//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Sutta dongeng???  (Read 25027 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Sutta dongeng???
« on: 24 February 2010, 10:49:56 PM »
Ketika membaca Digha Nikaya lengkap terbitan DC yg dlengkapi dg catatan kaki,saat melihat cat.kaki pd Agganna Sutta & Cakkavatti-sihanada Sutta yg isiny bhw kedua sutta ini mnrt RD (Rhys Davis,seorg penulis/peneliti Buddhis) adl berisi perumpamaan/legenda/dongeng yg dbuat utk menyindir sistem kasta d India (pd Agganna Sutta) atau utk memperlihatkan pentingny hukum/norma (pd Cakkavatti-sihanada Sutta).

Jd,apakah kisah kemunculan manusia menurut Agganna Sutta & kisah penurunan & kenaikan usia manusia sampai kemunculan Metteya mnrt Cakkavatti hny dongeng/kisah rekaan yg dbuat Sang Buddha (atau penyusun sutta2 ini)? Mohon penjelasan dr para ahli sutta d sini. Thx
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Sutta dongeng???
« Reply #1 on: 24 February 2010, 10:55:55 PM »
kalau anda perhatikan kata 'dongeng' di buku itu tertulis dalam tanda petik. yg menandakan bahwa ini adalah bukan makna sesungguhnya, yg dalam versi english tertulis 'Fairy-tales' (juga dalam tanda petik), dan memang dalam sutta itu Sang Buddha menceritakan suatu kisah yg terjadi pada masa lampau dan masa depan  yg tak terhingga lamanya, jadi menurut bahasa awam kita bisa disebut 'dongeng' karena mustahil dibuktikan.

ini hanyalah gaya bahasa penulis
« Last Edit: 24 February 2010, 11:06:44 PM by Indra »

Offline Sunkmanitu Tanka Ob'waci

  • Sebelumnya: Karuna, Wolverine, gachapin
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 5.806
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
  • 会いたい。
Re: Sutta dongeng???
« Reply #2 on: 24 February 2010, 11:30:11 PM »
selain itu para scholar sering mengartikan kejadian yang di luar pemahaman ilmu pengetahuan manusia biasa sebagai perumpamaan. hal ini lazim, terutama pada scholar-scholar modern awal seperti mr. rhys.

tentu saja, untuk saat ini kita tidak bisa membuktikan kebenaran Aganna Sutta, tetapi hal yang sama terjadi pula pada Ajaran Sang Buddha yang lain seperti tumimbal lahir, yang belum bisa dibuktikan secara ilmu pengetahuan biasa.
« Last Edit: 24 February 2010, 11:31:47 PM by gachapin »
HANYA MENERIMA UCAPAN TERIMA KASIH DALAM BENTUK GRP
Fake friends are like shadows never around on your darkest days

