//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Kriteria Guru yang Baik dan Buruk (Master Shengyen)  (Read 96046 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline sobat-dharma

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.286
  • Reputasi: 45
  • Gender: Male
  • sharing, caring, offering
Re: Kriteria Guru yang Baik dan Buruk (Master Shengyen)
« Reply #60 on: 17 November 2011, 10:19:28 AM »

- Untuk point 1, saya bingung dengan pernyataan yang berstandart ganda dari Saudara Sobat, itu seperti pertanyaan dari petapa aliran sesat yang bisa di baca dalam Tipitaka keluaran DC, atau dalam beberapa sutta ( dimana petapa tersebut menjawab pertanyaan umatnya dengan kata , " Antara Ya atau Tidak " )

Saya sudah menjelaskan soal ini saat Bro Indra bertanya, silahkan baca kembali perumpamaan tentang anak panah beracun dan pengelana. Tidak ada soal “antara ya dan tidak”.


Saudara Sobat sendiri tidak tahu mengenai kondisi batinnya, apakah dia meyakini Tiratana dan berlindung dalam Tisarana, bahkan dia menyatakan tidak peduli tentang hal tersebut,
Berlindung pada Triratna bukan soal peraya atau tidak percaya… Kalau kamu meafsirkannya demikian kamu tidak ubahnya dengan umat agama K yang meyakini Trinitas. Berlindung pada Triratna tidak sama dengan cara Umat K meyakini Trinitas. Berlindung pada Triratna adalah penyerahan total pada hakikat Kebuddhaan dan praktik Buddhadharma, bukan pemujaan pada satu sosok figur. 


lha...sedangkan Buddha menekankan dalam Dhammanussati untuk MENYELIDIKI...So...????
Bddhanusat adalah praktik Buddhadharma juga, so?

Orang yang bahkan tidak tahu mengenai dirinya sendiri, bagaimana sih caranya dia melakukan praktik BuddhaDhamma ?
Ini kesimpulan dari mana? Coba kasih alur logika yang lebih sistematis.


Ibarat seseorang memakan sepiring masakan dari Chief Handal, orang tersebut memakan masakan tersebut karena percaya dari historynya Chief Handal tersebut ( biografi ) dan setelah percaya dengan "kemampuan" Chief tersebut baru memesan makanan, dan setelah dimakan(diselidiki/ehipasiko) ternyata terbukti "enak" maka dari kepercayaan tersebutlah timbul "keyakinan"..

Tampak peduli latar belakang Chef tersebut kita bisa memutuskan makanan itu enak atau tidak. Cicipi langsung saja makanannya. Dengan mencicipi langsung makanannya, kita bisa menilai rasa makanan itu secara obyektif. Justru sernkali orang yang tahu tentang latar belakang chef yang memasak makanaan tersebut akan menjadi bias penilaiannya, karena dipengaruhi oleh pengetahuan akan lata belakang chef-nya.


Nah, kalau saudara sobat sendiri gimana ya ?karena dalam point 2 s/d 6, seakan-akan yang saya lihat Saudara Sobat membombandir soal praktik BuddhaDhamma, lha, dari point 1 Saudara bilang "tidak peduli", point selanjutnya Saudara malah membombandir praktik Buddha seakan-akan praktik tersebut adalah pasti benar, nah darimana saudara memiliki "keyakinan" tersebut ?

saya hanya bertanya pada Bro Ai Lim, apakah ia akan tetap mempraktikkan Buddhadharma (sebagaimana yang ia yakini), seadainya suatu saat ia menemuka bukti2 tersebut. Ini sama sekali tidak terkait dengan praktikku pribadi.


Jangan-jangan itu hanya seperti yang Saudara katakan, "pengindolaan", kalau bro Adi disebut "pengindolaan terhadap sosok figur Buddha", kalau anda bisa tidak disebut sebagai "pengindolaan terhadap ajaran Buddha" ?

Saya tidak mengidolakan ajaran siapapun. Saya melihat sendiri apa yang dikatakan oleh Sang Buddha dalam kehidupan sehari-hari saya sendir. Ajaran Buddha menunjukkan sesuatu, dan saya melihat kemudian menemukannya sendiri. Maka saya mempraktikkannya karena merasakan faedahnya. Tidak ada pemujaan apapn di sini.
« Last Edit: 17 November 2011, 10:21:09 AM by sobat-dharma »
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Offline Riky_dave

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.229
  • Reputasi: -14
  • Gender: Male
Re: Kriteria Guru yang Baik dan Buruk (Master Shengyen)
« Reply #61 on: 17 November 2011, 11:48:27 AM »
1. Untuk mengingatkan diri bahwa setiap makhuk sudah memiliki potensi hakikat Kebuddhaan di dalam dirinya sejak semula.
2. Mendorong diri terus agar tidak lupa mempraktikkan Buddhadharma.

Point 1, darimana Saudara Sobat tahu bahwa setiap makhluk sudah memiliki potensi hakikat kebuddhaan dalam dirinya sejak semula ?, apakah dari asumsi semata berdasarkan historical yang dibaca dalam kitab suci agama Buddha, atau karena alasan tertentu, yang bisa Saudara buktikan ?Atau karena itu anjuran dari "orang tertentu" untuk melafalkan Tisarana agar memperoleh ini dan itu ?

untuk point 2, mengapa dengan melafalkan tisarana/tiratana bisa membuat Saudara Sobat tidak menjadi lupa mempraktikan BuddhaDhamma ?Apa sih yang terkandung didalam Tiratana/Tisarana, sampai bisakan menjadi ingatan untuk Saudara Sobat agar menjadi tidak lupa mempraktikan BuddhaDhamma ?

Tiratana ( Tiga Mustika ) >> Buddha, Dhamma, Sangha sering dipakai dalam penerenungan Buddhanusatti, Dhammanussati, Sanghanusati..

Tisarana ( Tiga perlindungan ) >> Berlindung kepada 3 objek Mustika ( Buddha, Dhamma, dan Sangha )

nah, dengan melafalkan hal tersebut, bagaimana bisa "menyakinkan" anda untuk mempraktikan BuddhaDhamma ?Apa alasan dibalik hal tersebut ? Bisa dijelaskan ?Anumodana


Quote
Bisa jadi praktiknya lebih baik. Kalau pun seandainya yang fanatik itu rajin berpraktik, tapi fanatisme itu akan menghalangi dirinya untuk maju lebih jauh dalam praktik. Jika ia melepaskan fanatisme itu, maka praktiknya akan mengalami lebih banyak lagi kemajuan. 

Saudara Sobat, yang saya tulis itu "    Nah, apakah keyakinan bisa diukur ?Bisa saja seseorang "terlihat" fanatik dalam hal tertentu, tapi bisa saja "prateknya" lebih nyata daripada orang yang omdo ( omong doang  ) " >> yang saya tulis adalah bisa saja seseorang terlihat fanatik , bukan berati dia benar-benar fanatik, karena menurut saya keyakinan terhadap sesuatu untuk setiap makhluk berbeda-beda dan tidak bisa diukur/sulit untuk diukur oleh orang lain kecuali Anda memiliki kemampuan seperti SammaSambuddha atau para Arahat lainnya, atau mungkin Anda sudah/telah menemukan/mengkategorikan seseorang disebut fanatik atau tidak fanatik, dalam hal ini bisakah anda membagikan/mensharingkan kepada rekan-rekan ( dan hal ini saya terumatanya ), ciri-ciri atau kategorikan dikatakan "fanatik" dan "bukan fanatik" ?

Quote
Kalau hanya dari pernyataan luar yang tampak, memang kita tidak bisa membedakan mana yang menyatakannya dengan pemujaan/pengidolaan dan mana yang dilakukan sebagai wujud rasa syukur yang sebesar-besarnya terhadap Sang Buddha. Keduanya, bisa jadi tamak sama dari luar, namun motifnya berbeda. Yang pertama dipenuhi oleh Ego Kepemilikan atas Sang Buddha, yang satunya disertai dengan rasa penuh terimakasih atas jasa-jasa Sang Buddha. Rasa terimakasih yang diucapkan setulus-tulusnya pada orang lain (bukan sekadar formalitas), akan membantu kita dalam mengurangi ego kita yang besar. 

Oleh karena itu, soal pernyataan sdr. Adi Lim, saya hanya ingin tahu, mana yang menjadi landasan motifnya. Maka saya mengajukan beberapa pertanyaan padanya.

Jadi, boleh kah saya mengatakan bahwa Saudara Sobat juga memiliki motif, yakni motif untuk mengetahu apakah Saudara Adi itu mengindolakan Buddha atau memiliki keyakinan terhadap Buddha, setelah Saudara Sobat mengetahuinya, apa manfaat yang diperoleh dari hal tersebut ? Apakah keyakinan Saudara Sobat terhadap Buddha semakin meningkat, atau sebaliknya ?

