagai hari baik?
Dalam Buddha Dharma, hari baik atau hari sial adalah tidak ada kaitan sama sekali dengan suatu kekuatan di luar diri manusia. Buddha mengajarkan bahwa baik buruknya hari yang dilalui oleh manusia adalah sepenuhnya berada dalam kendali manusia itu sendiri. Tidak ada orang lain, makhluk lain atau apapun di luar diri manusia yang mampu membuat hari-hari itu menjadi sial, atau sebaliknya menjadikannya mujur.
Bagi umat Buddha, setiap hari adalah hari baik, karena setiap hari adalah kesempatan baik untuk memulai sesuatu yang baik. Hari adalah sebuah satuan waktu. Tiap hari, bahkan tiap saat, adalah hari dan waktu yang baik, karena dengan masih memiliki hari berarti masih memiliki waktu untuk berbuat baik bagi diri sendiri dan semua makhluk. Bagaimana cara mengelola waktu yang masih kita miliki, itulah yang menjadikan satu hari itu menjadi sial, mujur atau biasa-biasa saja. Kitalah majikan atas hari yang kita miliki. Kitalah penentu apakah hari ini akan menjadi hari mujur atau hari sial, bukannya ditentukan sepenuhnya oleh hari-hari sial atau hari-hari mujur.
Ketika satu hari berlalu tanpa ada manfaat yang kita lakukan baik bagi diri sendiri maupun orang-orang di sekitar kita, sungguh kita telah melewati hari yang sangat sial. Sial karena hari tersebut telah sia-sia. Sial karena sebagai manusia ternyata perbuatan kita tidak bermanfaat.
Ketika hari ini kita buka dan awali dengan pikiran yang positif, dengan hiri dan ottapa (malu berbuat jahat dan takut terhadap akibat perbuatan jahat yang kita lakukan), metta dan karuna (cinta kasih dan belas kasih terhadap semua makhluk), pengendalian indriya, pemupukan kusala karma (perbuatan baik), pelimpahan jasa, pengharapan yang mulia serta upaya yang gigih, sungguh hari ini adalah hari yang sangat mujur. Hari yang mujur ini adalah hari yang penuh makna bagi kita yang berlatih, penuh kebahagiaan bagi mereka yang tidak kita rugikan dan penuh manfaat bagi mereka yang menerima kebajikan kita.
Ada orang yang bertekad mendonorkan organ tubuhnya kelak ketika dirinya meninggal. Bagi orang tersebut, hari kematian yang alih-alih dianggap sebagai hari sial, justru menjadi hari yang memberi manfaat besar bagi dirinya (di kehidupan mendatang) dan bagi orang lain yang menerima organ yang didonorkannya (di kehidupan ini).
Sungguh luar biasa apa yang diajarkan oleh Buddha. Inilah satu-satunya ajaran yang memungkinkan manusia mengendalikan hari-hari yang akan dilaluinya setiap saat. Dan sudah tentu, ini adalah ajaran luhur yang konkret dan logis, bukan hanya sekedar memberikan dorongan psikologis bagi para praktisinya.
Sumber: Sinar Dharma 13 Waisak 2550BE/2006