//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Riwayat Maha Sesepuh Maitreyawira (Pendiri aliran Buddha Maitreya di Indonesia)  (Read 65275 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Top1

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 429
  • Reputasi: 10
  • Hanya Sebuah Fenomena
Menjawab pertanyaan sdr. Dilbert tentang niat pencetus aliran Buddha Maitreya di Indonesia berikut saya sampaikan riwayat hidup pendiri aliran Buddha Maitreya di Indonesia.

Offline Top1

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 429
  • Reputasi: 10
  • Hanya Sebuah Fenomena
BAGIAN I

Enam puluh sembilan tahun yang lalu, yakni pada tahun 1926, seorang pemuda dengan pembawaan tenang, berwibawa, kalem, tampan, jujur dan skolastik datang ke Indonesia dengan membawa ijasah kesarjanaan dari Fakultas Kedokteran Gigi Tokyo yang terkenal di Jepang. Beliau adalah seorang dokter gigi yang cemerlang dan berpengalaman yang telah membuka praktek di kota Shang Hai dan Tokyo sebelum kedatangannya di Indonesia. Pemuda yang berpostur tubuh sedang (seperti umumnya orang Asia) dengan sinar mata yang lembut itu bernama Tin Sing alias Pik Ling dengan marga Tan. Beliau berasal dari Taiwan, lahir pada tanggal 1 Maret 1896 di Kota Fung Yen (Hong Guan) sebuah kotamadya di Thai Cung (Taiwan Tengah). Leluhur beliau berasal dari Cang Cou, propinsi Fu Cien, Tiongkok.

Seorang Profesional yang sukses di bidangnya

Terdorong oleh jiwanya yang lembut, cinta damai dan rasa seni yang tinggi, pemuda Tan Ting Sing ini lalu memilih kota Malang yang sejuk dan damai sebagai tempat berpijak untuk memulai lembaran hidup dengan karier sebagai seorang dokter gigi. Namun pada masa itu beliau hanya berhasil membuka praktek sebagai tukang gigi. Walaupun beliau lulus sebagai dokter namun dokter lulusan Jepang tidak diakui ijasahnya oleh pemerintah Belanda sehingga beliau dianggap hanya setingkat "Tukang Gigi".

Untuk mendapat ijin praktek sebagai dokter gigi, pemuda Tan Tin Sing ini harus mengikuti ujian yang diadakan oleh pemerintah. Namun beliau tak berkehendak menggunakan peluang itu. Jiwa spiritualnya yang tinggi dan penghayatan hidupnya yang amat intuitif membuat ia tidak berambisi untuk mengejar hidup yang berlebih-lebihan seperti pemuda berpendidikan tinggi umumnya. Sehingga walaupun hanya menjadi tukang gigi, pemuda skolastik ini tetap menunjukkan wajah yang berseri-seri degan senyumannya yang khas! Ada sesuatu yang amat tinggi dan halus yang melandasi jiwanya yang membuat pemuda ini berbeda dengan pemuda-pemuda lainnya. Beliau hidup amat disiplin dan sopan. Tidak pernah menyentuh rokok dan minuman keras, tak ada kehidupan malam dan berfoya-foya bagi hidupnya. Di sela-sela kesibukannya sebagai tukang gigi, beliau selalu meluangkan waktu untuk merenungkan jauh-jauh ke depan seolah ada sesuatu yang bukan milik dunia ini yang sedang ingin ia temukan! Ada sisi-sisi lain dalam hidup manusia yang ingin ia tembus dan pahami. Dorongan inilah yang membuat beliau mempunyai hobi baca yang amat besar.

Beliau suka membaca buku spiritual dari berbagai agama dan filsafat baik dari pemikir Barat maupun Timur. Membaca menjadi sesuatu yang teramat penting yang tak dapat dipisahkan dari hidupnya. Barangkali hobi baca inilah yang membuat alam renungannya begitu luas dan mendalam. Beliau tidak berbicara namun kuat berpikir. Disamping itu pemuda Tan Tin Sing ini amat terkenal dengan kesabarannya. Seakan tak ada api amarah di balik dadanya. Kelapangan dada dan kelapangan jiwa untuk memahami seseorang atau sesuatu yang tidak menyenangkan amatlah menakjubkan! Kehadiran beliau di tengah kota Malang cepat menarik perhatian banyak orang. Kehidupan beliau bagaikan air telaga bening yang mengalir tenang.

Walaupun beliau tidak berambisi besar dan hanya berpraktek sebagai tukang gigi, aneh sekali nama "Poliklinik Dental" dokter gigi yang sabar ini justru amat terkenal dan laris hingga ke mana-mana. Pasiennya banyak dan berasal dari berbagai daerah jauh. Keberhasilan ini membuat kehidupannya menjadi lebih dari cukup pada waktu itu. Dengan kondisi ekonomi yang kuat beliau pun dipandang sebagai salah satu bangsawan pada masa itu. Beliau dapat menikmati kemudahan-kemudahan hidup dari hasil usaha beliau yang gampang sebagai tukang gigi. Beliau mampu memiliki mobil berkelas senilai Rp 4000 (setara dengan BMW model terakhir masa kini). Di samping memiliki hobi dengan seni tinggi merangkai tanaman bonsai, beliau juga memiliki hobi yang mahal yaitu fotografi yang kala itu hanya dapat dinikmati oleh segelintir orang yang berkantong tebal saja.

Sebagai pemuda yang berpendidikan dan berpergaulan luas di kalangan atas, beliau selalu berpenampilan rapi dan tampak anggun dengan baju-bajunya yang berwarna khas putih-putih atau warna merah-gelap coklat tua dengan bahan pilihan yang khas pula, yang amat serasi dengan warna kulit beliau yang bersih dan putih. Ditambah lagi dengan perilaku beliau yang disiplin, sopan dan halus budi bahasa membuat beliau selalu tampak ningrat dengan pribadi yang amat menawan. Demikianlah dokter gigi yang berkharisma namun rendah hati ini pada waktu itu mempunyai citra seorang professional yang sukses di bidangnya. Sekalipun beliau sukses dengan mudah, beliau tidak sombong. Beliau tetap rendah hati, bertenggang rasa dan suka menolong. Kepada pasiennya yang tidak punya, beliau memberikan pelayanan gratis bahkan memberikan bantuan material kepadanya. Tutur katanya begitu lembut dan penuh perhatian, membuat semua orang yang pernah berkomunikasi dengannya merasa dekat dan senang kepadanya. Beliau amat berjiwa sosial suka membagikan sandang dan pangan kepada fakir miskin. Beliau juga terkenal pandai bergaul ke semua lapisan terutama bergaul dengan kalangan bawah yang tidak punya. Beliau kenal baik dengan para penarik becak yang banyak mangkal di depan rumahnya (Jl. Kidul dalam).

Sepuluh tahun kemudian yaitu pada tanggal 5 Oktober 1936, Pemuda Tan Tin Sin menikah dengan Ang Giok Lian, putri dari Lao Yue (semacam pemimpin orang-orang keturunan yang bertugas menarik pajak dari mereka). Pernikahan seperti yang dikisahkan oleh orang-orang Malang, berlangsung sangat meriah, bahkan diramaikan dengan drum band dari kesatuan militer Belanda. Sejak itu dokter gigi yang baik hati ini pun hidup bahagia bersama isterinya Ang Giok Lian.

Cobaan Pertama dalam Keheningan Jiwanya

Namun perkawinan yang berbahagia itu tidak berjalan lama. Pada tahun 1941 terjadilah peristiwa yang mengejutkan dunia. Jepang menyerang Pearl Harbour. Amerika Serikat kemudian menyatakan bergabung dengan pihak sekutu dan ikut terjun dalam kancah perang dunia melawan Jerman dan Jepang. Getaran gelombang kejut itu juga menyapu Indonesia, bahkan mencapai kota sejuk di Jawa Timur, Malang, yang menjadi kacau balau. Semua orang keturunan Jepang dicekal dan diinterogasi, karena Taiwan pada masa itu berada di bawah kekuasaan Jepang serta banyak orang Taiwan yang direkrut menjadi tentara bayaran Jepang. Kebetulan dokter gigi yang sukses ini (Tan Pik Ling) adalah kelahiran Taiwan dan dikenal sebagai seorang yang sangat fasih berbahasa Jepang.

