Ada sebuah artikle yang sangat bagus tentang Dīgha Nikāya oleh Prof. Oliver Abeynayaka. Artikle itu dimuat dalam Journal Kalyani, terbitan Universitas Kelaniya. Sejauh ini, ini adalah artikle terbaik tentang DN yang pernah saya baca. Dalam analyisnya, beliau melihat bahwa setiap vagga mempunyai keunikan tersendiri, yang dapat dipergunakan sebagai cara untuk melihat tingkat kemahiran Sang Buddha dalam membabarkan Dhamma dan juga keahlian murid-Nya dalam menyusun sutta-sutta dalam DN. Menurut beliau, vagga pertama (sutta 1-13) mengandung unsur yang paling klasik. Vagga ini didahului oleh Brahmajālasutta, yang isinya adalah untuk mengkritik ajaran-ajaran yang ada saat itu. Kritik tanpa sebuah solusi adalah menghancurkan. Karena itu, dalam sutta kedua, Samaññaphalasutta, di bagian awalnya tetap dipergunakan untuk mengkritik ajaran-ajaran agama lain yang ada saat itu. Di sesi selanjutnya, kita bisa melihat bagaimana konstruksi masyarakat Buddhist yang dibangun oleh Sang Buddha. Dalam hal ini, Sang Buddha tidak hanya mengkritik ajaran-ajaran yang ada tetapi Beliau juga memberikan solusi yang nyata dengan cara membangun masyarakat Buddhist. Hampir seluruh vagga ini, mengandung nilai filsafat yang lebih tinggi, bahasanya klasik. Selain itu, sangat sedikit unsur populernya atau boleh dikatakan sebagai unsur mitologi. Konsep Tuhan dikritik sepenuhnya, kepercayaan populer masih sulit ditemukan dalam vagga ini. Akan tetapi dalam vagga kedua, telah terjadi evolusi. Bahasanya boleh dibilang moderat, dalam arti tidak lagi seklasik vagga pertama. Unsur-unsur populer atau mitologi sudah dimasukkan. Lihat saja, Janavasabhasutta, Mahasamayasutta dan yang lainnya. Dalam Vagga ketiga, gaya bahasanya sudah lebih modern bila dibandingkan dengan vagga-vagga sebelumnya. Unsur-unsur populer pun dapat dilihat lebih jelas.
Apakah semua itu sekedar mitologi atau dengeng belaka? Kalau kita mau jeli, sebenarnya vagga pertama dipergunakan sebagai cara untuk mempresentasikan usaha Sang Buddha dalam mendirikan ajaran baru sebagai wujud ketidakpuasan-Nya terhadap agama yang ada. Karena itu, pada awalnya dia harus berdebat dengan tokoh-tokoh agama terkemuka saat itu. Singkatnya, beliau harus berhadapan dengan orang-orang elit. Karena itu, filsafat tingkat tinggi harus dipergunakan. Setelah Sang Buddha sukses menundukkan orang-orang elit, banyak juga orang-orang dari kelas menengah menjadi murid Sang Buddha. Orang-orang dari kelas menengah tidak mampu mencerna ajaran yang tinggi sehingga ajaran semi populer harus diberikan. Pada tahap ketiga, masyarakat dari grass-root level menjadi murid Sang Buddha. Mereka ini tidak mungkin dijejali dengan filsafat. Karena itu, ajaran populer perlu diberikan. Dalam hal ini, dongen diperlukan agar orang-orang yang tidak memiliki pendidikan tinggi dibutuhkan sehingga mereka mampu menyerap ajaran Sang Buddha.
Dari sisi Buddhologi, kita juga bisa melihat bahwa dalam vagga pertama, Sang Buddha digambarkan sebagai natural human being. Tidak ada penjelasan bahwa beliau memiliki 32 tanda mahapurisa. Kalau pun ada itu hanya dalam Ambattasutta. Dalam vagga selanjutnya, Sang Buddha mulai digambarkan memiliki 32 tanda mahapurisa dan detail tentang mahapurisa ditemukan dalam vagga ketiga.
Kesimpulannya, Sang Buddha adalah orang yang pandai dalam mengajar. Saat berhadapan dengan orang yang pandai beliau akan berbicara secara filosofis, namun saat berhadapan dengan orang-orang yang berpendidikan rendah, perlu juga menggunakan hal-hal yang populer di masyarakat agar ajaran-Nya lebih mudah dipahami oleh pendengar-Nya.
1. Apakah cerita tentang kemunculan manusia dalam Agaññasutta hanya sebuah dongeng? Secara pribadi saya melihat sutta ini dipergunakan sebagai penjabaran lebih luas dan merupakan kelanjutan dari Brahmajalasutta. Dalam Brahmajalasutta dijelaskan bahwa telah terjadi kesalahan persepsi tentang adanya Maha Brahma sebagai Sang Pencipta. Agaññasutta memberikan penjelasan lebih luas tentang evolusi manusia di bumi ini. Apakah ini sekedar dongeng? Saya melihatnya bukan sebagai dongen melainkan sebagai sebuah teori tentang evolusi kehidupan manusia di bumi ini yang dikemukakan oleh Sang Buddha. Ini tidak ada bedanya dengan theori yang diungkapkan oleh para ilmuwan modern. Ambil contohnya big bang. Apakah itu adalah sebuah dongen? Tidak, tetapi merupakan theori.
2. Apakah penurunan dan kenaikan usia dalam Cakkavattisihanadasutta juga sekedar dongeng? Cakkavattisihanadasutta adalah sebuah sutta yang dipergunakan untuk menggambarkan kondisi politik dengan nilai-nilai moral. Kalau dalam Aggaññasutta, kita bisa melihat bagaimana hubungan moral dengan ekonomi, dalam sutta ini kita bisa melihat implementasi ethik dalam dunia politik dalam Cakkavattisihanadasutta. Apabila nilai-nilai moral diimplementasikan dalam politik, hal itu akan mempengaruhi kesejahteraan masyarakat. Saat masyarakat hidup dengan kesejahteraan yang tinggi, usia panjang dapat diharapkan. Alam akan lebih bersahabat. Tetapi, saat manusia tidak lagi beretika, dunia ini akan cepat hancur, manusia berusia pendek dan alam pun sulit diajak bersahabat. Lihat saja sekarang ini, karena umumnya manusia digerogoti oleh nafsu keserakahan, alam pun sulit diajak berkompromi, pemanasan global terjadi. Usia manusia semakin pendek. Dan, masih banyak lagi yang bisa kita lihat sekarang ini.
Semoga jawaban ini membantu meringankan keragu-raguan Seniya.