Offline dhammasiri

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 465
  • Reputasi: 44
  • Gender: Male
Re: Sutta dongeng???
« Reply #3 on: 25 February 2010, 12:23:08 AM »
Ada sebuah artikle yang sangat bagus tentang Dīgha Nikāya oleh Prof. Oliver Abeynayaka. Artikle itu dimuat dalam Journal Kalyani, terbitan Universitas Kelaniya. Sejauh ini, ini adalah artikle terbaik tentang DN yang pernah saya baca. Dalam analyisnya, beliau melihat bahwa setiap vagga mempunyai keunikan tersendiri, yang dapat dipergunakan sebagai cara untuk melihat tingkat kemahiran Sang Buddha dalam membabarkan Dhamma dan juga keahlian murid-Nya dalam menyusun sutta-sutta dalam DN. Menurut beliau, vagga pertama (sutta 1-13) mengandung unsur yang paling klasik. Vagga ini didahului oleh Brahmajālasutta, yang isinya adalah untuk mengkritik ajaran-ajaran yang ada saat itu. Kritik tanpa sebuah solusi adalah menghancurkan. Karena itu, dalam sutta kedua, Samaññaphalasutta, di bagian awalnya tetap dipergunakan untuk mengkritik ajaran-ajaran agama lain yang ada saat itu. Di sesi selanjutnya, kita bisa melihat bagaimana konstruksi masyarakat Buddhist yang dibangun oleh Sang Buddha. Dalam hal ini, Sang Buddha tidak hanya mengkritik ajaran-ajaran yang ada tetapi Beliau juga memberikan solusi yang nyata dengan cara membangun masyarakat Buddhist. Hampir seluruh vagga ini, mengandung nilai filsafat yang lebih tinggi, bahasanya klasik. Selain itu, sangat sedikit unsur populernya atau boleh dikatakan sebagai unsur mitologi. Konsep Tuhan dikritik sepenuhnya, kepercayaan populer masih sulit ditemukan dalam vagga ini. Akan tetapi dalam vagga kedua, telah terjadi evolusi. Bahasanya boleh dibilang moderat, dalam arti tidak lagi seklasik vagga pertama. Unsur-unsur populer atau mitologi sudah dimasukkan. Lihat saja, Janavasabhasutta, Mahasamayasutta dan yang lainnya. Dalam Vagga ketiga, gaya bahasanya sudah lebih modern bila dibandingkan dengan vagga-vagga sebelumnya. Unsur-unsur populer pun dapat dilihat lebih jelas.
Apakah semua itu sekedar mitologi atau dengeng belaka? Kalau kita mau jeli, sebenarnya vagga pertama dipergunakan sebagai cara untuk mempresentasikan usaha Sang Buddha dalam mendirikan ajaran baru sebagai wujud ketidakpuasan-Nya terhadap agama yang ada. Karena itu, pada awalnya dia harus berdebat dengan tokoh-tokoh agama terkemuka saat itu. Singkatnya, beliau harus berhadapan dengan orang-orang elit. Karena itu, filsafat tingkat tinggi harus dipergunakan. Setelah Sang Buddha sukses menundukkan orang-orang elit, banyak juga orang-orang dari kelas menengah menjadi murid Sang Buddha. Orang-orang dari kelas menengah tidak mampu mencerna ajaran yang tinggi sehingga ajaran semi populer harus diberikan. Pada tahap ketiga, masyarakat dari grass-root level menjadi murid Sang Buddha. Mereka ini tidak mungkin dijejali dengan filsafat. Karena itu, ajaran populer perlu diberikan. Dalam hal ini, dongen diperlukan agar orang-orang yang tidak memiliki pendidikan tinggi dibutuhkan sehingga mereka mampu menyerap ajaran Sang Buddha.
Dari sisi Buddhologi, kita juga bisa melihat bahwa dalam vagga pertama, Sang Buddha digambarkan sebagai natural human being. Tidak ada penjelasan bahwa beliau memiliki 32 tanda mahapurisa. Kalau pun ada itu hanya dalam Ambattasutta. Dalam vagga selanjutnya, Sang Buddha mulai digambarkan memiliki 32 tanda mahapurisa dan detail tentang mahapurisa ditemukan dalam vagga ketiga.
Kesimpulannya, Sang Buddha adalah orang yang pandai dalam mengajar. Saat berhadapan dengan orang yang pandai beliau akan berbicara secara filosofis, namun saat berhadapan dengan orang-orang yang berpendidikan rendah, perlu juga menggunakan hal-hal yang populer di masyarakat agar ajaran-Nya lebih mudah dipahami oleh pendengar-Nya.
1. Apakah cerita tentang kemunculan manusia dalam Agaññasutta hanya sebuah dongeng? Secara pribadi saya melihat sutta ini dipergunakan sebagai penjabaran lebih luas dan merupakan kelanjutan dari Brahmajalasutta. Dalam Brahmajalasutta dijelaskan bahwa telah terjadi kesalahan persepsi tentang adanya Maha Brahma sebagai Sang Pencipta. Agaññasutta memberikan penjelasan lebih luas tentang evolusi manusia di bumi ini. Apakah ini sekedar dongeng? Saya melihatnya bukan sebagai dongen melainkan sebagai sebuah teori tentang evolusi kehidupan manusia di bumi ini yang dikemukakan oleh Sang Buddha. Ini tidak ada bedanya dengan theori yang diungkapkan oleh para ilmuwan modern. Ambil contohnya big bang. Apakah itu adalah sebuah dongen? Tidak, tetapi merupakan theori.
2. Apakah penurunan dan kenaikan usia dalam Cakkavattisihanadasutta juga sekedar dongeng? Cakkavattisihanadasutta adalah sebuah sutta yang dipergunakan untuk menggambarkan kondisi politik dengan nilai-nilai moral. Kalau dalam Aggaññasutta, kita bisa melihat bagaimana hubungan moral dengan ekonomi, dalam sutta ini kita bisa melihat implementasi ethik dalam dunia politik dalam Cakkavattisihanadasutta. Apabila nilai-nilai moral diimplementasikan dalam politik, hal itu akan mempengaruhi kesejahteraan masyarakat. Saat masyarakat hidup dengan kesejahteraan yang tinggi, usia panjang dapat diharapkan. Alam akan lebih bersahabat. Tetapi, saat manusia tidak lagi beretika, dunia ini akan cepat hancur, manusia berusia pendek dan alam pun sulit diajak bersahabat. Lihat saja sekarang ini, karena umumnya manusia digerogoti oleh nafsu keserakahan, alam pun sulit diajak berkompromi, pemanasan global terjadi. Usia manusia semakin pendek. Dan, masih banyak lagi yang bisa kita lihat sekarang ini.
Semoga jawaban ini membantu meringankan keragu-raguan Seniya.
Kedamaian dunia tidak akan tercapai bila batin kita tidak damai