Saya sering mengibratkan seperti sapi dan kerbau, terlihat sama tetapi berbeda bahkan fungsinya juga berbeda, tapi kebanyakan orang selalu ngotot bahwa sama hanya karena serupa, padahal serupa belum tentu sama..

Saya ingin menanyakan sedikit hal lagi kepada Saudara Sobat, " Apakah Saudara Sobat bisa mengindentifikasikan seseorang sebagai "fanatik"(dalam hal ini hanya bersifat "mengindolakan" ) dengan orang yang tidak fanatik ( dalam hal ini, seperti yang Saudara sebutkan diatas sebagai orang yang "mempunyai rasa syukur" ), jika ya, bagaimana caranya, bisakah disharingkan ?Kemudian setelah melihat motif seseorang, dari beberapa pertanyaan yang Saudara ajukan ke Saudara Adi, apa kesimpulan yang dapat Saudara ambil, dan boleh juga disebutkan kesimpulan itu berdasarkan "bukti" apa, dan apakah "kesimpulan" tersebut bisa dijadikan "tolak ukur" untuk "mengukur" keyakinan Saudara Adi terhadap Buddha? Terima kasih.

Quote
Pengidolaan disertai dengan hasrat akan rasa kepemilikian atas obyek idolanya (Guru-KU, Dharma-KU, Sagha-KU). Rasa bersyukur dan terimakasih yang tulus dan ikhlas, apalagi disertai dengan persembahan, adalah betuk pelepasan.

Ini, akan saya catat dan akan di diskusikan nantinya... :)

Quote
Coba jelaskan lagi maksud bagian ini.

Saudara menulis
  "Ketika seseorang mengatakan bahwa Guru-KU adalah yang THE BEST, maka sebenarnya di dalam dirinya secara diam-diam tersirat bahwa AKU adalah yang THE BEST. Karena yang THE BEST adalah adalah Guru-KU, sedangkan Guru-MU adalah sebaliknya: THE WORST. Karena itu kemudian dalam pikirannya ia berkata "Kalau kamu tidak mau mengikuti Guru-KU dan keyakinan-KU akan Guru-KU, maka kamu sebenarnya adalah bodoh. Betapa beruntungnya diri-KU karena telah mendapatkan Guru-KU yang THE BEST dan betapa sialnya kamu yang tidak mau meng-AKU-i Guru-KU sebagai yang THE BEST." Sebenarnya, seakan-akan ia memuja Guru-nya, namun orang ini sebenarnya hanya sedang memuja Ego-nya: karena yang dipuja adalah "Guru-KU, bukan Guru-MU," "Dharma-KU, bukan Dharma-MU, Sangha-KU, bukan Sangha-MU"

Saya merasa bahwa itu hanya asumsi dari Saudara Sobat dikarenakan "ego" Saudara Sobat merasa telah melakukan sesuatu yang berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Saudara Adi ( dalam hal ini menurut saya ego sering kali suka "merancu" kita, sehingga tanpa sadar kita sering membandingkan pencapaian kita dengan pencapaian orang lain ), saya contohkan Saudara Adi menulis " Buddha is the best " sedangkan Anda menulis " Saya melakukan praktik Dhamma ", secara kasat mata menurut kacamata awam saya, ini seperti sedang membandingkan " Hei, saya praktik Dhamma, kamu cuman OMDO saja, bilang Buddha ini itu padahal praktek NIHIL, SAYA LEBIH HEBAT DARI KAMU " >> nah bisa saja muncul asumsi seperti ini kan ?maka saya balikan pernyataan tersebut kepada Saudara Sobat( untuk direnungkan ), saya juga bisa berasumsi sebaliknya dengan kalimat anda terhadap Saudara Adi, begitu juga sebaliknya, kesan itu juga muncul sebaliknya dari Anda ke Saudara Adi..

Coba diselidiki, karena saya hanya umat awam yang melihat dari kacamata umat awam...Menurut Saudara sendiri bagaimana ?

Quote
Rasa bersyukur yang tinggi atas jasa-jasa Sang Buddha.
Nah, dalam kasus tersebut Saudara bisa mengatakan itu dikarenakan "rasa syukur yang tinggi atas jasa-jasa Sang Buddha", maka bisakah bila saya mengatakan " Buddha is the best ", Saudara juga mengatakan bahwa saya juga turut bersyukur mengingat "jasa-jasa Buddha" dan merenungkan segala kebenaran dan kesempurnaan Sang Tercerahkan/Yang Tersadarkan ?Atau malah Saudara hendak mengatakan saya "mengindolakan" Buddha dengan mengatakna Buddha is the best ?


Quote
1. Apakah Sang Buddha pernah minta diakui sebagai guru? Toh, beliau pernah mengatakan bahwa siapapun boleh datang belajar dengan-Nya, kalau tidak mendapatkan faedah apa2, boleh pergi meninggalkan-Nya. Ini bukan sikap sombong seseorang yang gila hormat.
kalau tidak salah disini ada Dhammapadda, coba di buka dan baca, karena saya membaca dalam Sutta Pitaka, Khuddaka Nikaya, disebutkan seperti itu...Dan seperti permintaan saya sebelumnya coba kita "cabut" dulu semua label "arahat" dan "buddha", kalau saya mencabutnya seperti yang telah saya jelaskan pada quote sebelumnya, saya akan melihatnya dalam 2 point, dan dalam point pertama ini, tampak luar Buddha terlihat seakan hendak mengatakan " SAYA GURUMU, KAMU MURIDKU, SAYA LEBIH TINGGI, KAMU LEBIH RENDAH " >> nah jelas ini asumsi saya, kacamata umat awam, karena saya makhluk biasa yang belum tercerahkan dan tidak memiliki kemampuan apapun..Sama seperti kasus Saudara melihat pernyataan Saudara Adi yang mengatakan "buddha is the best", langsung muncul "ego" anda yang masih awam mengatakan saudara adi mengindolakan Buddha, dst dstnya...

sama juga saya analogikan dengan diri saya yang melihat sepenggal kisah dimana Buddha menalukan Para Petapa seperti 3 Kassapa bersaudara yang memuja api, atau seperti kisah Buddha menunjukan kemampuan saktinya kepada 6 Petapa Aliran sesaat di bawah pohon mangga, dan Buddha menjawab pertanyaan raja bahwa "Peraturan yang dia tetapkan hanya untuk "para siswanya" tidak berlaku untuk diriNya sendiri">> nah seakan-akan pernyataan ini penuh dengan kesombongan bukan ?Tapi apakah yang "tampak luar" itu bisa "dipercaya" ?

Quote
2. Pertapa tersebut pasti memiliki kebijaksanaan (prajna) yang memungkinkan ia mencapai suatu tingkat pencerahan tertentu dari hanya dengan mendengar.  Kemudian, ketika ia mendengar ajaran Sang Buddha, maka ia bisa langsung melihat apa yang dikatakan oleh Sang Buddha adalah benar.  Seperti orang yang matanya bersih ditunjukkan sesuatu yang sebelumnya ia abaikan oleh seseorang yang matanya lebih jernih, lantas berkata, "benar sekali apa yang kamu tunjukkan, sebelumnya saya tidak melihanya." Hal ini dikarenakan praktik-praktik yang dijalani olehnya pada sebelumnya, sehingga ketika pada waktunya telah matang ia bertemu dengan Sang Buddha dan menikmati hasil dari praktiknya. Ini bukan pengakuan buta atas kata-kata Sang Buddha.


Nah, oke kalau anda bilang begitu, lantas bagaimana dengan kisah Angulimala ?dalam kitab yang saya baca, setelah Buddha menjelaskan kepadanya Dhamma, Angulima saat itu belum tercerahkan, tetapi sudah menyatakan Tisarana..Nah, kalau itu bagaimana ? Atau dalam beberapa kasus banyak yang menyatakan Tisarana, tetapi belum tercerahkan, contoh nyatanya Raja yang membunuh ayahnya Raja Bimbisara ( saya sudah lupa rajanya namanya siapa yang berkawan dengan Devadatta ), nah kalau itu menurut ada bagaimana ? Dalam kasus ini mereka "belum mencapai" tingkat pencerahan apapun lho, tapi sudah memiliki "saddha" terhadap Buddha hanya dengan "mendengarkan" Dhamma dari Bhagava, bahkan si Raja pembunuh orang tua tersebut "tidak" bisa mencapai pencerahan, tetapi memiliki tisarana terhadap Buddha..

