Berpikir Cara Buddhis
Abin Nagasena
“Bukan berpegang teguh pada perintah dan larangan, melainkan membentuk kebiasaan berpikir, berucap dan bertindak secara bijaksana dan welas asih, inilah kebahagiaan tertinggi.”
Dalam ajaran agama umumnya dikenal adanya perintah dan larangan. Perintah adalah hal yang wajib dilakukan, sedangkan larangan adalah sesuatu yang harus dihindari. Perintah dan larangan ini bersifat mutlak dan tidak dapat ditawar.
Melaksanakan perintah diyakini akan mendatangkan pahala, sedang pelanggaran atas perintah akan mendapatkan ganjaran. Demikian juga halnya dengan larangan. Mematuhi larangan akan memperoleh imbalan, sedang melanggar larangan akan dicap berdosa dan mendapat hukuman setimpal atau bahkan berkali lipat.
Bagaimana pandangan Buddhisme mengenai perintah dan larangan ini? Tak dipungkiri ada yang beranggapan bahwa juga terdapat perintah dan larangan dalam ajaran Buddha. Secara sepintas memang tampak demikian adanya, namun bila kita cermati makna esensial Buddha Dharma secara mendalam, maka akan kita temukan suatu konteks yang sangat berbeda dibandingkan dengan pemahaman umum.
Dalam konteks umum, sebuah perintah dan larangan yang dilanggar akan mendapatkan ganjaran/hukuman dari si pemberi perintah. Namun dalam ajaran Buddha, perintah dan larangan yang ditetapkan oleh Buddha semata-mata bertujuan untuk melindungi para praktisi agar tidak terjatuh ke dalam belenggu penderitaan. Bila para praktisi melanggarnya, maka keterpurukan hanya dialami oleh praktisi itu sendiri, bukan orang lain, dengan kata lain tidak ada pengertian dosa turunan. Pun hukuman yang terjadi bukan merupakan bentuk rasa ketidaksenangan atau angkara murka dari Buddha. Dengan adanya pemahaman ini, kita tahu bahwa sesungguhnya perintah dan larangan dalam konteks ajaran Buddha tidaklah benar-benar berkorelasi dengan masalah pahala atau hukuman dari si pembuat perintah atau larangan itu, namun tak lebih hanya merupakan hasil dari proses sebab akibat.
Sebenarnya, baik perintah maupun larangan, Buddhisme memandangnya sebagai sebuah bentuk pengungkungan yang menghilangkan kehendak bebas (free will) manusia. Kehendak bebas di sini menunjuk pada kehendak yang sadar dan berdasarkan hati nurani. Jelasnya, perintah maupun larangan merupakan sebuah keharusan yang membatasi seorang penganut ajaran sehingga tidak bisa bertindak sesuai dengan kehendak bebas yang dimilikinya, bahkan ada kalanya keharusan itu bertentangan dengan hati nurani. Ya, memang benar, bukan perintah atau larangan itu yang tidak benar, melainkan umatlah yang kurang tepat dalam meng-interpretasi-kan makna perintah atau larangan dalam agama. Oleh sebab itu, untuk menghindari terjadinya kesalahpengertian yang dapat berakibat fatal ini, Buddha memberikan sebuah pedoman bahwa setiap perbuatan yang kita lakukan tak terlepas dari hukum karma (hukum sebab akibat), bersumbu pada ehipassiko (datang dan buktikan) serta berpegang pada prinsip welas asih. Ini merupakan pedoman bahwa setiap perbuatan yang kita lakukan (baik pikiran, ucapan ataupun tindakan jasmani) adalah ditujukan demi manfaat dan kebahagiaan semua makhluk serta semua perbuatan itu dilakukan berlandaskan kebijaksanaan dan welas asih (dalam bahasa awam adalah akal budi dan nurani), bukan karena berdasarkan perintah ataupun larangan.
Banyak orang yang melakukan perbuatan baik dengan menganggapnya sebagai bagian dari perintah, sehingga tidak lagi memahami perbuatan baik itu sebagai sesuatu yang baik untuk dilakukan, tetapi sering kali berbuat baik hanya karena ingin mengejar pahala atau takut akan dosa. Akibatnya perbuatan baik itu hanya sebatas perbuatan fisik (jasmani) yang tak memberi manfaat berarti bagi perkembangan batiniah menumbuhkan rasa welas asih (empati) bagi makhluk lain. Inilah dampak dari perbuatan yang dilandasi hanya karena adanya perintah dan larangan yang cenderung membawa umat manusia pada upaya pengumpulan poin-poin agar mendapatkan kenikmatan surgawi, bukan karena rasa peduli yang besar pada orang-orang di sekitarnya.
Buddha, guru para dewa dan manusia yang telah mencapai kebijaksanaan dan welas asih tiada banding, mengajarkan pula bahwa setiap perbuatan yang kita lakukan hendaknya diawali dengan Pengertian Benar. Dengan adanya Pengertian Benar ini maka setiap perbuatan yang kita lakukan adalah karena memang baik untuk dilakukan, pun sesuatu yang tidak kita lakukan adalah karena memang tidak baik untuk dilakukan, tidak semata-mata karena demikianlah yang telah disebutkan dalam Kitab Suci, atau karena adanya ancaman hukuman neraka, pun pernyataan iming-iming pahala surgawi. Dengan demikian, tidak heran jika Pengertian Benar berada di urutan paling atas dalam Delapan Jalan Utama yang diajarkan Buddha.