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Sutta dongeng???
« Reply #4 on: 25 February 2010, 01:34:51 AM »
 [at]  Dhammasiri,

akan tetapi, organisasi vagga2 tersebut kan hanya dalam susunan Tipitaka bukan menggambarkan urutan sebenarnya secara kronologis.

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Sutta dongeng???
« Reply #5 on: 25 February 2010, 12:45:01 PM »
 [at] dhammasiri:
Thx atas penjelasanny yg cukup jelas & dpt dterina dg baik.

 [at] indra:
Memang susunan dlm Digha nikaya tdk menunjukkan urutan kronologis,ttp menunjukkan pengelompokan atas sutta2 yg memiliki pokok pikiran sejenis spt yg djelaskan sdr. Dhammasiri.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline dhammasiri

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 465
  • Reputasi: 44
  • Gender: Male
Re: Sutta dongeng???
« Reply #6 on: 25 February 2010, 10:59:55 PM »
 [at]  Indra: Benar tidak ada pengelompokan secara kronologis karena kalau diurutkan secara kronologis Mahaparinibbānasutta mesti ditaruh di bagian terakhir. Tetapi, apa yang saya jelaskan adalah vagga tersebut memberikan indikasi bahwa ada semacam urutan dari yang plaing awal hinggal belakangan.
Kedamaian dunia tidak akan tercapai bila batin kita tidak damai

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Sutta dongeng???
« Reply #7 on: 25 February 2010, 11:03:01 PM »
[at]  Indra: Benar tidak ada pengelompokan secara kronologis karena kalau diurutkan secara kronologis Mahaparinibbānasutta mesti ditaruh di bagian terakhir. Tetapi, apa yang saya jelaskan adalah vagga tersebut memberikan indikasi bahwa ada semacam urutan dari yang plaing awal hinggal belakangan.

setuju, hanya yg saya maksudkan adalah bahwa susunan DN yg seperti itu bukanlah direncanakan oleh Sang Buddha.