Tahukah anda seberapa besarkan jasa berlindung dan menyakini Buddha ?Seperti kasus Devadata yang pada akhir hayatnya(sebelum ditelan ke neraka avici ) yang berteriak "Aku berlindung kepada Buddha", dan Buddha sendiri meramalkan setelah menjalani masa-masa penderitaannya dia akan dapat mencapai pencerahan sebagai Pacceka Buddha..Bahkan banyak kisah lagi yang tidak bisa saya jelaskan mengenai manfaat dari keyakinan terhadap Buddha, yang seringkali dianggap sebagai "fanatisme" terhadap Buddha..

Saya tidak mau menyebutnya "fanatisme" bahkan ketika orang disekelilingi saya menyebut "saya fanatisme", saya menyebutkan sebagai "tekad"... :)

Mohon tanggapannya...thanks
Langkah pertama adalah langkah yg terakhir...

Offline Riky_dave

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.229
  • Reputasi: -14
  • Gender: Male
Re: Kriteria Guru yang Baik dan Buruk (Master Shengyen)
« Reply #62 on: 17 November 2011, 12:19:01 PM »
Saya hanya meniru cara-cara Anda :)

Kita hanya berdiskusi, dimana saya melihat dalam beberapa komentar Saudara Sobat sangat mengagumkan tetapi dibeberapa komentar penuh dengan kritik yang merendahkan ( menurut pandangan saya ), oleh sebab itu saya hendak saling berbagi, apakah saja kah praktik BuddhaDhamma yang dijalankan oleh Saudara Sobat, apakah kriteria "keyakinan" menurut Saudara Sobat, apakah kalau benar Buddha itu dongeng, Saudara sobat masih menyakini Buddha ? >> seperti pertanyaan dari Saudara Indra, karena saya juga bingung, bagaimana seseorang menyakini kualiatas dari seseorang yang tidak nyata ?
Langkah pertama adalah langkah yg terakhir...

Offline dilbert

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.935
  • Reputasi: 90
  • Gender: Male
  • "vayadhamma sankhara appamadena sampadetha"
Re: Kriteria Guru yang Baik dan Buruk (Master Shengyen)
« Reply #63 on: 17 November 2011, 12:29:23 PM »
Darimana anda tau?

saya bahkan belum bisa mempercayai kedua orang tua saya sekarang adalah orang tua kandung saya karena memang saya belum pernah TEST DNA untuk membukti-kannya...

Seandai-nya sudah di tEST DNA, saya masih belum bisa percaya kalau hasil test-nya tidak di-manipulasi... wkwkwkwkw...
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

Offline Riky_dave

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.229
  • Reputasi: -14
  • Gender: Male
Re: Kriteria Guru yang Baik dan Buruk (Master Shengyen)
« Reply #64 on: 17 November 2011, 12:51:22 PM »
Saya sudah menjelaskan soal ini saat Bro Indra bertanya, silahkan baca kembali perumpamaan tentang anak panah beracun dan pengelana. Tidak ada soal “antara ya dan tidak”.

Sama seperti bro Indra, saya juga kurang paham mengenai perumpaan tersebut dengan pertanyaan yang diajukan, bisakah Saudara Sobat memberikan analogi/perumpanaan lainnya sebagai bahan diskusi agar menjadi lebih jelas ? Terima Kasih.. :-)

Quote
Berlindung pada Triratna bukan soal peraya atau tidak percaya… Kalau kamu meafsirkannya demikian kamu tidak ubahnya dengan umat agama K yang meyakini Trinitas. Berlindung pada Triratna tidak sama dengan cara Umat K meyakini Trinitas. Berlindung pada Triratna adalah penyerahan total pada hakikat Kebuddhaan dan praktik Buddhadharma, bukan pemujaan pada satu sosok figur. 

Saya enggan membicarakan soal agama lain dalam diskusi ini, karena saat ini yang kita bahas adalah "ajaran Buddha" sendiri bukan ajaran yang lain, terlebih lagi pengikut fanatik juga belum tertentu terlahir di alam menderita seterusnya dan seterusnya, bisa saja dia terlahir di alam yang lebih berbahagia ( karena seperti yang kita ketahui, penentu kelahiran selanjutnya adalah KAMMA, dalam hal ini bisa saja pengikut tersebut "rajin" berbuat baik ).

Menurut saya malah sebaliknya, bahwa berlindung kepada Tiratana berdasarkan "percaya/yakin" atau "tidak percaya/tidak yakin", secara pribadi saja, tentu saya sebagai umat biasa berlindung kepada sesuatu yang benar-benar bisa melindungi saya, tidak mungkin pula saya berlindung kepada sesuatu yang tidak bisa melindungi saya ( dalam hal ini sesuatu yang tidak  nyata, dongeng, dll ) .Saya umpamkan saja, misalkan saya tersesat didalam hutan, kemudian muncul 2 orang, orang pertama merupakan orang asing( yang saya tidak kenal siapa, asal usulnya dst dstnya ), lalu orang kedua merupakan ibu saya ( yang secara jelas saya tahu siapa dia ), tentu saja ketika saya dihadapkan oleh pilihan untuk mengikuti siapa agar dapat keluar dari hutan tersebut, saya memilih berlindung dengan ibu saya ( berdasarkan kepercayaan saya bahwa ibu saya bisa melindungi saya, berdasarkan bahwa saya tahu dia adalah ibu saya!saya tahu siapa dia !yang memberikan saya kasih sayang, cinta kasih ! )..

Sama pula halnya dengan berlindung kepada sesuatu, sangatlah mustahil seseorang berlindung kepada sesuatu yang tidak bisa melindunginya ( kepada sesuatu yang tidak nyata/tidak ada ) karena sesuatu itu tidak ada/nyata, bagaimana dia bisa melindungi ?

Saya sudah ingat siapa Raja yang membunuh ayahnya, yakni Raja Ajasatu, ketika Raja Ajassatu mendengarkan Dhamma dari Buddha, dia merasa bahagia ( walau tidak dapat mencapai tingkat kesucian apapun ), tetapi kala itu muncul didalam hatinya bahwa Buddha bisa melindunginya, maka dia menyatakan perlindungan kepada seseorang yang diyakininya bisa melindunginya..Dalam kasus Ajassatu, bisakah Saudara sobat katakan dia sebagai Raja yang "mengindolakan" Buddha atau malah sebaliknya bahwa Raja Ajassatu memiliki "keyakinan/kepercayaan" terhadap Buddha Dhamma dan Sangha ?

Lantas yang menjadi pertanyaan saya adalah beberapa komentar yang ditulis oleh Saudara Sobat, bahwa Saudara sobat tidak peduli Buddha nyata atau tidak nyata, jika begitu bagaimana Saudara bisa meluangkan waktu melafalkan Tisarana yang notabene tidak saudara peduli itu nyata atau tidak nyata ?Lantas bagaimana Saudara bisa mempraktekkan dan mengatakan praktek yang anda lakukan adalah "penyerahan secara total" terhadap sesuatu yang Saudara tidak peduli ada atau tidak ada ?


Quote
Bddhanusat adalah praktik Buddhadharma juga, so?
Jika Buddhanussati sendiri merupakan praktik BuddhaDhamma, bisakah seseorang yang merenungkan kualiatas Buddha disebut sebagai "fanatisme"(mengindolakan figur Buddha) menurut Saudara ?

Quote
Ini kesimpulan dari mana? Coba kasih alur logika yang lebih sistematis.
Coba baca komentar saya diatas...thanks


Quote
Tampak peduli latar belakang Chef tersebut kita bisa memutuskan makanan itu enak atau tidak. Cicipi langsung saja makanannya. Dengan mencicipi langsung makanannya, kita bisa menilai rasa makanan itu secara obyektif. Justru sernkali orang yang tahu tentang latar belakang chef yang memasak makanaan tersebut akan menjadi bias penilaiannya, karena dipengaruhi oleh pengetahuan akan lata belakang chef-nya.

Menurut saya tulisan anda "terlihat bijak tetapi sesungguhnya sangat tidak bijak", mengapa saya mengatakan demikian ?Mari kita logikan, ketika saya memasuki sebuah restoran atau cafe, saya terlebih dahulu menanyakan ke teman saya, "Pernah makan di cafe A ?bagaimana rasa di cafe A ? " >>> setelah mendapatkan jawaban yang menyenangkan hati saya, maka saya pergi ke cafe A untuk langsung ehipassiko, dari saya baru muncullah kepercayaan ( dari diri saya sendiri sebagai pemakan ), sesungguhnya cafe A lezat atau tidak lezat >> kesimpulan ini tidak bisa dianggap kebenaran mutlak.