Membaca gelagat tidak baik tersebut beliau pun berusaha keluar dari Indonesia untuk sementara waktu untuk menunggu sampai kekacauan mereda. Namun malang tak dapat ditolak. Tiket kapal yang berangkat ke Taiwan telah habis, dan kapal dengan tujuan yang sama baru akan tiba seminggu kemudian. Terpaksa beliau meninggalkan pelabuhan dengan langkah berat dan kembali ke rumahnya. Keesokan harinya beliau didatangi polisi untuk diinterogasi. Berhubung pemuda Tan Pik Ling ini fasih berbahasa Jepang maka beliau dicurigai sebagai mata-mata Jepang. Sedang isterinya dibawa ke penjara wanita yang juga diinterogasi. Tetapi pihak yang berwajib mengenal Ang Giok Lian sebagai putri dari orang yang berpengaruh di Malang, maka beliau dibebaskan. Tidak demikian halnya dengan suaminya. Tanpa alasan yang jelas beliau dipenjarakan ke Cilacap. Dalam tahanan Belanda, dokter gigi yang halus budi bahasa ini harus menjalani hidup yang keras tanpa sedikit pun kebebasan. Dari kehidupan seorang professional yang sukses dengan keluarga yang bahagai, tiba-tiba harus beralih ke dalam kehidupan terpidana dalam tahanan yang keras.

Sungguh merupakan suatu cobaan hidup yang berat. Beliau dipaksa meninggalkan semua kesuksesan dan kebahagiaan yang beliau miliki tanpa alasan yang jelas. Demikianlah beliau dipisahkan dari isterinya yang terkasih dan hidup sebatang kara dalam kesepian yang menyiksa alam penjara. Sekalipun demikian, beliau tetap tenang seolah tidak terjadi sesuatu apapun. Hidup yang serba kekurangan dan terkekang tidak membuat ia merasakan kehilangan aau termenung dalam kedukaan seperti umumnya orang. Beliau tetap tenang dengan pembawaan yang kalem dan sinar mata yang lembut. Beliau seolah telah banyak mengerti tentang hakekat hidup yang penuh ketidaktentuan ini. Beliau dapat menerimanya dengan hati yang lapang. Di waktu senggang dalam tahanan itu dipergunakan untuk membaca buku-buku religius dan filsafat, serta untuk merenungkan hakekat dan misteri kehidupan manusia. Sungguh beliau memiliki jiwa yang teramat meditatif. Beliau memiliki pandangan dan pola pikir yanga sangat mendalam. Sikap inilah yang membuat beliau dapat hidup dengan jiwa yang bebas seakan tidak ada batasan tembok penjara. Sungguh beliau memiliki pribadi yang luar biasa!

Sumber :
PUSDIKLAT BUDDHIS MAITREYA

Offline Top1

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 429
  • Reputasi: 10
  • Hanya Sebuah Fenomena
BAGIAN II

Selama dalam tahanan di Cilacap beliau hanya sekali berkirim surat pada isterinya yang isinya penuh dengan kata-kata yang menghibur dan minta dikirimkan satu dua pakaiannya. Beliau sama sekali tidak menyinggung tentang penderitaannya, seolah beliau sedang berpiknik ke kota lain saja. Dari Cilacap beliau dibawa lagi bersama-sama dengan tahanan lainnya yang terdiri dari orang Jepang dan Taiwan ke Australia. Di Australia beliau tidak lama ditahan, sebab tiada bukti yang cukup untuk mencap beliau sebagai mata-mata. Malah sebaliknya, dipengaruhi oleh pembawaan diri yang jujur dan berbudi, dokter Tan ini dipercayai oleh sekutu untuk menyumbangkan bakat beliau sebagai dokter gigi di dalam kamp tahanan Austrlia. Dan beliau pun mengabdi dengan penuh semangat dan rasa tanggung jawab. Waktu terasa berjalan dengan amat cepat tidak terasa tiga tahun berlalu.

Awal Sebuah Keinsafan

Sewaktu perang dunia berakhir (1945), Tan Tin Sing pun dipulangkan ke Taiwan dari Australia. Sesampainya di Taiwan, beliau mencari sahabat-sahabatnya, beliau mulai mengenali Jalan Ketuhanan Buddhisme Maitreya. Mendengar uraian singkat sahabatnya tentang Inisiasi Firmani dan pengenalan diri, beliau menjadi sangat tertarik. Segenap jiwa raganya terpanggil! Demikianlah ada suatu dorongan yang amat kuat yang telah lama mengendap di bawah dasar hatinya. Dorongan yang membuat beliau selama ini terus mencari-cari; mencari untuk menemukan sesuatu yang menjadi miliknya yang asaliah! Dan kini ia merasa sesuatu yang teramat ia kenal itu telah sangat dekat dan akan segera ia temukan; itulah Kebenaran Tuhan Yang Agung! Pada hari itu juga dengan sepenuh hati beliau menerima Pendhiksaan Firmani dalam Buddhisme Maitreya. Ritual agung dilaksanakan di sebuah Vihara kecil dari group Pau Kuang di kota Fung Yen. Pandita pemimpin ritual agung itu bernama She Tu Cin, dan sesepuh mereka bernama Yang Yong Ciang. Seperti yang tertulis dalam diary-nya, pemuda Tan ini berkata: "Itulah peristiwa yang paling berbahagia dalam segenap hidup saya (1946). Seluruh hidup saya mengalami kebangkitan dan perubahan total yang tak mungkin diuraikan dengan kata-kata."

Setelah menjalani ritual Dhiksa Firmani, jiwa beliau spontan mengalami kebangkitan keinsafan yang luar biasa! Beliau begitu bahagia. Kebahagiaan yang tak mungkin dapat dilukiskan dengan kata-kata. Kesukacitaan yang tak pernah beliau alami selama ini. Dada beliau sesak dipenuhi oleh getaran panggilan nuraniah. Panggilan untuk mengabdi dan berkorban demi umat manusia serta bervegetarian seumur hidup. Pada saat itu juga, dalam pandangan beliau, hidup bukanlah sekedar mencari kenikmatan jasmani dan indra. Hidup juga bukan hanya untuk membina keluarga dan memberikan keturunan. Hidup adalah untuk mengabdi dan berkorban demi kebahagiaan dan keselamatan umat manusia. Itulah tujuan dan makna hidup seorang manusia. Demikianlah pada hari itu juga beliau berikrar untuk memberikan segenap hidupnya untuk menyampaikan kebenaran Tuhan dalam Buddhisme Maitreya pada umat manusia.

Sejak hari itu, tidak ada lagi urusan duniawi yang menarik minat dan perhatiannya. Satu-satunya hal yang beliau pikirkan adalah bagaimana beliau harus memulai tugas suci panggilan Tuhan kepadanya. Bagaimana ia harus bekerja dan ke mana ia harus memulainya. Panggilan Ketuhanan begitu kuat mendesak dalam dadanya bagaikan kobaran api yang tak mungkin dipadamkan. Saat demi saat dilewati dengan cemas dan tak tenang seperti petugas pemadam kebakaran yang tak sabar melihat musibah kebakaran di depan matanya. Makan minum tak lagi dirasa. Tidur pun tak lagi dinikmati. Anak isteri dan keluarga tak ada lagi dalam hatinya. Yang ada hanyalah tugas Tuhan kepadanya!