Offline dhammasiri

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 465
  • Reputasi: 44
  • Gender: Male
Re: Sutta dongeng???
« Reply #8 on: 25 February 2010, 11:43:33 PM »
 [at]  Indra: Sang Buddha mungkin malah tidak tahu apa itu DN karena DN disusun oleh murid-murid Sang Buddha setelah Sang Buddha wafat.
Kedamaian dunia tidak akan tercapai bila batin kita tidak damai

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Sutta dongeng???
« Reply #9 on: 26 February 2010, 07:31:10 AM »
O ya,mengenai susunan DN,aliran Theravada menempatkan Brahmajala Sutta sbg sutta pertama,namun aliran lain yg berbasis kitab Agama yg sejenis (kalau tdk salah Sarvastivada) Dirgha Agama nya bkn Brahmajala Sutta yg pertama. Jd,sptny susunan kitab DN bkn dtentukan pd Konsili Pertama (kalau pun sudah dtentukan tp blm final),namun mgkn ms2 sesudah perpecahan sektarian.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline dhammasiri

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 465
  • Reputasi: 44
  • Gender: Male
Re: Sutta dongeng???
« Reply #10 on: 26 February 2010, 08:09:56 AM »
Dirgagama menempatkan Mahāpadana dan Mahāparinibbana diurutan pertama. Sementara dalam Digha Nikāya Brahmajalasutta dan Samaññaphalasutta diletakkan diurutan pertama.
« Last Edit: 26 February 2010, 08:12:40 AM by dhammasiri »
Kedamaian dunia tidak akan tercapai bila batin kita tidak damai

Offline Peacemind

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 970
  • Reputasi: 74
Re: Sutta dongeng???
« Reply #11 on: 28 February 2010, 11:23:08 AM »
 [at] Ven. Dhammasiri

Ada beberapa pertanyaan yang mungkin Samanera Dhammasiri bisa memberikan penjelasan lebih lanjut supaya kita2 ini lebih jelas.

1. Dikatakan bahwa Vagga pertama bahasanya sangat klasik, vagga kedua moderat / tidak begitu klasik, vagga ketiga tidak klasik. Bagaimana kita membedakan mereka? Bisakah memberikan beberapa contoh?

2. Jika kita menganalisa uraian anda, kita mendapatkan bahwa vagga pertama dibabarkan Sang Buddha dalam usahanya untuk meyakinkan kaum elit mengenai kebenaran ajran Sang BUddha dan kesalahan ajaran mereka melalui filsafat tinggi ajaran beliau; vagga kedua karena dikatakn berisi ajaran semi populer diajarkan untuk menundukkan orang2 kelas menengah, sedangkn vagga ketiga untuk mereka yang berada di grass-root level. Namun jika kita melihat keseluruhan sutta di Nikaya ini, ada sedikit perbedaan pandangan dari apa yang dianalisa di atas. Sebagai contoh, dalam Vagga kedua, banyak sutta2 yang memiliki filsafat sangat tinggi dan pendengarnya juga dari kaum elit.  Contohnya, Mahāsatipaṭṭhānasutta dikatakn diajarkan kepada orang2 Kuru karena orang2 ini memiliki tingkat intelektual yang jauh lebih tinggi dari orang2 biasa, Pāyāsisutta juga merupakan khotbah Bhikkhu Kumarakassapa kepada Pangeran Pāyāsi yang juga berasal dari kaum elit yang juga dipercaya memiliki filsafat agama yang tinggi saat itu. Tidak dipungkiri bahwa Mahāpādanasutta, salah satu sutta di vagga kedua ini, juga memiliki filsafat yang sangat tinggi dan bahkan bisa benar2 direalisasi oleh mereka para sotapanna saja (Lol). Mungkin ada penjelasan kenapa Sutta2 ini dimasukkan di vagga ini? Sementara itu, jika Vagga ketiga diajarkan untuk mereka yang berada pada gross-root level, Agaññāsutta sendiri diajarkan kepada dua bhikkhu yang mulanya adalh brahmana yang sudah sempurna dan ahli dalam kitab Veda. Juga tanpa diragukan bahwa Sampasādanīyasutta dalam vagga ini berisi doktrin yang sangat tinggi yang tidak mudah dimengerti bahkn oleh kaum elit sekalipun, let alone grass-root level! Adakah penjelasan mengapa sutta2 ini juga ditaruh di vagga ini?