Sama halnya ketika Buddha mencapai pencerahannya pertama kali, sesudah bangun dari pencerahannya Buddha menuju untuk bertemu 5 Petapa, kala itu Buddha bertemu seorang petapa yang menyapanya, petapa bertanya, " Siapakah Anda ?Siapakah Guru Anda ? dstnya ( cerita selengkapnya baca sendiri ), kemudian Buddha menjawab, " Saya adalah Buddha ( Yang tercerahkan
), Saya tidak ada guru, dan tidak seorang pun yang bisa menandingi saya dstnya..." >> kala itu si petapa tidak merespon, menurut saya sebabnya dia "tidak percaya kepada Buddha", karena Buddha hanya menyatakan dia tercerahkan ( disana tidak ada penjelasan Dhamma apapun ), sangat wajar bila petapa yang tidak mengenal siapa Buddha, tidak mungkin menyatakan perlindungan terhadap seseorang yang tidak dia kenal, dan hanya mengaku dia sebagai Buddha..

sama halnya ketika kita bertemu seseorang yang mengaku dirinya "Buddha atau Arahat", apakah anda langsung percaya "dia" adalah Arahat atau Buddha ?Menurut saya tentu tidak !kecuali setelah anda mengetahui asal usulnya, mengikutinya selama beberapa tahun, melihat tingkah lakunya, melihat pembabaran Dhammanya !baru anda percaya !

Sama halnya ketika tersiar kabar bahwa telah muncul seorang SamsamBuddha orang TIDAK LANGSUNG PERCAYA atau seperti kata anda langsung mencicipi makanannya, orang melihat dulu, menyelidiki dulu baru memakan ( lihat perenungan Dhammanussati, lihat Kalama Sutta, lihat Udumbara Sutta )


Quote
saya hanya bertanya pada Bro Ai Lim, apakah ia akan tetap mempraktikkan Buddhadharma (sebagaimana yang ia yakini), seadainya suatu saat ia menemuka bukti2 tersebut. Ini sama sekali tidak terkait dengan praktikku pribadi. 

Kalau begitu saya yang akan bertanya kepada Saudara Sobat, apakah Saudara sobat akan terpengaruh jika seandainya sosok Buddha itu hanya dongeng ? Mohon dijawab..thanks


Quote
Saya tidak mengidolakan ajaran siapapun. Saya melihat sendiri apa yang dikatakan oleh Sang Buddha dalam kehidupan sehari-hari saya sendir. Ajaran Buddha menunjukkan sesuatu, dan saya melihat kemudian menekannya sendiri. Maka saya mempraktikkannya karena merasakan faedahnya. Tidak ada pemujaan apapn di sini.

Nah, apakah dengan mengatakan "Buddha is the best" termasuk kategori "pengindolaan" atau "pemujaan" ?kemudian, apakah anda mempercayai/menyakinan ajaran Buddha dan Buddha itu sendiri ?Mhon di jawab...thanks
Langkah pertama adalah langkah yg terakhir...

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Kriteria Guru yang Baik dan Buruk (Master Shengyen)
« Reply #65 on: 17 November 2011, 01:34:50 PM »
berhubung katanya sutta sama dengan sutra saya nyela beberapa sutta ;D

8. NAVA1 SUTTA

Perahu
Bagaimana memilih guru yang baik dan terpelajar
1.   Orang harus menghormat seseorang yang darinya dia belajar Dhamma, bagaikan para dewa menghormat Indra. Orang terpelajar yang dihormati itu, karena senang pada muridnya, akan membuat Dhamma menjadi jelas.   (316)
2.   Setelah memperhatikan dan mempertimbangkannya, orang bijak itu pun mempraktekkan Dhamma, dan dengan demikian menjadi terpelajar, cerdas dan terampil. Dan karena waspada, dia bergaul dengan guru seperti itu.   (317)
3.   Orang yang mengikuti guru yang tolol dan rendah, yang belum menyadari makna Dhamma, dan yang iri hati, akan mendekati kematian tanpa memahami Dhamma dan tidak terbebas dari keraguan.   (318)
4.   Bagaikan orang yang terjatuh ke sungai yang airnya meluap dan mengalir deras akan terseret oleh arus yang cepat itu, bagaimanakah orang seperti ini dapat membantu orang lain menyeberang?   (319)
5.   Terlebih lagi, orang yang belum memahami Dhamma, yang belum memperhatikan maknanya sebagaimana dijelaskan oleh yang berpengetahuan, karena dia sendiri belum memiliki pengetahuan — bagaimanakah dia dapat membuat orang lain paham?   (320)
6.   Bagaikan orang yang menaiki perahu kokoh yang dilengkapi dengan dayung dan kemudi, yang memiliki pengetahuan tentang cara mengemudikannya, yang terampil serta bijaksana, dengan perahu itu dia dapat membawa banyak orang menyeberang sungai.   (321)
7.   Terlebih lagi, orang yang telah memiliki pengetahuan dan mempunyai pikiran yang terlatih baik, yang terpelajar dan tidak goyah. Dengan jelas dia mengetahui bahwa dia dapat membantu orang-orang lain untuk mengerti, yaitu mereka yang penuh perhatian untuk mendengarkan dan telah siap untuk memahami.   (322)
8.   Karena itu, jelas orang harus bergaul dengan orang yang baik, yang bijaksana dan terpelajar. Dia harus mengetahui makna Dhamma dan mempraktekkan sesuai dengannya. Dan karena memperoleh pemahaman Dhamma, dia akan mencapai kebahagiaan.