Hatinya terus berdoa, pikirannya terus berencana sebab ia sadar betapa berat tugas yang akan dia emban, betapa besar pengorbanan yang harus ia berikan sebab ia menyadari berbagai rintangan, kesakitan dan penderitaan telah menunggunya di depan mata. Namun, apapun yang akan terjadi, penderitaan apapun yang akan menimpanya ia telah siap untuk menerimanya! Sungguh mulia panggilan jiwanya. Sungguh agung tugasnya. Sungguh luhur budinya. Sungguh besar pengorbanannya. Siapakah dia ini? Yang telah melupakan kebahagiaan dunia dan kenikmatan diri pribadi? Siapakah dia yang telah siap untuk menderita begitu besar? Dialah Yang Mulia Maha Sesepuh Maitreyawira! Perintis Buddhisme Maitreya Indonesia. Orang yang paling berjasa bagi Wadah Ketuhanan Indonesia. Orang yang paling dihormati oleh seluruh umat Ketuhanan Buddhisme Maitreya Indonesia. Budi jasa besarnya tak mungkin terlupakan. Pribadinya yang agung, selamanya terpatri dalam hati seluruh umatnya. Terpujilah segenap budi, kasih, pengabdian dan pengorbanannya.

Datanglah Panggilan Agung itu

Walaupun Tan Pik Ling (selanjutnya disebut M.S. Maitreyawira) memiliki cita-cita dan panggilan Ketuhanan yang begitu kuat mendesak namun beliau tidak berani bertindak sendiri-sendiri sebelum mendapat titah dari panditanya (demikianlah tradisi dalam Buddhisme Maitreya). Dalam waktu penantian itulah beliau membina diri dengan nyata. Membina jiwa, pikiran, ucapan dan perbuatan. Beliau menyadari dengan jelas yang namanya keinsafan bukanlah sekedar kata-kata di mulut atau pikiran di hati melainkan harus diwujudkan dalam perbuatan nyata. Beliau lalu memutuskan untuk hidup membiara di vihara dimana ia telah didhiksa dalam kebenaran Tuhan.

Dalam kehidupan membiara itu beliau dengan rendah hati, penuh rasa ikhlas, mengerjakan semua tugas vihara. Mengepel lantai, membersihkan meja, kursi dan jendela, membersihkan kamar mandi dan toilet, memasak di dapur, mencuci piring dan mangkuk, membelah kayu bakar, membersihkan pekarangan dan halaman vihara. Di samping itu beliau juga melatih diri untuk menguasai semua kode etik ritual dan Kebuddhaan dalam vihara. Membaca amanat dan kitab suci Ketuhanan. Belajar melayani umat dan memberikan khotbah-khotbah singkat. Semua tugas dan pekerjaan yang walaupun tampak kecil dan sepele, dikerjakan beliau dengan tulus, sepenuh hati dan rasa hormat yang tinggi.

Sungguh luar biasa! Walaupun beliau seorang sarjana namun beliau dapat merendahkan diri beliau untuk mengerjakan tugas-tugas yang dianggap rendah dan kasar oleh pandangan umum, terutama oleh mereka yang berpredikat sarjana. Beliau banyak ditertawai bahkan diejek oleh teman-teman sekuliahnya dulu. Ada pula yang menganggap beliau telah putus asa karena gagal dalam hidup hingga bertekad meninggalkan kehidupan duniawi, ada pula yang menganggap beliau gila dan sebagainya. Begitu banyak komentar yang menusuk perasaan yang hinggap di telinganya. Namun Maha Sesepuh menanggapi itu seolah tiupan angin lalu. Hati beliau tidak berpengaruh sedikit pun. Beliau tetap konsentrasi penuh dalam kesibukannya dari pagi hingga malam. Setiap hari beliau bekerja tanpa memperhatikan keadaan penampilannya. Wajah dan pakaiannya tampak kotor sehingga banyak kerabat yang tidak mengenalinya. Sungguh beliau telah berubah total.

Malam sebelum tidur beliau pasti meluangkan waktu untuk bersujud di depan altar, kemudian membaca kitab-kitab suci hingga larut malam. Keesokan harinya belaiu bangun tepat pukul 03.30 untuk mengerjakan tugas rutinnya. Demikianlah M.S. Maitreyawira telah menjadi suri tauladan yang agung bagi kita semua. Sebuah pengabdian yang tampaknya sederhana dan kecil, namun luar biasa bagi jiwa yang sadar! Sikap rendah hati yang agung inilah yang telah menjadi pola hidup beragama yang dianut oleh beribu-ribu umat Maitreya Indonesia hingga sekarang. Orang suci dahulu bersabda, "Manusia awam selalu mengejar sesuatu yang luar biasa, namun manusia luar biasa justru mencari hal-hal yang biasa. Dalam hal-hal yang wajar dan biasa itulah para Nabi dan Buddha sepanjang masa menemukan kesukacitaan yang tak ada habisnya." Bagi para Nabi dan Buddha, hal yang wajar dan biasa itulah mukjizat yang abadi. Demikianlah M.S. Maitreyawira selalu mengajarkan agar membina diri harus dimulai dari hal-hal yang kecil, wajar dan sederhana, jangan mencari yang aneh dan tak wajar, sebab semua itu tidak sejalan dengan kebenaran Tuhan.

Hari demi hari, bulan demi bulan dilewati dengan penuh kesibukan tanpa terasa 2 tahun pun telah berlalu. Gemblengan dan pengertian selama 2 tahun telah membuat Maha Sesepuh mengalami kemajuan spiritual yang luar biasa. Pada musim gugur 1949, Maha Sesepuh Agung Phan Hua Ling beserta maha sesepuh lainnya berhasil melindungi Ibunda Suci sampai Hongkong setelah berjuang dengan susah payah meninggalkan Tiongkok yang pada waktu itu mulai dikuasai komunis. Maha Sesepuh Agung Phan Hua Ling, selaku pemimpin tertinggi group Pau kuang, datang ke Taiwan untuk meninjau perkembangan Buddhisme Maitreya di sana. Ketika beliau berkunjung ke kota Fung Yen, beliau bertemu dengan Maha Sesepuh Maitreyawira. Melihat pengabdian dan pengorbanan Maha Sesepuh yang begitu besar dengan pembinaan diri yang begitu disiplin, Maha Sesepuh Agung Phan sangat tersentuh. Sejak itu beliau mengajak M.S. Maitreyawira berjalan-jalan pagi, beranjak dari situlah beliau mengetahui bahwa Sesepuh pernah tinggal di Indonesia (di Malang). Sekembalinya Maha Sesepuh Agung Phan ke Hongkong beliau segera melaporkan perihal ini kepada Maha Guru Agung Ibunda Suci. Ibunda Suci pun segera mengangkat M.S. Maitreyawira menjadi pandita dan memberikan mandat suci pada beliau untuk merintis pengembangan Jalan Ketuhanan Buddhisme Maitreya di bumi nusantara. Demikianlah setelah menunggu selama 2 tahun akhirnya tibalah panggilan agung yang dinanti-nantikan!

Offline Top1

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 429
  • Reputasi: 10
  • Hanya Sebuah Fenomena
BAGIAN III

Pada akhir tahun 1949 beliau berangkat ke Hongkong untuk mengurus ijin kembali ke Indonesia. Karena pengurusan ijin yang agak berbelit-belit beliau terpaksa menunggu hingga 3 bulan. Sambil menunggu, selama 3 bulan itu pula beliau menerima gemblengan yang ketat dari Maha Sesepuh Chen Hwi Ru di Hongkong hingga beliau betul-betul menguasai segala kode etika dan kewajiban seorang pandita, kode etika ritual bakti puja dan peraturan-peraturan suci Kebuddhaan. Selama 3 bulan kehidupan di Hongkong tidak gampang dilewati, sandang, pangan sangat terbatas, uang simpanan pun sangat sedikit. Simpanan yang sangat sedikit itulah yang dipergunakan untuk membeli sebuah pratima Buddha Maitreya dan seperangkat pelita suci. Tak lama kemudian keluarlah ijin untuk berangkat ke Indonesia (1949). Beliau segera berkemas seadanya dan tak lupa membawa serta pratima Buddha Maitreya yang senantiasa dipegangnya erat-erat penuh rasa syukur, haru dan kasih. Tugas agung telah menantinya di depan mata,. Ketika kapal berlayar angin sepoi-sepoi meniup, gelombang dan ombak terus silih berganti mendorong-dorong lambung kapal seolah-olah alam ingin berkata pergilah, pergilah, tugas mulia sedang menunggumu di seberang sana.