Klasifikasi ajaran2 Sang Buddha ke dalam Tipitaka disusun pada Konsili Agung Pertama yang terjadi 3 bulan setelah Sang Buddha Parinibbāna. Kita tidak tahu secara persis apakah klasifikasi ini khususnya Dighanikāya dilakukan semata-mata karena alasan2 bahasa, atau usaha2 Sang Buddha dalam mengajarkan ke orang2 elit, middle class atau grass-root level people. Sayangnya 500 arahat yang mengklasifikasi 34 sutta di Dighanikaya ke dalam tiga vagga ini tidak memberikan alasan. Buddhist commentator hanya mengatakan bahwa penyusunan sutta2 ke dalam Dighanikāya bertujuan untuk memperteguh keyakinan (saddhāvahaguṇa). Ini dibedakan dengan nikaya2 lain seperti contoh Majjhimanikāya yaitu paravādamathana - untuk menhancurkan pandangan2 lain, Saṃyuttanikāya yaiut ñāṇappabhedajanana - untuk memberikan division of various knowledges, dst. Namun demikian, yang jelas kita tahu bahwa dari nama2 vagga yang ada di Didhanikāya, vagga pertama sesuai dengan namanya "silakkhandhavagga' disusun demikian karena semua sutta di vagga ini berisi tiga level moralitas. Vagga kedua sesuai dengan namanya 'Mahavagga' disusun karena banyak nama sutta di sini diawali dengan nama 'mahā' menunjukkn besarnya sutta2 ini. Sementara itu, vagga ketiga bernama Pathikavagga karena sutta pertama dari vagga ini bernama Pathikavagga.

Mettacittena.

Offline Peacemind

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 970
  • Reputasi: 74
Re: Sutta dongeng???
« Reply #12 on: 28 February 2010, 11:31:51 AM »
O ya,mengenai susunan DN,aliran Theravada menempatkan Brahmajala Sutta sbg sutta pertama,namun aliran lain yg berbasis kitab Agama yg sejenis (kalau tdk salah Sarvastivada) Dirgha Agama nya bkn Brahmajala Sutta yg pertama. Jd,sptny susunan kitab DN bkn dtentukan pd Konsili Pertama (kalau pun sudah dtentukan tp blm final),namun mgkn ms2 sesudah perpecahan sektarian.

Namun tradisi Theravāda, seperti yang tercatat dalam Sumaṅgalavilasīnī, Kitab Komentar dari Dighanikāya, percaya bahwa susunan sutta2 Dīghanikāya ke dalam tiga vagga terjadi di Konsili Agung Pertama. Dalam pembacaaan Dhamma sendiri dikatakan bahwa Bhikkhu Mahā Kassapa bertanya tentang Brahmajalasutta terlebih dahulu ke Bhikkhu Ānanda. Kemudian dilanjutkan ke sutta2 lainnya.

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Sutta dongeng???
« Reply #13 on: 28 February 2010, 01:36:22 PM »
 [at] Dhammasiri:
O ternyata Ven Dhammasiri adalah seorang samanera y? Maaf karena ketidaktahuan sy sehingga telah tidak hormat memanggil anda sbg "sdr".....

 [at] Peacemind:
Ya, tradisi Theravada meyakini bahwa seluruh kanon Pali yang mereka miliki berasal dari Konsili Pertama dan kemudian dituliskan pada (kalau tidak salah) Konsili Keempat di Sri Lanka tanpa ada perubahan sedikit pun.

Walaupun catatan tentang Konsili Pertama terdapat pada semua aliran Buddhis, namun ada sedikit perbedaan dalam hal detail kejadian/pembacaan yang dilakukan, misalnya urutan pembacaan suttanya.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Sejarah Konsili Buddhis Pertama meburut Berbagai Aliran
« Reply #14 on: 28 February 2010, 02:15:45 PM »
Ini ada artikel tentang perbandingan versi-versi Konsili Pertama Buddhis berdasarkan berbagai aliran Buddhis awal dalam bahasa Inggris.

