Berpikir Cara Buddhis
Abin Nagasena
Terdapat kelompok umat Buddha yang menolak pandangan yang mengatakan adanya semangat missionaris dalam Buddhisme. Pendapat kelompok umat ini tidaklah sepenuhnya benar. Bukannya tidak ada, malah boleh dikata semangat missionaris Buddhis merupakan semangat missionaris yang sangat awal, jika tidak bisa dibilang yang pertama, dalam catatan peradaban agama manusia.
Sebenarnya penolakan yang dilontarkan oleh kelompok tersebut lebih didasarkan pada kekhawatiran dapat timbulnya pengertian yang salah dari umat awam tentang semangat missionaris Buddhis. Dewasa ini karena ulah kelompok-kelompok tertentu kata missionaris telah cenderung menjadi berkonotasi negatif. Oleh sebab itu, jika mendengar kata missionaris, kesan pertama yang muncul adalah sekelompok orang yang berusaha mempengaruhi dan merubah keyakinan orang atau kelompok lain yang berbeda agamanya. Metode missionaris yang mereka gunakan acap kali kurang beretika dan merusak kerukunan beragama, misal dengan menjelekkan keyakinan lain, mencap umat yang berbeda keyakinan sebagai orang tersesat yang perlu diselamatkan, trik-trik penyembuhan, pelecehan terhadap agama lain dan lain sebagainya. Salah satu bukti nyata mengenai metode missionaris yang tidak etis itu dapat kita lihat beberapa waktu yang lalu di sebuah iklan missionaris berjudul Buddha Mencari Surga yang muncul di salah satu harian nasional kelas atas.
Konotasi negatif pada kata missionaris inilah yang menjadi alasan mengapa ada kelompok Buddhis yang menolak pandangan bahwasanya semangat missionaris dikenal dalam Buddhisme.
Pergilah kalian, demi kesejahteraan semua, demi kebahagiaan semua, atas dasar belas kasih kepada dunia, demi manfaat kesejahteraan dan kebahagiaan para dewa dan manusia.
Janganlah pergi berdua dalam satu jalan. Babarkanlah Dhamma ini, yang indah pada awalnya, indah pada tengahnya dan indah pada akhirnya.
Dalam baris pertama sabda tersebut, Buddha Gotama secara tegas mengutus para bhikkhu untuk pergi membabarkan Dhamma kepada dunia, demi kesejahteraan dan kebahagiaan semua makhluk.
Pada baris kedua, semangat missionaris itu lebih terasa karena Buddha berpesan agar para bhikkhu tidak pergi berdua pada satu arah atau tempat tujuan. Ini bertujuan agar Dhamma dapat disebarkan secara lebih luas, dengan demikian akan lebih banyak makhluk yang dapat mengenal dan menikmati indahnya Dhamma.
Tidak bisa dipungkiri bahwa berkat semangat missionaris inilah, kita yang hidup di zaman kini, yang jauh dari masa dan tempat Buddha hidup di bumi ini, berkesempatan mengenal ajaran luhur. Semangat missionaris ini pulalah yang telah membawa ajaran Buddha Dhamma berkembang di Nusantara dan juga belahan dunia lainnya.
Pada masa kejayaannya, Raja Asoka yang pernah menguasai India telah pula memelihara semangat missionaris ini dengan mengutus banyak bhikkhu/bhikkhuni untuk membabarkan Dhamma ke segenap penjuru, termasuk mengutus anaknya sebagai bhikkhu missionaris membawa ajaran Buddha masuk ke Srilanka. Tidak berlebihan jika dikatakan adalah berkat semangat missionaris Raja Asoka inilah maka ajaran Buddha tetap terlestarikan di muka bumi ini saat ajaran Buddha mengalami kehancuran di India.