Orang yang melakukan yang seharusnya tak dilakukan dan tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan, maka kekotoran batin akan terus bertambah dalam diri orang yang sombong dan malas seperti itu. (Dhammpada 292)
Mereka yang selalu giat melatih perenungan terhadap badan jasmani, tidak melakukan apa yang seharusnya tak dilakukan, dan selalu melakukan apa yang seharusnya dilakukan, maka kekotoran-kekotoran batin akan lenyap dari diri mereka yang memiliki kesadaran dan pandangan terang seperti itu. (Dhammpada 293)
Dalam ayat Dhammapada 292 dan 293 di atas, terlihat dengan jelas bahwa Buddha menyatakan pentingnya melakukan hal-hal yang patut dilakukan dan menghindari hal-hal yang patut dihindari. Buddha tidak menjadikan hal-hal tersebut sebagai perintah yang harus dilakukan ataupun larangan yang harus dihindari.
Sila Buddhis
Sila Buddhis sering kali dipahami sebagai perintah atau larangan, ini adalah salah kaprah yang fatal. Sila adalah butir-butir kedisiplinan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang merugikan makhluk lain. Karena maknanya yang sangat penting ini maka para siswa yang bertekad melaksanakan Sila harus lebih dahulu melakukan permohonan tuntunan Sila pada anggota Sangha agar dapat sepenuhnya memperoleh pemahaman yang benar mengenai makna Sila itu sendiri. Singkatnya, Sila dilaksanakan tidak sekedar sebagai kegiatan ritual ataupun bagian dari perintah dan larangan, namun sebagai proses pelatihan pemurnian batin.
Hal ini dapat terlihat jelas dalam butir-butir Panca Sila Buddhis yang berbunyi sebagai berikut:
Kelima sila tersebut diawali dengan ucapan “saya berjanji berusaha” yang memiliki dua makna penting. Pertama, adanya “saya” sebagai subyek aktif, bukan obyek pasif yang menerima perintah. Kedua, ucapan “berjanji berusaha” yang merupakan sebuah tekad atau ikrar, bukan pernyataan pasif menerima perintah. Di sini dengan jelas dapat dilihat bahwa subyek “saya” dengan penuh kesadaran dan atas kehendak sendiri menyatakan tekad untuk tidak melakukan hal-hal yang dapat merugikan makhluk lain baik secara langsung maupun tidak langsung. Ini merupakan tekad yang diiringi dengan pengertian dan pemahaman benar bahwa setiap butirnya merupakan perbuatan yang patut dihindari, sekali-kali bukan karena itu merupakan bagian dari larangan atau perintah.
Peraturan Komunitas Sangha
Namun tidak dipungkiri bahwa sebagai sebuah organisasi, komunitas Sangha juga memerlukan adanya peraturan demi menjaga keharmonisan dan kesolidannya. Untuk itu Buddha menetapkan beberapa pedoman dan peraturan yang sekilas tampak tidak berbeda dengan perintah ataupun larangan dalam konteks umum.
Tetapi seperti yang dikemukakan di atas, sanksi atas pelanggaran peraturan Sangha adalah ditujukan demi kebaikan si pelaku pun demi menjaga kedisiplinan Sangha, bukan semata-mata demi pelampiasan rasa angkara murka dari pembuat peraturan itu kepada si pelanggar.
Sebenarnya makna dan tujuan perintah atau larangan yang ditetapkan oleh Buddha sangatlah sederhana, yakni demi terwujudnya kebahagiaan individu dan semua makhluk. Bukan merupakan pernyataan kekuatan adikuasa yang mutlak harus dipatuhi, melainkan suatu kehendak bebas yang bertanggung jawab yang didasarkan pada rasa welas asih dan kebijaksanaan.
Jiwa Bodhisattva
Para pakar dunia pendidikan menggolongkan tingkah laku dalam 4 tahap.
Panca Sila Buddhis merupakan langkah awal dalam tindakan perwujudan terciptanya kebahagiaan bagi semua makhluk. Meski masih berupa langkah awal, namun pelaksana Sila ini sudah tergolong dalam tahap Tingkah Laku Aktif karena perbuatannya dilandasi oleh dorongan mulia dalam dirinya, bukan karena kekuatan luar yang berupa perintah atau larangan.
Kemudian seiring dengan meningkatnya kemurnian batin yang diperoleh dari pelatihan diri ini, pada puncaknya para praktisi Buddhis akan mencapai tahap Tingkah Laku Otomatis. Saat itu bahkan tak diperlukan lagi tekad dari dalam, semua perbuatan bajik dilakukan secara alamiah dan apa adanya. Tak ada lagi keluhan, tak mengenal lelah, tanpa pamrih, semua makhluk adalah dirinya, dirinya adalah semua makhluk, perbedaan itu telah lenyap, inilah yang dinamakan sebagai Jiwa Bodhisattva. Hanya mereka yang telah memiliki Jiwa Bodhisattva sejati baru dapat dengan sempurna mengarungi Jalan Bodhisattva yang mulia. Dengan kata lain, kalau menggunakan bahasa awam, berlatih membentuk kebiasaan untuk melakukan setiap perbuatan demi kebahagiaan semua makhluk dengan tanpa membedakan, keluhan ataupun pamrih, inilah metode pelatihan Jiwa Bodhisattva.
Jadi, kebahagiaan sejati yang tertinggi bukan diperoleh dengan berpegang teguh pada perintah atau larangan, melainkan dengan membentuk kebiasaan berpikir, berucap dan bertindak secara bijaksana dan welas asih, inilah kebahagiaan tertinggi.