Penulisan nama/istilah Pali/Sanskerta-nya masih agak kacau karena memang demikian dari sumber aslinya (mungkin pakai cara penulisan lama)

Quote
THE FIRST BUDDHIST COUNCIL
[/b]

THE FIRST CONVOCATION OF BUDDHISM.

   The purpose of the present article is not to enter into an historical or critical examination of the First Convocation of the Buddhist Order, which is generaily admitted by all the schools of Buddhism to have taken place immediately after the death of the Master. Though, some critics, for instance, Oldenberg, doubts its historical reality, it is apparently natural that the pious disciples of Buddha wished to rescue all his teachings from oblivion as soon as an opportunity presented itself. It may not, of course, have taken place in all its details as told by different sects, but even then those records possess an important historical significance on account of the light which they throw on the later development of Buddhism. Having this in view, I have collected and compared as many materials as available from the Chinese sources, but have refrained from giving an entire translation of them, which, however interesting to the specialist, cannot be presented in a limited space. The following summarised notes may serve in giving some insight into the nature of the First Convocation as well as into the attitude assumed towards it by different schools of Buddhism.

SOURCES.

   The Chinese sources relating to the First Convocation of Buddhism are as follow:

   1. The Sudarçana-vinaya-vibhâshâ (right-comprehension-vinaya-analysis): Case Han,[1] fas. VIII., pp. 1-4. (Translated by Samghabhadra, A.D. 489. 18 fasciculi.)

   2. The Mahîçâsaka-nikâya-pañcavarga-vinaya (the Vinaya-text of the Mahîçâsaka school in five divisions): Case Chang, fas. II., p. 259 pp. 68-69. (Translated by Buddhajîva with the assistance of some native Chinese Buddhists, A.D. 423-424. 30 fasciculi.)

[1. This refers to the Japanese edition of the Chinese Tripitaka. 1883. commonly known as the Kôkyô Shoin Edition.]

   3. The Caturvarga-vinaya (the Vinaya-text of the Dharmagupta school in four divisions): Case Lieh, fas. VI. , pp. 49-51. (Translated by Buddhayaças and Chu Fo-nien, A.D. 405. 60 fasciculi.)

   4. The Mahâsanghika-vinaya (the Vinaya-text of the Mahâsanghika school): Case Lieh, fas. X., 32-35. (Translated by Buddhabhadra and Fâ-hsien, A.D. 416. 46 fasciculi.)

   5. The Mûlasarvâstivâda-nikâya-vinaya-samyuktavastu (the miscellaneous part of the Vinaya-text of the Sarvâstivâda school): Case Han, fas. II., pp. 87-93. (Translated by I-tsing, A.D. 710. 40 fasciculi.)

   6. The Vinaya-mâtrikâ Sûtra (the Sûtra of the Vinaya-summaries): Case Han, fas. IX., pp. 15-16. (The translator's name is lost, but the work is considered to have been done under the Chin dynasty, A.D. 350-431. 8 fasciculi.)

   7. The Mahâ-prajñâ-pâramitâ Çastra (a treatise on the great wisdom-perfection): Case Wang, fas. I., pp. 15-17. (The work is ascribed to Nâgârjuna. A commentary on the Mahâ-prajñâ-pâramitâ Sûtra. Translated by Kumârajîva, A.D. 402-405. 100 fasciculi. The original is said to have been thrice as large as the present translation.)

   8. The Life of King Açoka: Case Tsang, fas. X., pp. 13-14. (Translated by An Fa-chin, between A.D. 281-306. 5 or 6 fasciculi.)

   9. The Record of the Compilation of the Three Pitakas and the Miscellaneous Pitaka: Case Tsang, fas. VIII., pp. 32-35. (The translator's name is lost, but the work is said to be a production of the Eastern Chin dynasty, A.D. 317-420.)

   10. The Sûtra on Kaçyapa's Compilation: Case Tsang, fas. VIII., pp. 35-37. (Translated by Ân Shih-kao, a monk from Parthia, A.D. 148-170. The above two works are very short and consist of a few pages only.)