Walaupun demikian, perlu digarisbawahi bahwa semangat missionaris Buddhis sangat berbeda dengan semangat missionaris dari keyakinan-keyakinan lain yang kita kenal saat ini, terutama semangat missionaris yang menodai toleransi antar umat beragama. Semangat toleransi missionaris Buddhis dapat kita simak dalam Pilar Raja Asoka yang hingga hari ini masih dapat ditemukan di berbagai wilayah di India. Pilar Asoka ini memuat prasasti yang membawa pesan toleransi beragama.
“Seseorang seharusnya tidak hanya menghargai agamanya dan mencela agama orang lain, tetapi seseorang seharusnya menghargai agama orang lain. Dengan melakukan hal ini, seseorang membantu agamanya untuk tumbuh dan memberikan perlakuan yang baik terhadap agama yang lain juga. Dengan melakukan yang sebaliknya, seseorang menggali kubur bagi agamanya sendiri dan sekaligus merugikan agama yang lain.”
Berbeda dengan ajaran lain yang meyakini bahwa hanya dengan menyatakan keyakinan dan iman terhadap tokoh suci ajaran tertentu, maka dengan sendirinya namanya akan tercatat sebagai calon penghuni surga, sebaliknya Buddha justru mengajarkan bahwa keselamatan tidaklah bisa didapatkan hanya dengan memakai label beragama Buddha. Secara gamblang dapat dikatakan bahwa Buddhisme tidak mengenal konsep penyelamatan hanya karena iman, pun Buddhisme tidak berpandangan bahwa hanya mereka yang yakin pada Buddha akan mendapatkan surga abadi. Lebih jauh lagi, ajaran Buddha berpendapat bahwa siapa saja yang mampu mengendalikan dirinya dalam pikiran, ucapan ataupun tindakan fisik, terlepas dari apapun agamanya, akan mendapatkan kebahagiaan kelak di kemudian hari. Apa yang ditanam, itulah yang dipetik, tanpa melihat apapun label agama yang diyakininya. Ini adalah hukum yang berlaku secara universal.
Karena Buddhisme berpendapat bahwa keselamatan tidak bergantung pada mengimani seseorang atau suatu ajaran, maka semangat missionaris Buddhis tidak berakar pada pandangan bahwa keyakinan orang lain adalah buruk. Ketika seseorang mengiming-imingkan keselamatan ajarannya kepada orang yang berbeda keyakinan, maka sesungguhnya orang tersebut berpandangan bahwa hanya ada keselamatan dalam ajarannya itu, dengan kata lain, menganggap tidak ada keselamatan dalam ajaran yang lain.
Missionaris Buddhis berakar pada keselamatan melalui kebajikan pikiran (mano), ucapan (vacci) maupun tindakan fisik (kaya) sekali-kali bukan hanya berdasarkan pengimanan. Ajaran bahwa keselamatan hanya bisa diraih lewat kebajikan (dan tidak mungkin diraih hanya lewat iman) ini, membuat missionaris Buddhis tidak sibuk berusaha memaksakan ke-Buddhis-annya kepada umat beragama lain. Missionaris Buddhis mendorong orang untuk menjadi manusia yang baik, terlepas dari apa jubah agama yang dikenakannya.
Semangat missionaris Buddhis membawa pesan pada seluruh manusia untuk “tidak berbuat jahat, memperbanyak kebajikan, mensucikan pikiran”, karena hanya dengan cara inilah kebahagiaan akan bisa diraih, baik saat ini maupun masa yang akan datang. Bagi mereka yang masih asyik melakukan kejahatan, missionaris Buddhis membawa pesan untuk tidak berbuat jahat. Sedang bagi mereka yang sudah melepaskan diri dari perbuatan jahat, missionaris Buddhis membawa pesan untuk memperbanyak kebajikan. Dan pesan yang lebih jauh lagi adalah bahwa tidak melakukan kejahatan dan memperbanyak kebajikan ini bertujuan demi kebahagiaan semua makhluk. Dengan cara-cara inilah latihan pensucian diri dilakukan.