==================================

DN 12   PTS: D i 224
Lohicca Sutta
Tentang Lohicca
Guru Yang Baik dan Yang Buruk
Diterjemahkan dari bahasa Pāḷi ke bahasa Inggris oleh
Maurice O'Connell Walshe
© 2009-2011
Terjemahan alternatif: Pāḷi
[224] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Suatu ketika, Sang Bhagavā sedang mengunjungi Kosala bersama lima ratus bhikkhu, dan, sampai di Sālavatikā, Beliau menetap di sana. Dan pada saat itu, Brahmana Lohicca sedang menetap di Sālavatikā, tempat yang ramai, banyak rumput, kayu, air, dan jagung, yang dianugerahkan kepadanya oleh Raja Pasenadi dari Kosala sebagai anugerah kerajaan lengkap dengan kekuasaan kerajaan.
2. Saat itu, suatu pemikiran buruk muncul dalam benak Lohicca: ‘Andaikan seorang petapa atau Brahmana menemukan suatu ajaran yang baik,[1] setelah menemukannya, ia tidak harus menyatakannya kepada orang lain; karena apakah yang dapat dilakukan seseorang untuk orang lain? Bagaikan seseorang, setelah memutuskan belenggu lama, membuat belenggu yang baru. Aku menyatakan bahwa hal demikian adalah suatu perbuatan buruk yang berakar pada kemelekatan, karena apakah yang dapat dilakukan seseorang untuk orang lain?’
3. Kemudian Lohicca mendengar bahwa Petapa Gotama telah tiba di Sālavatikā, dan bahwa sehubungan dengan Sang Bhagavā, suatu berita baik telah beredar ... (seperti DN 4, paragraf 2). [225] ‘Dan sesungguhnya adalah baik sekali menemui Arahant demikian.’
4. Dan Lohicca berkata kepada Bhesika si tukang cukur: ‘Teman Bhesika, pergilah temui Petapa Gotama, tanyakan mengenai kesehatan-Nya atas namaku, kemudian katakan: “Sudilah Yang Mulia Gotama memenuhi undangan makan besok, bersama para bhikkhu, dari Brahmana Lohicca!”’
5. ‘Baiklah, Tuan,’ jawab Bhesika, dan menyampaikan pesan itu. Sang Bhagavā menerima undangan itu dengan berdiam diri.
6. Kemudian Bhesika, memahami penerimaan Sang Bhagavā, bangkit dari duduknya dan berjalan dengan sisi kanannya menghadap Sang Bhagavā. Ia kembali ke Lohicca dan memberitahukan kepadanya [226] mengenai penerimaan Sang Bhagavā.
7. Dan Lohicca, saat malam berakhir, mempersiapkan berbagai pilihan makanan keras dan lunak di rumahnya. Kemudian ia mengutus Bhesika untuk memberitahu Sang Bhagavā bahwa makanan sudah siap. Dan Sang Bhagavā, setelah bangun pagi dan membawa jubah dan mangkuk-Nya, pergi bersama para bhikkhu menuju Sālavatikā.
8. Dan Bhesika si tukang cukur mengikuti persis di belakang Sang Bhagavā. Dan ia berkata: ‘Bhagavā, pikiran jahat ini muncul dalam benak Brahmana Lohicca ... sungguh, Bhagavā, ini adalah apa yang pernah dipikirkan oleh Brahmana Lohicca.’ ‘Tidak apa-apa, Bhesika, tidak apa-apa.’
9. Maka Sang Bhagavā datang ke kediaman Lohicca, dan duduk di tempat [227] yang telah disediakan. Lohicca secara pribadi melayani Sang Buddha dan para bhikkhu dengan berbagai makanan keras dan lunak hingga mereka puas dan kenyang. Ketika Sang Bhagavā menarik tangan-Nya dari mangkuk, Lohicca mengambil bangku kecil dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya: ‘Lohicca, benarkah bahwa suatu pikiran jahat muncul dalam benakmu ... (seperti paragraf 2)?’ ‘Benar, Yang Mulia Gotama.’
10. ‘Bagaimana menurutmu, Lohicca? Bukankah engkau menetap di Sālavatikā?’ ‘Ya, Yang Mulia Gotama.’ ‘Sekarang, jika seseorang mengatakan: “Brahmana Lohicca menetap di Sālavatikā, dan ia menikmati seluruh buah dan penghasilan dari Sālavatikā, tidak membaginya kepada siapa pun” – Bukankah orang yang mengatakan hal ini akan menjadi sumber bahaya bagi wargamu?’ ‘Ia dapat menjadi sumber bahaya, Yang Mulia Gotama.’
‘Dan dengan demikian, apakah ia memerhatikan kesejahteraan mereka atau tidak?’ ‘Tidak, Yang Mulia Gotama.’
‘Dan, dengan tidak memerhatikan kesejahteraan mereka, apakah hatinya dipenuhi cinta kasih terhadap mereka, ataukah kebencian?’ ‘Kebencian, Yang Mulia Gotama.’
‘Dan dengan hati penuh kebencian, apakah ada pandangan salah ataukah pandangan benar?’ ‘Pandangan salah, Yang Mulia Gotama.’ [228]
‘Tetapi, Lohicca, Aku menyatakan bahwa pandangan salah akan mengarah menuju salah satu dari dua alam tujuan kelahiran – neraka atau alam binatang.[2]’
11. ‘Bagaimana menurutmu, Lohicca? Bukankah Raja Pasenadi dari Kosala menetap di Kāsi-Kosala?’ ‘Ya, Yang Mulia Gotama.’ ‘Sekarang, jika seseorang mengatakan: “Raja Pasenadi dari Kosala menetap di Kāsi-Kosala, dan ia menikmati seluruh buah dan penghasilan dari Kosala, tidak membaginya kepada siapa pun” – Bukankah orang yang mengatakan hal ini akan menjadi sumber bahaya bagi warganya? ... bukankah hatinya penuh dengan kebencian ... dan bukankah itu adalah pandangan salah?’ ‘Itu adalah pandangan salah, Yang Mulia Gotama.’
12. ‘Maka tentu saja, jika seseorang mengatakan hal yang sama tentang Brahmana Lohicca ... itu adalah pandangan salah.’
13. ‘Demikian pula, Lohicca, jika seseorang mengatakan: “Andaikan seorang petapa atau Brahmana menemukan suatu ajaran yang baik, setelah menemukannya, ia tidak harus menyatakannya kepada orang lain, [229] karena apakah yang dapat dilakukan seseorang untuk orang lain?” ia akan menjadi sumber bahaya bagi para pemuda dari keluarga yang baik yang, mengikuti Dhamma dan disiplin yang diajarkan oleh Tathāgata, mencapai keluhuran seperti buah Memasuki-Arus, Yang-Kembali-Sekali, Yang-Tidak-Kembali, Kearahantaan – dan kepada semua yang mematangkan benih kelahiran kembali di alam dewa.[3] Sebagai sumber bahaya, ia tidak berbelas kasih, dan hatinya dipenuhi kebencian, dan itu merupakan pandangan salah, yang mengarah menuju ... neraka atau alam binatang.’
14. ‘Dan jika seseorang berbicara demikian tentang Raja Pasenadi, ia akan menjadi sumber bahaya bagi warga Raja, dirimu, dan orang-orang lainnya ....’
15. (seperti paragraf 13) [230]
16. ‘Lohicca, tiga jenis guru di dunia ini layak dicela, dan jika siapa pun mencela guru-guru demikian, celaannya adalah pantas, benar, sesuai dengan kenyataan dan tidak salah. Apakah tiga itu? Di sini, Lohicca, seorang guru yang telah meninggalkan keduniawian dan menjalani kehidupan tanpa rumah, tetapi belum mencapai buah pertapaan. Dan tanpa mencapai tujuan ini, ia mengajarkan muridnya suatu ajaran,[4] dengan mengatakan: “ini untuk kebaikanmu, ini untuk kebahagiaanmu.” Namun muridnya tidak ingin memerhatikan, mereka tidak mendengar, mereka tidak membangkitkan pikiran untuk mencapai pencerahan, dan nasihat si guru dicemooh. Ia harus dicela, dengan mengatakan: “Yang Mulia ini telah meninggalkan keduniawian ..., nasihatnya dicemooh. Ini bagaikan seseorang laki-laki yang terus-menerus mendekati seorang perempuan yang menolaknya dan merangkulnya walaupun ia telah berpaling.” Aku menyatakan ini sebagai ajaran jahat yang berdasarkan pada kemelekatan, karena apakah yang dapat dilakukan seseorang untuk orang lain?[5] Ini adalah guru pertama yang layak dicela ....’
17. ‘Kemudian, ada seorang guru yang telah meninggalkan keduniawian ... tetapi belum mencapai buah pertapaan. Dan tanpa mencapai tujuan ini, ia mengajarkan muridnya suatu ajaran, dengan mengatakan: “ini untuk kebaikanmu, ini untuk kebahagiaanmu.” Muridnya ingin memerhatikan, mereka mendengarkan, [231] mereka membangkitkan pikiran untuk mencapai pencerahan, dan nasihat si guru tidak dicemooh. Ia harus dicela, dengan mengatakan: “Yang Mulia ini telah meninggalkan keduniawian ...” Ini bagaikan, meninggalkan ladangnya sendiri, ia memikirkan ladang orang lain yang perlu dikerjakan. Aku menyatakan ini sebagai ajaran jahat yang berdasarkan pada kemelekatan ... ini adalah guru ke dua yang layak dicela ....’
18. ‘Kemudian, ada seorang guru yang telah meninggalkan keduniawian ... dan yang telah mencapai buah pertapaan. Setelah meninggalkan keduniawian, ia mengajarkan ... tetapi murid-muridnya tidak ingin memerhatikannya ... nasihatnya dicemooh. Ia juga harus dicela ... bagaikan, setelah memotong satu belenggu lama, seseorang membuat sebuah belenggu baru, Aku menyatakan ini sebagai ajaran jahat yang berdasarkan pada kemelekatan, karena apakah yang dapat dilakukan seseorang untuk orang lain? Ini adalah guru ke tiga yang layak dicela .... [232] Dan ini adalah tiga jenis guru yang Kukatakan layak dicela.’
19. ‘Kemudian Lohicca berkata: ‘Yang Mulia Gotama, adakah guru di dunia ini yang tidak layak dicela?’
20-55. ‘Di sini, Lohicca, seorang Tathāgata telah muncul di dunia ini, seorang Arahant, Buddha yang telah mencapai Penerangan Sempurna, memiliki kebijaksanaan dan perilaku yang Sempurna, telah sempurna menempuh Sang Jalan, Pengenal seluruh alam, penjinak manusia yang harus dijinakkan yang tiada bandingnya, Guru para dewa dan manusia, Tercerahkan dan Terberkahi. Beliau, setelah mencapainya dengan pengetahuan-Nya sendiri, menyatakan kepada dunia bersama para dewa, māra dan Brahma, para raja dan umat manusia. Beliau membabarkan Dhamma, yang indah di awal, indah di pertengahan, indah di akhir, dalam makna dan kata, dan menunjukkan kehidupan suci yang sempurna dan murni sepenuhnya. Seorang siswa pergi meninggalkan keduniawian dan mempraktikkan moralitas, menjaga pintu-pintu indrianya, mencapai jhāna pertama (DN 2, paragraf 41-76). [233] Dan jika seorang murid dari seorang guru mencapai keluhuran demikian, guru itu adalah yang di dunia ini tidak boleh dicela. Dan jika seseorang mencela guru itu, celaannya tidak pantas, tidak benar, dan tidak sesuai dengan kenyataan, dan salah.’
56-62. ‘Ia mencapai tiga jhāna lainnya (seperti DN 2, paragraf 77-82) dan berbagai pandangan terang (DN 2, paragraf 83-84). Jika seorang murid dari seorang guru mencapai keluhuran demikian, guru itu adalah yang di dunia ini tidak boleh dicela ....’
63-77. ‘Ia menembus Empat Kebenaran Mulia, sang jalan, dan lenyapnya kekotoran ... (seperti DN 2, paragraf 85-97).
Jika seorang murid dari seorang guru mencapai keluhuran demikian, guru itu adalah yang [234] di dunia ini tidak boleh dicela. Dan jika seseorang mencela guru itu, celaannya tidak pantas, tidak benar, dan tidak sesuai dengan kenyataan, dan salah.’
78. Mendengar kata-kata ini, Brahmana Lohicca berkata kepada Sang Bhagavā: ‘Yang Mulia Gotama, ini bagaikan menarik rambut seseorang yang terpeleset dan jatuh ke dalam lubang,[6] dan meletakkannya di atas tanah yang kokoh – demikian pula, aku, yang sedang terjatuh ke dalam lubang, telah diselamatkan oleh Yang Mulia Gotama! ‘Sungguh indah, Yang Mulia Gotama, sungguh menakjubkan! Bagaikan seseorang yang menegakkan apa yang terjatuh, atau menunjukkan jalan bagi ia yang tersesat, atau menyalakan pelita di dalam gelap, sehingga mereka yang memiliki mata dapat melihat apa yang ada di sana. Demikian pula Yang Mulia Gotama telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara.’
‘Aku berlindung kepada Gotama Sang Bhagavā, Dhamma, dan Sangha. Sudilah Yang Mulia Gotama menerimaku sebagai seorang siswa awam yang telah menerima perlindungan sejak hari ini
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Kriteria Guru yang Baik dan Buruk (Master Shengyen)
« Reply #66 on: 17 November 2011, 09:17:57 PM »
Bro Adi Lim berkata:
Quote
Buddha Gotama sampai sekarang masih guru terbaik dan terhebat di alam ini, tiada mahluk lain yang bisa mengalahkannya.