Setelah kapal berlayar, penumpang-penumpang mulai mempermasalahkan tempat tidur mereka. Rupanya setiap dek untuk tidur harus telah dipesan jauh hari sebelumnya sedangkan Sesepuh tidak pernah tahu tentang itu. Sehingga beliau diusir ke sana ke mari. Di sini dibentak di sana mau dipukul, beliau terus berpindah-pindah sambil membawa bungkusan bajunya serta memeluk erat-erat pratima Buddha Maitreya. Dengan sabar dan ikhlas beliau menerima bentakan, hinaan dan cemoohan dari sesama penumpang. Maju ke depan dimaki, mundur ke belakang juga disalahkan, sampai ada penumpang yang sudah mulai kasar dan menari-narik baju beliau, ada pula yang mulai mendorong, begitu mendorong, Maha Sesepuh pun jatuh terduduk ke satu sisi, di sisi seorang pemuda yang kekar dan berwajah bersih dengan pembawaan yang polos. Pemuda kekar ini spontan merasa iba dan berkata, "Tenang jangan takut duduk saja di samping saya,.." Rupanya pemuda itu sedang menunggu sahabatnya untuk memastikan dipan tempat tidurnya. Dan sahabatnya belum muncul sampai sekarang, dan kini dengan tenang ia mempersilahkan pula Maha Sesepuh Maitreyawira duduk di sampingnya. Melihat kenyataan ini para calo, biro jasa tiket beserta para penumpang lainnya menjadi berang mereka mau menyingkirkan Maha Sesepuh. Tiba-tiba terdengar suara parau dengan omongan yang kasar, "Siapa berani mengganggu teman saya? Mau cari mati!" Semua orang terdiam, suara itu keluar dari mulut seorang lelaki kekar setengah baya, rupanya dia inilah sahabat pemuda kekar yang mengijinkan Sesepuh duduk di sampingnya itu. Semua orang menjadi takut sebab mereka kenal, orang kekar setengah baya itulah preman Tio Ciu. Tukang pukul yang terkenal itu.

Demikianlah akhirnya Sesepuh terus duduk istirahat di samping pemuda kekar yang baik hati ini, dialah pemuda Gautama Harjono (yang kemudian menjadi suksesi M.S. Maitreyawira sebagai Maha Sesepuh Wadah Ketuhanan Buddhisme Maitreya Indonesia). Inilah yang namanya jodoh. Bila Tuhan menghendaki, maka sejauh apapun jarak yang memisahkan akan tetap dipertemukan! Mereka berdua sama-sama terhambat, yang satu terhambat karena ijin berangkat, sedang yang lain terhambat karena keadaan di Cina yang sedang gawat (sedang perang). Jika tiada hambatan itu maka pasti salah satunya akan berangkat lebih dahulu atau lebih terlambat, dan pertemuan di atas dek kapal yang sesak itu pun takkan pernah terjadi.

Selama pelayaran, kapal yang kecil itu penuh sesak dengan suara gaduh, suara orang bertengkar, orang berbicara keras, tertawa lepas, suara benturan antar bagasi, peti, botol dan sebagainya. Pokoknya suara riuh rendah tak habis-habisnya. Semua orang tampaknya sibuk dan tak tahu apa yang disibukkan. Sekali pun demikian angin laut tetap bertiup dengan lembut diikuti dengan baris-berbarisnya gelombang laut yang membuat kapal bergoyang tenang dalam irama alam yang seolah membisikkan dharma tentang kesabaran dan kedamaian yang terus membelai Maha Sesepuh yang sedang duduk tenang dalam samadhinya yang khusuk yang tidak terganggu sedikit pun oleh suara ribut dari sesamanya. Sekali-kali beliau membuka matanya dengan sinar mata yang lembut memandang jauh, jauh, ke depan seolah menembus batas ruang dan waktu! Beliau sedang memikirkan sesuatu yang begitu tinggi dan halus,. Oh, hanya Lau Mu yang mengetahui, Orang-orang membicarakan badan dan debu dunia, anak, istri, kesenangan dan kenikmatan indrawi, namun Maha Sesepuh sibuk dalm keheningan jiwanya. Jiwanya melebur dalam keheningan alam! Batinnya teduh dalam terang kasih Lau Mu.

Penumpang-penumpang sibuk tidak pernah memperhatikannya, namun pemuda Gautama terus mengamatinya. Timbul rasa kagum dan hormat pada paman yang tidak biasa ini. Mulailah pemuda Gautama memberanikan diri untuk memperkenalkan nama kecilnya sambil bertanya tuan siapa? Darimana dan mau kemana serta membawa tugas besar apa? Dalam kesempatan itulah Maha Sesepuh menjelaskan apa yang telah menjadi misi hidupnya. Dan memperkenalkan pada pemuda Gautama serta memberikan satu buku untuk dibaca. Sambil membaca dan sambil mendengarkan uraian Sesepuh, pemuda Gautama menjadi amat terkesan dan memutuskan untuk memohon Jalan Ketuhanan Buddhisme Maitreya.

Di dalam kapal ada peraturan 6 orang yang tidur berdekatan hanya mendapatkan 6 mangkuk dan 1 piring. Besoknya beliau hendak mencuci piring (yang dipakai bersama itu) namun pemuda Gautama segera mengambil alih sambil berkata, "Usiamu lebih lanjut biarkan saya saja yang mencuci." Waktu makan semua orang berebutan takut kehabisan lauk dan nasi, namun Sesepuh tenang-tenang saja, beliau sejak awal terus bersikap mengalah. Melihat gelagat demikian pemuda Gautama sekali lagi siap mengambilkan nasi untuknya. Pada waktu makan, Sesepuh terus memberikan sayur padanya. Di sanalah ikatan batin mereka menjadi semakin kuat. Setiap ada waktu senggang M.S. Maitreyawira pasti memberikan uraian Dharma Hati kepada pemuda Gautama Hardjono yang mendengarkannya dengan sepenuh hati. Hati pemuda Gautama ini pun menjadi semakin terbuka.

Perjalanan dari Hongkong ke Surabaya membutuhkan waktu 8 hari perjalanan. Hari-hari yang indah itu mereka lewati dengan studi spiritual yang mendalam. Tanpa mereka sadari, telah terjalin sebuah ikatan batin yang kuat seperti seorang tua dengan anaknya. Sesampainya di pelabuhan Surabaya, Yang Mulia memberikan alamat beliau di Malang kepada pemuda Gautama. Dan sewaktu hendak berpisah, terasa amat berat di hati masing-masing. Sehingga pada malam harinya setelah perpisahan itu, "Saya meneteskan air mata seolah kehilangan orang tua tercinta "(Demikian aku M.S. Gautama Hardjono pada MM = Majalah Maitreyawira).

Offline Top1

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 429
  • Reputasi: 10
  • Hanya Sebuah Fenomena
BAGIAN IV

Awal Perjuangan Ketuhanan

Setibanya di Malang Sesepuh Maitreyawira menemukan semuanya telah berubah. Rumah indah yang beliau tempati bersama thai thai (istrinya) telah berpindah ke tangan orang lain. Sebab ketika terjadinya peristiwa penyerangan Pearl Harbour, rumah Sesepuh beserta semua peralatan dan perabotan semuanya dititipkan pada seorang teman Sesepuh (keturunan Tionghoa) yang membuka toko obat. Hal ini terpaksa ditempuh, jika tidak Belanda akan menyita rumah-rumah orang Jepang dan orang kelahiran Taiwan, namun tidak akan menyita rumah orang keturunan Tionghoa seperti teman beliau yang keturunan Tionghoa. Waktu itu teman Sesepuh memberikan jaminan sebanyak Rp. 3000, untuk penjualan "pura-pura" rumah tersebut dan menurut perjanjian lisan rumah beserta isinya akan dikembalikan bila ditukar dengan uang jaminan yang telah disepakati bersama begitu perang selesai. Namun ternyata, teman Sesepuh itu tidak jujur ketika Jepang masuk, rumah itu dijual sedangkan perabotan dan perlengkapan untuk praktek dokter gigi semuanya diambil angkatan laut Jepang. Kenyataan yang pahit inilah yang Sesepuh temukan setelah bersusah payah kembali ke kota Malang yang ia cintai. Semua harta milik telah diambil orang, tinggal kedua tangan terjuntai kosong. Namun beliau tidak putus asa. Beliau tidak sedih seolah tidak terjadi sesuatu apa! Beliau telah menemukan Hukum Kebenaran Tuhan Tertinggi dalam Buddhisme Maitreya. Dalam pandangan beliau hidup ini tidak lebih hanya bagaikan sebuah sandiwara yang singkat dan penuh ilusi. Hatinya tenang bagaikan air telaga yang tetap mengalir diam.