Semangat missionaris Buddhis telah membuat catatan sejarah yang luar biasa dalam peradaban manusia. Selama 2550 tahun ajaran Buddha di muka bumi ini, dunia telah membuktikan bahwa tidak ada setetes darahpun yang tumpah dalam perjalanan missionaris Buddhis. Tidak pernah ada tindakan kekerasan dalam sejarah penyebaran ajaran Buddha. Semangat yang luar biasa ini telah merefleksikan keseluruhan ajaran Buddha yang berlaku bagi semua makhluk (universal), tanpa kekerasan (ahimsa) dan bebas dari iming-iming.
Ciram titthatu lokasmim, Sammasambuddha sasanam.
Semoga ajaran Buddha tetap lestari, dalam waktu yang lama di dunia ini.
RAJA ASOKA Wajah Missionaris Buddhis
Raja Asoka dari dinasti Maurya yang berkuasa di India dari tahun 273 SM hingga 232 SM adalah seorang raja beragama Buddha yang menguasai sebagian besar anak benua India. Kekuasaan Raja Asoka membentang dari Afghanistan hingga Bangladesh. Setelah mengenal ajaran Buddha, Raja Asoka mengalami transformasi luar biasa. Dari seorang raja yang dijuluki sebagai Canda Asoka, yang menunjukkan bahwa ia adalah pembunuh yang tak kenal kasih, kemudian berubah menjadi Dhammasoka yang berarti Asoka penganut Dhamma atau Asoka yang saleh.
Selama kepemimpinannya, Raja Asoka menyebarluaskan ajaran Buddha dengan dibantu oleh putranya yang bernama Mahinda dan putrinya yang bernama Sanghamitta. Kedua putra-putrinya ini menjadi anggota Sangha dan berkelana memperkenalkan ajaran Buddha ke seluruh pelosok India hingga ke Srilanka, Mesir dan Yunani.
Selama sisa masa pemerintahannya semenjak mengenal Buddha Dhamma, Raja Asoka menerapkan kebijakan resmi anti kekerasan (ahimsa), bahkan penyiksaan dan pembunuhan sia-sia terhadap binatang juga dilarang, termasuk perburuan untuk olahraga dan pengisian waktu luang. Rakyatnya diperlakukan secara sama tanpa membedakan derajat, agama, haluan politik, ras, suku bangsa ataupun kasta.
Semangat missionaris Buddhis yang dimanifestasikan secara nyata oleh Raja Asoka ini masih dapat kita saksikan hingga kini di berbagai tempat di India melalui pilar-pilar yang dikenal dengan nama Pilar Asoka. Pilar-pilar Asoka tersebut terbuat dari batu granit dengan puncaknya berbentuk empat singa yang berdiri membelakangi satu sama lain. Simbol singa inilah yang kemudian dijadikan sebagai lambang negara India modern.
Walau telah berlalu lebih dari 2000 tahun, kebesaran Raja Asoka tetap harum mengiringi semangat toleransi ajaran Buddha yang dilestarikannya pada prasasti yang terukir di tiap pilar Asoka:
Seseorang sebaiknya tidak hanya menghormati agamanya sendiri dan mengutuk agama lain, tetapi seseorang sebaiknya menghormati agama lain dengan alasan tertentu. Dengan berbuat demikian, seseorang membantu agamanya sendiri untuk tumbuh dan menyumbangkan jasa bagi agama lain. Dengan berbuat sebaliknya, seseorang menggali kubur bagi agamanya sendiri dan juga menyakiti agama lain. Barang siapa yang menghormati agamanya sendiri dan mengutuk agama lain, melakukannya melalui pemujaan terhadap agamanya sendiri, berpikir, “Saya akan memuliakan agama saya sendiri.” Namun sebaliknya, dengan berbuat demikian ia justru melukai agamanya sendiri dengan lebih parah; maka kerukunan itu baik adanya. Biarkan semua mendengar dan berniat untuk mendengarkan ajaran yang dianut oleh orang lain.
Artikel ini pernah dimuat dalam majalah Sinar Dharma 13 Waisak 2550BE/2006