ini dianggap oleh Bro Sobat-dharma sebagai pemujaan pada pribadi yg menjurus pada kefanatikan.

sebaliknya Bro Sobat-dharma berkata:
Quote
Saya tidak pernah tahu apakah saya meragukan atau mempercayai ajaran Sang Buddha Gotama, bahkan saya tidak pernah peduli apakah Buddha Gotama itu, Guru THE BEST atau Guru jelek, tokoh nyata atau sekadar tokoh dongeng: Yang pasti saya mempraktikkan Buddhadharma dalam kehidupan sehari2 saya. Bahkan kalau seandainya ada bukti sangat ilmiah yang menyatakan bahwa Buddha Gotama itu tidak pernah ada atau sebenarnya bukan orang suci, saya tidak akan peduli: Praktik Buddhadharma saya tidak akan terpengaruh.

kalau saya tidak salah memahami, pernyataan Bro Sobat adalah tidak peduli apakah Sang Buddha adalah nyata atau dongeng, keyakinannya tetap tidak tergoyahkan, Bro Sobat tetap akan menjalani praktik buddhadharma dalam kehidupan sehari-hari. CMIIW.

komentar saya:
pemujaan pribadi/fanatisme tidak berhubungan dengan apakah tokoh yg dipuja adalah nyata atau dongeng. sewaktu saya masih kecil, sangat kecil, saya sangat memuja dan mengidolakan SUPERMAN (bukan SUPARMAN), dan BATMAN, dan SPIDERMAN; kakak2 saya berulang2 mengatakan bahwa tokoh2 idola saya itu hanya dongeng, tapi saya tetap ngotot. jadi apakah sosok tokoh adalah nyata atau dongeng, pemujaan/pengidolaan atau fanatisme tetap saja bisa terjadi.

Tapi seandainya pun fanatisme itu memang disebabkan oleh pemujaan pada pribadi, saya jadi melihat bahwa fanatisme itu ternyata bukanlah suatu hal yg buruk.

dalam dua kasus (Adi Lim vs Sobat-dharma) saya melihat bahwa versi Bro Adi masih lebih baik di mata saya, karena setidaknya Bro Adi fanatik dengan berdasarkan pada sosok yg ia yakini nyata. sebaliknya Bro Sobat juga fanatik (dalam makna spt kisah masa kecil saya) tapi berdasarkan pada sosok yg tidak diyakini eksistensinya (merujuk pada "tidak peduli nyata atau dongeng").

_/\_
« Last Edit: 17 November 2011, 09:35:53 PM by Indra »

Offline adi lim

  • Sebelumnya: adiharto
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.993
  • Reputasi: 108
  • Gender: Male
  • Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta
Re: Kriteria Guru yang Baik dan Buruk (Master Shengyen)
« Reply #67 on: 17 November 2011, 09:55:41 PM »
mas sobat, ternyata Buddha Gotama LUAR BIASA. !
Pernyataan diatas, apakah idola, fanatik, atau ideal?

Kembali lagi pertanyaan awal mas sobat belum jawab nih
Apakah mas sobat meragukan para Arahat?


Seringlah PancaKhanda direnungkan sebagai Ini Bukan MILIKKU, Ini Bukan AKU, Ini Bukan DIRIKU, bermanfaat mengurangi keSERAKAHan, mengurangi keSOMBONGan, Semoga dapat menjauhi Pandangan SALAH.

Offline sobat-dharma

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.286
  • Reputasi: 45
  • Gender: Male
  • sharing, caring, offering
Re: Kriteria Guru yang Baik dan Buruk (Master Shengyen)
« Reply #68 on: 17 November 2011, 10:17:32 PM »
Sama seperti bro Indra, saya juga kurang paham mengenai perumpaan tersebut dengan pertanyaan yang diajukan, bisakah Saudara Sobat memberikan analogi/perumpanaan lainnya sebagai bahan diskusi agar menjadi lebih jelas ? Terima Kasih.. :-)

Ketika seseorang menggunakan jarinya menunjuk ke bulan, maka seharusnya yang kita perhatikan adalah bulan, bukan orang atau jarinya. Orang yang menunjuk dan telunjuk yang digunakan untuk menunjuk adalah alat belaka, sedangkan intisarinya adalah bulan tersebut yang ditunjuk.

Buddha dan ajaran-Nya adalah orang dan jari yang menunjuk, sedangkan praktik adalah bulannya.

Semoga paham. Mohon maaf, kalau Anda tidak paham lagi, saya tidak bisa membantuk lagi. Terimakasih. 

Saya enggan membicarakan soal agama lain dalam diskusi ini, karena saat ini yang kita bahas adalah "ajaran Buddha" sendiri bukan ajaran yang lain, terlebih lagi pengikut fanatik juga belum tertentu terlahir di alam menderita seterusnya dan seterusnya, bisa saja dia terlahir di alam yang lebih berbahagia ( karena seperti yang kita ketahui, penentu kelahiran selanjutnya adalah KAMMA, dalam hal ini bisa saja pengikut tersebut "rajin" berbuat baik ).

Tapi cara memuja/mengidolakan Triratna sebagai figur, telah menjadikannya tidak berbeda dengan agama lain itu memperlakukan Tuhannya.   

Menurut saya malah sebaliknya, bahwa berlindung kepada Tiratana berdasarkan "percaya/yakin" atau "tidak percaya/tidak yakin", secara pribadi saja, tentu saya sebagai umat biasa berlindung kepada sesuatu yang benar-benar bisa melindungi saya, tidak mungkin pula saya berlindung kepada sesuatu yang tidak bisa melindungi saya ( dalam hal ini sesuatu yang tidak  nyata, dongeng, dll ) .Saya umpamkan saja, misalkan saya tersesat didalam hutan, kemudian muncul 2 orang, orang pertama merupakan orang asing( yang saya tidak kenal siapa, asal usulnya dst dstnya ), lalu orang kedua merupakan ibu saya ( yang secara jelas saya tahu siapa dia ), tentu saja ketika saya dihadapkan oleh pilihan untuk mengikuti siapa agar dapat keluar dari hutan tersebut, saya memilih berlindung dengan ibu saya ( berdasarkan kepercayaan saya bahwa ibu saya bisa melindungi saya, berdasarkan bahwa saya tahu dia adalah ibu saya!saya tahu siapa dia !yang memberikan saya kasih sayang, cinta kasih ! )..

Sama pula halnya dengan berlindung kepada sesuatu, sangatlah mustahil seseorang berlindung kepada sesuatu yang tidak bisa melindunginya ( kepada sesuatu yang tidak nyata/tidak ada ) karena sesuatu itu tidak ada/nyata, bagaimana dia bisa melindungi ?