Karena beliau sudah tidak punya rumah, Sesepuh pun tinggal di rumah mertuanya. Selama ditinggalkan Sesepuh, mertuanya pun menjalani hidup yang penuh derita. Ketika sekutu memborbardir Surabaya (1945) dari darat, laut dan udara, Sang Lo Tia, papa mertua Sesepuh meninggal dunia. Dan sampai tiga minggu jenasahnya disembayamkan di rumah, karena waktu itu tak ada orang yang berani keluar rumah apalagi menguburkan orang. Kemudian terjadi pula pergantian mata uang yang membuat keadaan semakin kacau. Mata uang Belanda diganti mata uang Jepang ketika Jepang masuk. Kemudian mata uang Jepang diganti mata uang RI setelah proklamasi dikumandangkan. Lalu mata uang Belanda ketika Belanda mencoba lagi menjajah, dan akhirnya kembali lagi ke mata uang RI. Saat itu kehidupan mereka amatlah susah dan memprihatinkan. Sandang, pangan dan papan pun menjadi masalah. Istri dan ibu mertuanya tampak amat tertekan dengan keadaan hidup yang serba kekurangan ini. Namun lain halnya dengan Sesepuh. Jiwanya tetap tengan, sinar matanya lembut, nafasnya pelan penuh kesabaran. Bagi beliau inilah timing (saat,*Red) yang tepat untuk memulai tugas suci yang telah dipercayakan oleh Maha Guru Agung Ibunda Suci kepadanya!

Pada suatu malam yang tenang setelah semua anggota keluarga telah menyelesaikan tugas masing-masing, Sesepuh mulai menyampaikan suara hatinya yang terdalam tentang kebenaran Tuhan dalam khotbah yang singkat kepada anggota keluarganya sembari mengajak mereka untuk menempuh hidup dalam Jalan Ketuhanan dan bersayurani. Semua anggota keluarga beliau dengan tulus dan penuh iman menyambut panggilan suci itu dan mereka semua pun menjadi sayurawan sejak malam itu. Mulai saat itulah Sesepuh berjuang sendiri menyiapkan segala sarana dan perangkat kebutuhan bagi sebuah vihara. Meja, kursi dan jok-jok bakti-puja semuanya dibuat oleh Sesepuh sendiri hingga tiba Pengagungan Tuhan di musim semi 1950, dengan persiapan yang amat sederhana diresmikanlah Vihara Buddha Maitreya (Chiau Kuang Fo Thang) sebuah nama yang diberi oleh Patriat Agung Cin Kung melalui amanat sucinya kepada Sesepuh sewaktu beliau berada di Hongkong. Itulah saat berdirinya vihara pertama yang menjadi vihara induk untuk seluruh Vihara Maitreya di Indonesia. Sebuah momentum yang teramat penting untuk dikenang selama-lamanya oleh segenap umat Maitreya Indonesia.

Setelah berdirinya Vihara Buddha Maitreya yang walaupun amatlah sederhana dengan ukuran 3x4 meter, Sesepuh mulai sibuk memberikan waktu, semangat, pikiran dan semuanya yang ada pada bahtera suci (vihara) yang masih bayi dan lemah itu. Sekalipun vihara itu kecil namun memiliki prinsip yang kuat yaitu tidak menerima sumbangan dana dari luar! Untuk itulah kembali Sesepuh berjuang untuk mencari nafkah sebagai tukang gigi dengan peralatan yang amat minim. Sedang thai thai membuat kue tau sa untuk dijual ke pasar guna mendapat kelangsungan berkibarnya bahtera Tuhan yang masih kecil itu. Sekali pun Sesepuh dan thai thai hidup bersama namun mereka berdua telah bertekad menjalani hidup suci (brahmacaria). Sungguh agung dan luhur tekad mereka.

Hari-hari pertama Sesepuh memperkenalkan kebenaran Tuhan kepada sahabat atau tetangganya, namun yang ia dapatkan hanya cemoohan, kata-kata sindiran, bahkan makian kasar dan tuduhan bukan-bukan, komentar yang amat menusuk perasaan. Berhari-hari beliau coba namun tetap gagal. Tidak ada yang mau mempercayainya. Meskipun demikian, beliau tetap sabar dan menunggu kedatangan umat manusia yang berjodoh dengan kebenaran Tuhan. Setiap hari, kapan dan di mana pun juga, beliau tidak akan sia-siakan waktu terutama pada saat-saat praktek pengobatan gigi, di sela-sela kesibukan beliau pasti akan menyelipkan sedikit penjelasan tentang keagungan Kuasa Firman Tuhan dan betapa itu adalah Jalan Keselamatan yang abadi dan sebagainya. Akhirnya berhasil juga beliau memperkenalkan Jalan Ketuhanan kepada seorang pemuda bernama Lim Cui Cin. Pemuda inilah orang pertama yang menjadi umat Maitreya Indonesia (beliau masih hidup hingga kini dan telah berumur lebih dari 90 tahun). Sungguh berat dan tidak gampang perjuangan Maha Sesepuh Maitreyawira pada waktu itu. Untuk membimbing seorang umat saja beliau harus berkorban waktu berbulan-bulan untuk meyakinkannya. Oh Sesepuh yang mulia, sungguh besar pengorbananmu, sungguh besar budi jasamu. Dimuliakanlah semua penderitaanmu.

Bila ada yang mau memohon Ketuhanan, maka beliaulah yang paling sibuk. Beliaulah yang memasak air dan menyiapkan buah-buahan. Beliaulah yang menjadi sang-li dan shia li, beliau pula yang melaksanakan ritual persembahan sajian, ching than (pemanjatan doa kepada Tuhan dan para Buddha), menulis naskah suci Firmani, mendhiksa, menguraikan Tri Mustika lalu menyiapkan makan siang untuk melayani umat baru tersebut. Belum lagi tugas pembersihan vihara yang rutin, mencuci kain jok sembahyang, kain kursi dan meja altar, kain jendela dan banyak lagi.

Semua itu beliau kerjakan sendiri tanpa dibantu oleh siapa pun. Ditengah sela-sela kesibukannya sebagai dokter gigi beliau pandai membagi waktu hingga tidak ada waktu yang terbuang sia-sia tanpa mengerjakan tugas Tuhan. Semua jerih payah dan keletihan beliau tanggung sendiri. Menahan cemoohan dan kekecewaan sudah menjadi makanan sehari-hari. Ketika beliau kecewa dan putus asa tiada seorang pun yang membesarkan hatinya. Semua kepahitan beliau telan sendiri. Air mata beliau hanya menitik ke dalam rongga dadanya sendiri. Demikianlah beliau berjuang dalam kesendiriannya". Dan Tuhan melihat itu semua

Tuhan Maha Pengasih. Kasih Tuhan tidak pernah berubah hingga kapan pun. Demikianlah perjuangan Sesepuh Maitreyawira pun sedikit demi sedikit menampakkan hasil. Orang-orang yang memohon Ketuhanan pun bertambah. Hingga suatu hari beliau berhasil memperkenalkan Jalan Ketuhanan pada seorang saudagar muda yang bernama Jeo Chai Kui yang berasal dari Pasuruan. Saudagar Jeo ini luar biasa sekali panggilan Kebuddhaannya. Setelah memohon Jalan Ketuhanan beliau segera bertekad untuk mengabdikan hidupnya pada Jalan Ketuhanan. Atas bimbingan Sesepuh yang intensif pada bulan 12 tanggal 15 Imlek 1950 saudagar Jeo ini membuka cetya di keluarganya yang akhirnya berkembang menjadi Vihara Yen Ming dan beberapa vihara lainnya. Saudagar Jeo inilah yang kemudian dikenal sebagai Sesepuh Sasanavira.

Setahun berselang kembali Sesepuh berhasil memperkenalkan Jalan Ketuhanan pada seorang pedagang muda yang amat energik. Pemuda Oei ini sangat kritis dan skolastik. Beliau juga memiliki kebulatan tekad untuk mengabdikan hidupnya bagi Wadah Ketuhanan. Berkat bimbingan Sesepuh Maitreyawira, pemuda Oei yang berasal dari Semarang ini akhirnya pada bulan 9 tanggal 15 Imlek 1951 mendirikan Vihara Kuang Ming (Mahabodhi Maitreya) dan beberapa vihara lainnya di Semarang dan Jawa Tengah. Pemuda Oei inilah yang kemudian menjadi dharma duta yang handal dan dikenal sebagai Sesepuh Dharmavira. Kemudian datanglah seorang pedagang muda yang kekar dari Jakarta untuk menjumpai M.S. Maitreyawira. Pedagang muda ini kelihatannya sudah seperti sangat akrab dengan Sesepuh. Begitu bertemu mereka pun segera bersalaman dan sambil berpelukan hangat. Hubungan mereka tampaknya amat istemewa seperti orang tua dan anak yang sudah lama berpisah. Rupanya dialah pemuda yang telah berbaik hati menyediakan tempat tidurnya pada Sesepuh sewaktu mereka berlayar bersama dari Hongkong menuju Surabaya. Pemuda itulah Gautama Hardjono. Kini ia datang untuk memohon Jalan Ketuhanan. Setelah memohon Jalan Ketuhanan pemuda Gautama ini langsung bervegetarian dan berjanji membangun vihara di Jakarta.

Offline Top1

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 429
  • Reputasi: 10
  • Hanya Sebuah Fenomena
    BAGIAN V

    Pada tahun 1952 Imlek bulan 5 tanggal 15 saudara Jeo Chai Kui dan Oei Yaw Kee diangkat menjadi pandita. Kemudian pada tahun 1953, seorang pedagang yang bernama He Kuang Chang memohon Ketuhanan di Vihara Yen Ming di Pasuruan lalu pedagang He ini pun membangun Vihara Fa Kuang dan vihara lainnya di Surabaya. Sejak itulah M.S. Maitreyawira menjadi semakin sibuk. Beliau harus berkeliling memberikan bimbingan dharma ke Surabaya, Pasuruan, Semarang dan kota-kota lainnya. Kemudian atas welas asih Ibunda Suci, M.S. Maitreyawira dibantu oleh Sesepuh Shiau Kuang yang berhasil memperkenalkan jalan Ketuhanan kepada pemuda Wang Sing Yen. Seorang pemuda yang luar biasa berkharisma, tegar, tahan derita, berani berkorban dan berloyalitas tinggi. Di bawah bimbingan M.S. Maitreyawira, pemuda Wang ini lalu berjuang membangun Vihara Yung Kuang (Dana Maitreya) dan vihara-vihara lainnya. Pemuda Wang inilah yang kemudian dikenal sebagai Sesepuh Cahaya Maitreya. Pada tahun 1954 berkat bimbingan M.S. Maitreyawira, Sesepuh Yeo dari Pasuruan mendirikan Vihara Sun Ming di Palmerah, Jakarta Selatan. Di vihara inilah M.S. Maitreyawira berhasil membina banyak kader-kader handal antara lain yaitu saudara Jeo Cui Guan. Seorang umat yang luar biasa dengan pribadi yang tegar, jujur, rendah hati dan penuh kasih serta berkorban. Beliau inilah yang kemudian merintis pengembangan vihara di daerah Sumatra Utara dan Riau dengan vihara induknya di Medan yang bernama Vihara Che Kuang (Ksanti Maitreya).

    Pedagang Jeo Cui Guan inilah yang kemudian dihormati sebagai Sesepuh Prajnamitra. Dari Vihara Sun Ming ini juga berhasil dicetak kader-kader handal lainnya seperti Pandita Lin Cung Lan yang mendirikan vihara-vihara di Pontianak; Kalimantan Barat; Pandita Li Cin Hong (Nasrung Lupolo) beserta istri yang kemudian mendirikan Vihara Cen Kuang, Tambora ; Jakarta dan vihara-vihara lainnya; dan Pandita Chai Yin Ing yang kemudian membangun Vihara Ming Kuang, Teluk Gong; Jakarta dan vihara-vihara lainnya. Hingga tahap ini M.S. Maitryawira dengan dibantu oleh Sesepuh Yang, Huang, Fuh, Wang, Pandita Cin dan para kader Ketuhanan lainnya telah berhasil mengembangkan Wadah ketuhanan sampai ke banyak wilayah di seluruh Indonesia. Pada akhirnya tahun 1954 M.S. Maitreyawira beserta Sesepuh Yang, Hwang dan Pandita He Kuang Chang pergi ke Hongkong untuk menjumpai Ibunda Suci. Pada kesempatan itu juga mereka berkenalan dengan Pimpinan Ketuhanan Cang U Fu, Maha Sesepuh Li Min Te dari group Ci Chu, Maha Sesepuh Shi Phi Chen dari group Cing Kuang, Maha Sesepuh Wang Yu Te dari group Phu Kuang, Maha Sesepuh Shi Ce Cou dari group Pau Kuang, dan mendapat banyak wejangan yang penuh cinta kasih dari Ibunda Suci.

    Sejak merintis Wadah Ketuhanan di Indonesia, M.S. Maitreyawira berjuang keras ke seluruh penjuru demi menyelamatkan umat manusia hingga terlampau letih dan jatuh sakit. Pada tahun 1971-1972 beliau menderita penyakit lambung yang parah sampai muntah darah dan terbaring di tempat tidur selama setengah tahun. Berkat Rahmat Tuhan beliau dapat melewati masa-masa yang kritis. Keadaan ini diketahui oleh Ibunda Suci dan beliau merasa prihatin. Karena kasih sayang yang besar kepada siswanya maka Ibunda Suci menancapkan seikat dupa dan bersujud memohon kasih Tuhan dan perlindungan Tuhan agar kesehatan siswanya segera pulih. Ibunda Suci juga mengutus tiga maha sesepuh senior yaitu Maha Sesepuh Shi Ce Cou, Chen Hwi Ru dan Liang Chen Kau untuk dapat membantu M.S. Maitreyawira membentuk Dewan Sesepuh. Dewan ini diketuai oleh M.S. Maitreyawira, wakilnya adalah Sesepuh Yang, sedangkan anggotanya terdiri dari Sesepuh Hwang, Wang, Fuh dan Pandita Cin. Tujuan dibentuknya Dewan Sesepuh ini adalah untuk membantu pengembangan Wadah Ketuhanan di Indonesia. Pada waktu itu M.S. Maitreyawira baru sembuh dari sakit, tiga maha sesepuh senior yang diutus Ibunda Suci yaitu Maha Sesepuh Shi, Chen, dan Liang sempat berunding dengan M.S. Maitreyawira mengenai penerus beliau di kemudian hari. Mereka sepakat bahwa Sesepuh Fuh Ik Chun (M.S. Gautama Hardjono) lah yang menjadi sesepuh penerus. Dan pada tahun 1972 hal ini disampaikan kepada Ibunda Suci.