Maksudmu Triratna jadi kayak jimat gitu. Boleh juga :) Kalau kamu mau menghayati demikian, ya boleh juga. Kalau dianalogikan dengan perlindungan dari sesuatu, inilah pemahaman saya: dengan menyerahkan diri secara total pada praktik Buddhadharma (mengembangkan sila, samadhi, dan prajna), maka saya melindungi diri dari perilaku buruk yang berasal dari lobha, moha, dan dosa. Saya berlindung bukan pada figur tertentu, tetapi berlindung pada praktik Buddhadharma (sila, samadhi, prajna), di mana saya berserah diri secara total. 

Saya sudah ingat siapa Raja yang membunuh ayahnya, yakni Raja Ajasatu, ketika Raja Ajassatu mendengarkan Dhamma dari Buddha, dia merasa bahagia ( walau tidak dapat mencapai tingkat kesucian apapun ), tetapi kala itu muncul didalam hatinya bahwa Buddha bisa melindunginya, maka dia menyatakan perlindungan kepada seseorang yang diyakininya bisa melindunginya..Dalam kasus Ajassatu, bisakah Saudara sobat katakan dia sebagai Raja yang "mengindolakan" Buddha atau malah sebaliknya bahwa Raja Ajassatu memiliki "keyakinan/kepercayaan" terhadap Buddha Dhamma dan Sangha ?

Saya tidak terlalu ingat cerita itu. Silahkan ceritakan dulu lebih lengkap.

Lantas yang menjadi pertanyaan saya adalah beberapa komentar yang ditulis oleh Saudara Sobat, bahwa Saudara sobat tidak peduli Buddha nyata atau tidak nyata, jika begitu bagaimana Saudara bisa meluangkan waktu melafalkan Tisarana yang notabene tidak saudara peduli itu nyata atau tidak nyata ?Lantas bagaimana Saudara bisa mempraktekkan dan mengatakan praktek yang anda lakukan adalah "penyerahan secara total" terhadap sesuatu yang Saudara tidak peduli ada atau tidak ada ?

Karena saya tidak berserah pada Buddha dalam bentuk figur historis (yang bisa nyata atau tidak nyata), tapi berserah diri secara total pada Buddha  sebagai hakikat kebuddhaan (kualitas Kebuddhaan) di dalam diri setiap makhluk, yang berarti itu adalah berserah secara total pada kebijaksanaan dan cinta kasih. Kebijaksanaan dan cinta kasih tidak perlu dibuktikan sebagai nyata atau tidak nyata, karena ia ada dalam praktik nyata sehari-hari.   


Jika Buddhanussati sendiri merupakan praktik BuddhaDhamma, bisakah seseorang yang merenungkan kualiatas Buddha disebut sebagai "fanatisme"(mengindolakan figur Buddha) menurut Saudara ?

Tidak.

Coba baca komentar saya diatas...thanks

Justru karena sudah membaca, tapi tidak melihat koherensi maknanya, maka saya meminta Anda untuk menjabarkannya dengan lebih logis dan sistematis.

Menurut saya tulisan anda "terlihat bijak tetapi sesungguhnya sangat tidak bijak", mengapa saya mengatakan demikian ?Mari kita logikan, ketika saya memasuki sebuah restoran atau cafe, saya terlebih dahulu menanyakan ke teman saya, "Pernah makan di cafe A ?bagaimana rasa di cafe A ? " >>> setelah mendapatkan jawaban yang menyenangkan hati saya, maka saya pergi ke cafe A untuk langsung ehipassiko, dari saya baru muncullah kepercayaan ( dari diri saya sendiri sebagai pemakan ), sesungguhnya cafe A lezat atau tidak lezat >> kesimpulan ini tidak bisa dianggap kebenaran mutlak.

Saya tidak sedang berusaha menjadi "bijak", hanya menyampaikan apa adanya pandangan saya, karena itu bisa jadi buat Anda terdengar "tidak bijak." Kembali ke contoh yang Anda buat:

Ketika Anda mencoba langsung ke cafe, memang Anda sedang berehipassiko. Ketika itu dilaksanakan, referensi dari teman Anda hanyalah tinggal jadi pengetahuan yang akan terbukti atau tidak terbukti kebenarannya tatkala kita benar-benar langsung mencoba hidangan di cafe tersebut. Jika kita tetap bisa imparsial, tidak bias, dan obyektif, maka kita dapat menilai dengan tepat apa rasa makanan tersebut menurut pengalaman kita sendiri tanpa diinterupsi oleh ingatan akan penilaian dari teman kita. Jika itu yang terjadi, maka ini namanya ehispassiko: karena disertai dengan kesadaran jernih tanpa penilaian yang bias. 

Akan tetapi, apa jadinya kalau ternyata penilaian teman Anda tersebut kemudian mempengaruhi secara total komentar Anda akan makanan di cafe tersebut? "karena saya sangat percaya dan yakin dengan teman saya, pasti apa yang dikatakan oleh teman saya pasti selalu benar." Kemudian tatkala kita mencoba makanan di cafe yang direferensikan tersebut, persepsi kita tentang makanan lantas dipaksakan oleh asumsi tersebut, maka dalam pikiran muncul asumsi: "Temanku berkata makanan di cafe ini enak, karena temanku tidak mungkin salah, maka makan di cafe ini pasti enak, tidak mungkin tidak enak." Hal demikian hanya membuat kita semakin jauh dari pengalaman asli (orisinil) kita sendiri, karena semua penilaian atas pengalaman kita kemudian direpresi oleh keinginan kita mempertahankan keyakinan akan kebenaran figur teman kita. Ini bukan lagi ehipassiko, tapi kepercayaan buta yang muncul dari sikap favoritisme atas teman yang kita yakini (positif di mata kita).

Sama halnya ketika Buddha mencapai pencerahannya pertama kali, sesudah bangun dari pencerahannya Buddha menuju untuk bertemu 5 Petapa, kala itu Buddha bertemu seorang petapa yang menyapanya, petapa bertanya, " Siapakah Anda ?Siapakah Guru Anda ? dstnya ( cerita selengkapnya baca sendiri ), kemudian Buddha menjawab, " Saya adalah Buddha ( Yang tercerahkan
), Saya tidak ada guru, dan tidak seorang pun yang bisa menandingi saya dstnya..." >> kala itu si petapa tidak merespon, menurut saya sebabnya dia "tidak percaya kepada Buddha", karena Buddha hanya menyatakan dia tercerahkan ( disana tidak ada penjelasan Dhamma apapun ), sangat wajar bila petapa yang tidak mengenal siapa Buddha, tidak mungkin menyatakan perlindungan terhadap seseorang yang tidak dia kenal, dan hanya mengaku dia sebagai Buddha..

Dari mana ketidakpercayaan itu muncul, justru dari adanya asumsi yang telah diyakininya dalam  kepalanya. Kalau si petapa adalah orang yang tanpa tendensi, obyektif, imparsial, tanpa bias, maka ia akan menyelidiki lebih jauh lagi siapa Sang Buddha. Namun, dikarenakan si petapa penuh asumsi di kepalanya, 'Tidak mungkin ada yang demikian, karena dalam pengetahuan saya tidak mungkin demikian", yang diyakini sebagai benar demikian, maka ia tidak tertarik lagi mencari tahu.


sama halnya ketika kita bertemu seseorang yang mengaku dirinya "Buddha atau Arahat", apakah anda langsung percaya "dia" adalah Arahat atau Buddha ?Menurut saya tentu tidak !kecuali setelah anda mengetahui asal usulnya, mengikutinya selama beberapa tahun, melihat tingkah lakunya, melihat pembabaran Dhammanya !baru anda percaya !

Dalam kasus kalau kepercayaannya pada figur memang demikian, tapi saya lebih mementingkan praktik (demikian saya berkomitmen pada diri saya) daripada berspekulasi apakah guru saya adalah Arahat atau bukan, cerah atau tidak.


Sama halnya ketika tersiar kabar bahwa telah muncul seorang SamsamBuddha orang TIDAK LANGSUNG PERCAYA atau seperti kata anda langsung mencicipi makanannya, orang melihat dulu, menyelidiki dulu baru memakan ( lihat perenungan Dhammanussati, lihat Kalama Sutta, lihat Udumbara Sutta )

ya, yang diselidiki adalah makanannya, bukan siapa si pembuat makanan, bukan pula ingatan kita akan referensi teman kita akan makanan tersebut.


Kalau begitu saya yang akan bertanya kepada Saudara Sobat, apakah Saudara sobat akan terpengaruh jika seandainya sosok Buddha itu hanya dongeng ? Mohon dijawab..thanks

Sudah dijawab di atas kan. Tidak akan terpengaruh.