    Pada tahun 1973 Yang Arya Maha Sesepuh Wang Hao Te (Sesepuh Ong) yang menjadi wakil Ibunda Suci bersama tiga maha sesepuh lainnya yaitu Maha Sesepuh Shi Ce Cou, Chen Hwi Ru, dan Lian Chen Kao, datang atas titah Ibunda Suci untuk mengadakan bimbingan dharma, membantu Wadah Ketuhanan di Indonesia. Setelah kembali ke Taiwan Maha Sesepuh Wang Hao Te melaporkan keadaan Wadah Ketuhanan di Indonesia kepada Ibunda Suci seraya bertanya apakah tahun depan masih harus berkunjung ke Indonesia lagi. Ibunda Suci menanggapi dengan penuh cinta kasih, "Tahun depan masih harus pergi ke Indonesia, sampai kapan pun kamu harus tetap pergi ke Indonesia untuk membantu pengembangan Ketuhanan di sana." Inilah titah langsung dari Ibunda Suci dan Maha Sesepuh Maitreyawira menyampaikan bahwa usia beliau telah lanjut, sulit untuk melaksanakan tugas berat, mohon Ibunda Suci memberi petunjuk. Ibunda Suci berpesan kepada M.S. Maitreyawira agar jangan khawatir dan secara langsung mengatakan, "Saya akan mengutus Saudara Wang (Maha Sesepuh Wang Hao Te) untuk pergi ke Indonesia membantu kamu."

    Pada tahun 1976 Yang Arya Maha Sesepuh Wang Hao Te dan Maha Sesepuh Chen Hwi Ru datang ke Indonesia untuk meninjau keadaan Wadah Ketuhanan. Mengingat M.S. Maitreyawira telah lanjut usia dan kondisi badan semakin lemah, tak bisa berkeliling mengembangkan Ketuhanan lagi maka Maha Sesepuh Wang dan Chen dua kali berunding dengan Maha Sesepuh Maitreyawira dan berkesimpulan bahwa Sesepuh Fuh Ik Chun masih muda dan berbadan sehat, dapat mengemban tugas berat sehingga diputuskan beliaulah sebagai Ketua Dewan Sesepuh yang bertugas membantu Maha Sesepuh Maitreyawira mengembangkan Wadah Ketuhanan di Indonesia.

    Pada tahun 1982 Imlek bulan 7 tanggal 22, Maha Sesepuh Maitreyawira menulis mandat yang mengangkat Sesepuh Fuh Ik Chun sebagai Pemimpin Wadah Ketuhanan di Indonesia menggantikan beliau. Dalam surat mandatnyam Maha Sesepuh Maitreya menyampaikan empat pesan penting untuk ditaati dan diamalkan oleh seluruh jajaran dalam Wadah ketuhanan di Indonesia. Empat pesan tersebut adalah sebagai berikut:

    [LIST=1]
    • Setiap pembina Ketuhanan harus menjunjung Firman Tuhan dan semua umat yang telah meneguhkan ikrar harus menghormati Guru dan mengutamakan Ketuhanan.
    • Tujuan membina Ketuhanan adalah memulihkan moral kebajikan laksana kehidupan di zaman yang menjunjung etika kesusilaan. Segala-galanya harus berpedomanan pada Firman Tuhan maka Wadah Ketuhanan baru bisa tentram.
    • Dalam membina Ketuhanan harus senantiasa berpegang teguh pada Benang Emas - Firman Tuhan. Bila Benang Emas terputus akan terjerumus ke dalam kungkungan iblis.
    • Dalam membina Ketuhanan harus memahami hukum kebenaran, memahami ikatan luhur antara guru dengan murid. Jika selalu bersaing untuk mencari kekuasaan dan keuntungan, membelakangi Ketuhanan, tidak setia dan tidak berprikebenaran, maka sia-sialah dalam membina dan hanya menambah dosa saja.
    Pada tahun 1983 yaitu tepatnya pada Hari Keagungan Tuhan Yang Maha Esa musim dingin pukul 8 malam lebih, Yang Mulia Maha Sesepuh Maitreyawira menghembuskan nafasnya yang terakhir dengan damai dalam usia genap 90 tahun. Selama 30 tahun beliau telah berjuang dengan segala jerih-payah, mengorbankan jiwa raga, harta kekayaan, kesenangan pribadi, waktu dan kesehatannya! Beliau telah memberikan segala-galanya demi Wadah Ketuhanan Buddhisme Maitreya Indonesia. Sedih, letih dan sakit beliau tanggung sendiri. Tak pernah ada sepatah kata keluhan pun yang keluar dari mulutnya.

    Dari kota ke kota, pulau ke pulau, sampai desa ke desa. Dari Jawa Timur ke Jawa Tengah, ke Jawa Barat, Lampung, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Riau, Bali, Lombok, Balikpapan, Samarinda dan sebagainya telah dipenuhi oleh jejak dan keringatnya. Dari usia muda dengan tubuh yang sehat kekar hingga tua sakit-sakitan beliau terus menapakkan derap kakinya untuk menunaikan tugas Tuhan Yang Agung padanya. Berkat keringat, air mata dan darahnya yang mulia, maka menyebar dan berkembanglah Wadah Ketuhanan Buddhisme Maitreya di Indonesia. Budi jasa dan kasihnya menerangi relung hati semua umat Maitreya Indonesia. Sunngguh besar budi jasanya, sungguh mulia pribadinya. Kini beliau telah tiada. Beliau telah berhasil menunaikan tugas suci yang telah diamanatkan kepadanya. Beliau telah mencapai kesempurnaan agung abadi di sisi Tuhan, dan meninggalkan goresan pena sejarah sebuah perjuangan yang agung untuk kita kenang selamanya". Pada tahun 1990 Yang Mulia almarhum Maha Sesepuh Maitreyawira telah datang untuk memberikan amanat suci kepada kita semua. Beliau telah mencapai kesempurnaan Bodhisatva dan Tuhan telah menganugrahkan kesempurnaan kedudukan spiritualnya dengan gelar Hong Cang (Mahanta Kitti).

    Selesai

    Offline bluppy

    • KalyanaMitta
    • *****
    • Posts: 1.163
    • Reputasi: 65
    • Gender: Female
    riwayat hidup pendiri aliran Buddha Maitreya di Indonesia.

    selain riwayat pendiri aliran Maitreya di Indonesia,
    bro top1 ada info pendiri aliran Maitreya yang paling awal ?
    kalo ada sekalian dipost juga, thanks

    Sewaktu perang dunia berakhir (1945), Tan Tin Sing pun dipulangkan ke Taiwan dari Australia. Sesampainya di Taiwan, beliau mencari sahabat-sahabatnya, beliau mulai mengenali Jalan Ketuhanan Buddhisme Maitreya.

    btw, kalo di Taiwan, aliran Maitreya
    tidak menggunakan nama Buddhisme lagi, CMIIW

    karena di Taiwan tidak ada batasan 6 agama seperti di Indonesia
    jadi di Taiwan, Maitreya sudah membentuk aliran sendiri
    dan tidak masuk ke Buddhisme mainstream
    dan tidak mengaku sebagai Buddhisme juga. CMIIW
    « Last Edit: 21 January 2013, 01:41:55 PM by bluppy »

    Offline Top1

    • Sahabat
    • ***
    • Posts: 429
    • Reputasi: 10
    • Hanya Sebuah Fenomena
    selain riwayat pendiri aliran Maitreya di Indonesia,
    bro top1 ada info pendiri aliran Maitreya yang paling awal ?
    kalo ada sekalian dipost juga, thanks

    btw, kalo di Taiwan, aliran Maitreya
    tidak menggunakan nama Buddhisme lagi, CMIIW

    karena di Taiwan tidak ada batasan 6 agama seperti di Indonesia
    jadi di Taiwan, Maitreya sudah membentuk aliran sendiri
    dan tidak masuk ke Buddhisme mainstream
    dan tidak mengaku sebagai Buddhisme juga. CMIIW

    Hi Sis bluppy,

    Thread ini saya buat bukan ingin menyatakan bahwa aliran Maitreya adalah masuk ke Buddhisme mainstream, hanya ingin menjawab pertanyaan sdr. Dilbert tentang niat pendiri/pencetus aliran Maitreya.

    Pendiri / pencetus aliran Maitreya adalah Patriat ke-18 Se Cun/ Se Mu (Dwi Maha Guru), merekalah pelopor yang menyebar-luaskan ajaran ini untuk umum.