Nah, apakah dengan mengatakan "Buddha is the best" termasuk kategori "pengindolaan" atau "pemujaan" ?kemudian, apakah anda mempercayai/menyakinan ajaran Buddha dan Buddha itu sendiri ?Mhon di jawab...thanks

Wah, pertanyaan yang ini agak membingungkan. Mohon diperjelas.
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Offline sobat-dharma

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.286
  • Reputasi: 45
  • Gender: Male
  • sharing, caring, offering
Re: Kriteria Guru yang Baik dan Buruk (Master Shengyen)
« Reply #69 on: 17 November 2011, 10:37:18 PM »
pemujaan pribadi/fanatisme tidak berhubungan dengan apakah tokoh yg dipuja adalah nyata atau dongeng. sewaktu saya masih kecil, sangat kecil, saya sangat memuja dan mengidolakan SUPERMAN (bukan SUPARMAN), dan BATMAN, dan SPIDERMAN; kakak2 saya berulang2 mengatakan bahwa tokoh2 idola saya itu hanya dongeng, tapi saya tetap ngotot. jadi apakah sosok tokoh adalah nyata atau dongeng, pemujaan/pengidolaan atau fanatisme tetap saja bisa terjadi.

Bisa memang. Karena itu saya mengatakan FIGUR itu tidak penting, apakah itu Nyata ataupun Tidak Nyata. Yang penting adalah realitas yang ditunjukkan oleh figur itu. Contoh: Spiderman memang bisa jadi tidak nyata. Tapi ketika ia mengajarkan kepada kita:"With great power comes great responsibility." 'Ajaran' itu dapat berfaedah dalam hidup kita, karena setiap kita memiliki kekuasaan/kekuatan yang lebih besar, sebenarnya tanggungjawab kita makin besar pula: setidaknya pengalaman hidup yang kualami demikian adanya. Walaupun yang mengajarkan kepada kita mengenai nilai hanyalah tokoh fiksi, tapi nilai-nilai itu tetap bermanfaat untuk merefleksikan hidup kita. Jadi, nyata ataupun tidak nyata tokoh yang menyampaikan nilai itu tidaklah penting, yang penting adalah nilai itu sendiri.

Tapi seandainya pun fanatisme itu memang disebabkan oleh pemujaan pada pribadi, saya jadi melihat bahwa fanatisme itu ternyata bukanlah suatu hal yg buruk.

Baik dan buruk sesuatu itu relatif. Tergantung bagaimana hal tersebut berdampak dalam hidup seseorang.

dalam dua kasus (Adi Lim vs Sobat-dharma) saya melihat bahwa versi Bro Adi masih lebih baik di mata saya, karena setidaknya Bro Adi fanatik dengan berdasarkan pada sosok yg ia yakini nyata. sebaliknya Bro Sobat juga fanatik (dalam makna spt kisah masa kecil saya) tapi berdasarkan pada sosok yg tidak diyakini eksistensinya (merujuk pada "tidak peduli nyata atau dongeng").
.

saya tidak keberatan kalau hanya dibilang "fanatik", entah dengan Bro adi (kalau tak salahkan menolak disebut fanatik :)  ) 

Tetapi sekali lagi saya tidak mengidolakan sosok apapun (nyata ataupun tidak nyata)<; Kata "Tidak peduli dengan nyata atau dongeng" berarti saya sama sekali tidak peduli dengan suatu figur atau sosok dalam bentuk apapun (nyata ataupun tidak), tapi reaitas yang ditunjukkan oleh figur itu. Mohon jangan ditafsirkan bahwa saya sedang meyakini suatu figur yang tidak jelas.




« Last Edit: 17 November 2011, 10:38:55 PM by sobat-dharma »
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Kriteria Guru yang Baik dan Buruk (Master Shengyen)
« Reply #70 on: 17 November 2011, 10:42:49 PM »
Bisa memang. Karena itu saya mengatakan FIGUR itu tidak penting, apakah itu Nyata ataupun Tidak Nyata. Yang penting adalah realitas yang ditunjukkan oleh figur itu. Contoh: Spiderman memang bisa jadi tidak nyata. Tapi ketika ia mengajarkan kepada kita:"With great power comes great responsibility." 'Ajaran' itu dapat berfaedah dalam hidup kita, karena setiap kita memiliki kekuasaan/kekuatan yang lebih besar, sebenarnya tanggungjawab kita makin besar pula: setidaknya pengalaman hidup yang kualami demikian adanya. Walaupun yang mengajarkan kepada kita mengenai nilai hanyalah tokoh fiksi, tapi nilai-nilai itu tetap bermanfaat untuk merefleksikan hidup kita. Jadi, nyata ataupun tidak nyata tokoh yang menyampaikan nilai itu tidaklah penting, yang penting adalah nilai itu sendiri.

Baik dan buruk sesuatu itu relatif. Tergantung bagaimana hal tersebut berdampak dalam hidup seseorang.
.

saya tidak keberatan kalau hanya dibilang "fanatik", entah dengan Bro adi (kalau tak salahkan menolak disebut fanatik :)  ) 

Tetapi sekali lagi saya tidak mengidolakan sosok apapun (nyata ataupun tidak nyata)<; Kata "Tidak peduli dengan nyata atau dongeng" berarti saya sama sekali tidak peduli dengan suatu figur atau sosok dalam bentuk apapun (nyata ataupun tidak), tapi reaitas yang ditunjukkan oleh figur itu. Mohon jangan ditafsirkan bahwa saya sedang meyakini suatu figur yang tidak jelas.






Bro sobat, mari kita langsung to-the-point,
jika anda mengabaikan sosok yg mengajarkan, yg penting adalah ajarannya, menurut pemahaman saya, itu adalah wujud "berlindung pada Dhamma" bagi anda, tetapi bagaimankah praktik "berlindung pada Buddha" bagi anda?

Offline sobat-dharma

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.286
  • Reputasi: 45
  • Gender: Male
  • sharing, caring, offering
Re: Kriteria Guru yang Baik dan Buruk (Master Shengyen)
« Reply #71 on: 17 November 2011, 10:42:50 PM »
mas sobat, ternyata Buddha Gotama LUAR BIASA. !
Pernyataan diatas, apakah idola, fanatik, atau ideal?
Kamu yang paling tahu kan pikiranmu sendiri

Kembali lagi pertanyaan awal mas sobat belum jawab nih
Apakah mas sobat meragukan para Arahat?

:)) Walaupun sudah dijawab sepanjang itu belum bisa menyimpulkan? :))
Menurutmu bagaimana loh?

Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Offline sobat-dharma

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.286
  • Reputasi: 45
  • Gender: Male
  • sharing, caring, offering
Re: Kriteria Guru yang Baik dan Buruk (Master Shengyen)
« Reply #72 on: 17 November 2011, 10:43:28 PM »
Bro sobat, mari kita langsung to-the-point,
jika anda mengabaikan sosok yg mengajarkan, yg penting adalah ajarannya, menurut pemahaman saya, itu adalah wujud "berlindung pada Dhamma" bagi anda, tetapi bagaimankah praktik "berlindung pada Buddha" bagi anda?

Buddha, Dharma, dan Sangha adalah tunggal!
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Kriteria Guru yang Baik dan Buruk (Master Shengyen)
« Reply #73 on: 17 November 2011, 11:35:07 PM »
Buddha, Dharma, dan Sangha adalah tunggal!

nah, mohon anda menggunakan bahasa awam kepada saya, kenapa perlu Tisarana, kenapa tidak cukup dengan Ekasarana jika Buddha, Dharma, dan Sangha adalah tunggal?

dari apa yang saya pahami dari ajaran Theravada, Buddha memiliki kualitas2 spt yg didefinisikan dalam Buddhanussati, Dhamma juga memiliki kualitasnya sendiri spt dalam Dhammanussati, demikian pula halnya dengan Sangha. kenapa yg tunggal bisa memiliki definisi dan kualitas yg berbeda2?
« Last Edit: 17 November 2011, 11:50:06 PM by Indra »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Kriteria Guru yang Baik dan Buruk (Master Shengyen)
« Reply #74 on: 17 November 2011, 11:36:31 PM »
Kamu yang paling tahu kan pikiranmu sendiri

:)) Walaupun sudah dijawab sepanjang itu belum bisa menyimpulkan? :))
Menurutmu bagaimana loh?



itulah kenapa kita perlu menjawab dengan to-the-point, bukan dengan cara berputar2, karena bukannya memberikan penjelasan pada penanya, malah tambah membingungkan penanya