    Aliran Maitreya di Taiwan diakui sebagai agama resmi dengan nama Mi Le Da Dao, pusatnya di Erl Mei.
    Adapun Mi Le Da Dao bukan tidak mengaku sebagai Buddhisme tapi banyak penganut Buddha tidak terima jika Mi Le Da Dao mengaku sebagai Buddhisme. Demikian

    Offline bluppy

    • KalyanaMitta
    • *****
    • Posts: 1.163
    • Reputasi: 65
    • Gender: Female
    Pendiri / pencetus aliran Maitreya adalah Patriat ke-18 Se Cun/ Se Mu (Dwi Maha Guru), merekalah pelopor yang menyebar-luaskan ajaran ini untuk umum.
    boleh minta infonya juga
    untuk menambah pengetahuan juga, thanks

    Aliran Maitreya di Taiwan diakui sebagai agama resmi dengan nama Mi Le Da Dao, pusatnya di Erl Mei.
    Adapun Mi Le Da Dao bukan tidak mengaku sebagai Buddhisme tapi banyak penganut Buddha tidak terima jika Mi Le Da Dao mengaku sebagai Buddhisme. Demikian
    ooh i see, thanks infonya

    kalau nama resminya Mi Le Da Dao,
    apakah I Guan Dao termasuk dalam Mi Le Da Dao,
    atau terpisah menjadi aliran lain ?

    dan oot dikit, tapi penasaran aja,
    dalam aliran maitreya, yg paling "tinggi"/dijunjung itu
    Boddhisatva/Buddha Maitreya, Lao Mu, atau yg lainnya?

    dan denger2 dari umat maitreya,
    di aliran maitreya dilarang bermeditasi ?
    atau itu info yg salah ?
    tolong CMIIW, pengen tau info yg lebih akurat sih

    « Last Edit: 21 January 2013, 02:05:34 PM by bluppy »

    Offline Top1

    • Sahabat
    • ***
    • Posts: 429
    • Reputasi: 10
    • Hanya Sebuah Fenomena
    boleh minta infonya juga
    untuk menambah pengetahuan juga, thanks
    ooh i see, thanks infonya

    kalau nama resminya Mi Le Da Dao,
    apakah I Guan Dao termasuk dalam Mi Le Da Dao,
    atau terpisah menjadi aliran lain ?

    dan oot dikit, tapi penasaran aja,
    dalam aliran maitreya, yg paling "tinggi"/dijunjung itu
    Boddhisatva/Buddha Maitreya, Lao Mu, atau yg lainnya?

    I Guan Dao tidak termasuk dalam Mi Le Da Dao. I Guan Dao juga salah satu agama resmi besar yang diakui di taiwan.
    I Guan Dao lebih besar dari Mi Le Da Dao di Taiwan. Cuma Aliran Buddhisme Maitreya di Indonesia saat ini adalah bersumber dari Mi Le Da Dao.
    Dalam Aliran Maitreya, semuanya dihormati saat melaksanakan bakti puja. Ciri khas aliran Maitreya (Mi Le Da Dao) di altar utama untuk Bakti Puja Umat Maitreya saat ini cuma ada pratima Buddha Maitreya dengan simbol Lao Mu di pelita-nya. (Pengagungan Buddha Maitreya)

    Adapun dalam I Guan Dao, selain pratima Buddha Maitreya masih ada pratima (rupang) Kuan Yin, Chi Kung, Kwan Kong dan Li Cu Se (Mohon dikoreksi rekan-rekan I Guan Dao jika ada yang salah).

    Menjawab pertanyaan tambahan sis Bluppy, umat2 Maitreya tidak dilarang bermeditasi, cuma di Vihara Maitreya tidak diajarkan bermeditasi, tapi di vihara luar ada bule2 yang datang bermeditasi di altar Maitreya dan itu tidak dilarang, cuma tidak ada yang berkompeten mengajar Meditasi ala Buddhisme di Vihara Maitreya, kecuali "Meditasi" ala Bakti Puja. Namun Bakti Puja (Khou Sou) tidak dinamakan meditasi, walaupun tujuan-nya mirip2, yaitu bagaimana saat melakukan gerakan Khou Sou, gerakan tubuh dan pikiran tetap terkontrol, dan berkonsentrasi di satu titik.

    Umumnya umat2 pemula sangat sulit berkonsentasi saat melakukan bakti puja karena banyak alasan, capek, pikiran bercabang dan sebagainya
    « Last Edit: 21 January 2013, 02:17:31 PM by Top1 »

    Offline Top1

    • Sahabat
    • ***
    • Posts: 429
    • Reputasi: 10
    • Hanya Sebuah Fenomena
    Sewaktu masih kuliah di jakarta saya ikut kegiatan Keluarga Mahasiswa Buddhist dan banyak didatangkan Bhikku2 dari tradisi aliran Theravada. Cuma saya tidak merasa cocok dengan ajaran2 dari tradisi Theravada, dan di perpustakaan2 vihara saya kemudian tertarik membaca aliran Mahayana yaitu Sutra Intan, saya juga senang dengan Sutra Altar, Dan ada salah satu buku kisah karma yang saya baca adalah Osel (bocah Spanyol yang reinkarnasi dari Lama Tibet). Di rumah almarhum nenek saya ada altar Buddha dan saya kemudian senang membaca paritta (Liam Keng) khususnya Ko Ong Kwan Se Im Keng. Menurut almarhum nenek dia pernah dikunjungi oleh Sesepuh Maitreyawira, kata nenek orang ini penuh dengan kebajikan baik dalam bertutur kata yang lembut maupun penampilan-nya yang sederhana.

    Setelah membaca banyak kitab2 saya ada dorongan mencari vihara2 dekat rumah di jakarta dan akhirnya saya lebih tertarik dengan Aliran Maitreya, tapi bukan berarti saya menganggap aliran lain tidak baik. Saat ini saya tinggal di Jeddah dan tidak ada vihara di sini.
    « Last Edit: 21 January 2013, 02:27:02 PM by Top1 »

    Offline adi lim

    • Sebelumnya: adiharto
    • KalyanaMitta
    • *****
    • Posts: 4.993
    • Reputasi: 108
    • Gender: Male
    • Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta
    Buddha Maiterya aja belum muncul, sudah ada ajaran nya ???
    bisa2 aja para pengarang  :(
    Seringlah PancaKhanda direnungkan sebagai Ini Bukan MILIKKU, Ini Bukan AKU, Ini Bukan DIRIKU, bermanfaat mengurangi keSERAKAHan, mengurangi keSOMBONGan, Semoga dapat menjauhi Pandangan SALAH.

    Offline bluppy

    • KalyanaMitta
    • *****
    • Posts: 1.163
    • Reputasi: 65
    • Gender: Female
    Saat ini saya tinggal di Jeddah dan tidak ada vihara di sini.

    biarpun tidak ada wihara,
    tapi ada vipassana di United Arab Emirat
    http://courses.dhamma.org/en/schedules/noncenter/ae
    dan ada meditation center di Iran, banyak muslim yg ikut
    juga ada vipassana di Israel, Iran, Mesir, dll

    keren kan kalo meditator Israel en meditator Iran ketemu
    en ngobrol santai tanpa harus pusingin perbedaan politik dan agama

    anyway, sila samadhi panna
    aliran maitreya setidaknya udah mementingkan sila, good for them
    kalau ingin lanjut ke samadhi panna
    bisa coba ikut vipassana  ;D

    Offline sanjiva

    • KalyanaMitta
    • *****
    • Posts: 4.091
    • Reputasi: 101
    • Gender: Male
    Summon El Sol please, biar diskusi di thread ini menarik  ;D :whistle:
    «   Ignorance is bliss, but the truth will set you free   »

    Offline williamhalim

    • Sebelumnya: willibordus
    • KalyanaMitta
    • *****
    • Posts: 2.869
    • Reputasi: 134
    • Gender: Male
    Buddha Maiterya aja belum muncul, sudah ada ajaran nya ???
    bisa2 aja para pengarang  :(

    Gw sepertinya juga ga mo kalah dan lagi mikir2 untuk mendirikan aliran yg lebih baru lagi...

    Jadi, ada yg bisa infokan ga, setelah Buddha Maitreya rumornya Buddha apa lagi?

    ::

    Walaupun seseorang dapat menaklukkan beribu-ribu musuh dalam beribu kali pertempuran, namun sesungguhnya penakluk terbesar adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri (Dhammapada 103)