   11. The Accounts of the Transmission of the Dharmapitaka: Case Tsang, fas. IX., p. 92. (Translated by Chi-chia-yeh [Ki.mkâra?], A.D. 472. 6 fasciculi.)

   Besides the above works we may consult Fâ-hsien and Hsüan-tsang as well, but I have refrained from making extracts from these works, because good English and French translations are accessible to the students of Buddhism.

CIRCUMSTANCES WHICH LED KÂÇYAPA TO SUMMON THE FIRST CONVOCATION.

   That Mahâkâçyapa, the first Buddhist patriarch, was the originator of the first assembly for compiling the Pitakas, is a matter of general acceptance by all schools of Buddhism. His motive, according to the Ceylon tradition, is ascribed to the imprudent utterance of a certain Bhikshu Subhadra[1] who, hearing of Buddh'a's entrance into Nirvâna, unreservedly gave vent to his feeling of relief, for he thought the religious discipline demanded by his Master was too rigorous. This tradition agrees with the records in the Vinaya texts of the Mahîçâsaka, the Mahâsa.nghika, and the Dharmagupta schools, and also with those in the Vinaya-mâtrikâ-Sûtra and the Sudarçana-Vinaya-vibhâshâ,[2] whereas in the Vinaya text of the Dharmagupta an additional reason why the Pitaka should be rehearsed immediately after Buddha's death is given by Kâçyapa thus: "We should now compile[3] the Dharma and the Vinaya, in order that heretics (tîrthakas) shall not make us [the subject of] superfluous comments and censures, saying that the discipline of the Çrâma.na Gautama is like smoke; that when the World-honored One was living, all [his disciples] observed the precepts, but now, after his disappearance, there are none who observe them."

   But the Vinaya text of the Sarvâstivâda, Transmission of the Dharmapitaka and the Mahâprajñâpâramitâ Çâstra do not make any allusion to the unwise Bhikshu. The Sarvâstivâda-vinaya, the Mahâprajñâpâramitâ Çâstra, and the Life of Açoka, on the other
hand, state that Mahâkâçyapa was requested or instigated by devas who deeply lamented the possibility of the future loss of the Pitakas, if not compiled in due time. The Transmission of the Dharmapitaka, however, says nothing about the superhuman suggestion. To quote the Sarvâstivâda-vinaya: "Those devas whose long life extends over many kalpas were greatly afflicted at witnessing the Nirvâna of Buddha. But when they came to observe that many a sage had also entered into Nirvâna, they at last began to blame [the disciples], saying: 'The Sûtra, Vinaya, and Mâtrikâ [which constitute] the genuine Dharmapitaka taught by the World-honored One are left uncompiled; but surely [the disciples] are not going to have the right doctrine turned into ashes?'"

[1. This monk Subhadra should not be confounded with Buddha's last convert, who happens to bear the same name.

2 The name of the imprudent Bhikshu is Bhânanda in the Mahîçâsaka, the Dharmagupta, and the Vinaya-mâtrikâ; Mahallaka in the Mahâsanghika; Subhadra-Mahallaka in the Sudarçana-vibhâsbâ-Vinaya.

3. Chieh chi. Literally, chieh means to tie, to join, or to unite, and chi to gather, to collect, to compile, and the like. The term is apparently an equivalent of samgîti, but I have retained its Chinese sense by translating it "compilation."]

   Surmising the wish of those devas, Mahâkâçyapa said to all Bhikshus: "You know that the venerable Çâriputra and the venerable Mahâmaudgalyâyana, each with a large number of great Bhikshus who could not bear witnessing Buddha's entrance into Mahânirvâna, had already reverted to a state of perfect tranquillity; and now the World-honored One himself, in turn with 18,000 Bhikshus, has also entered into Parinirvâna. All those devas who are living innumerable kalpas, however, come forth to express their deep grief, and blame us, saying: 'Why do you not have the holy teachings of the Tripitaka compiled? Are you going to have the deepest spiritual doctrine of the Tathâgata turned into ashes?' So I declare to you all that the greatest thing we can do now is the compilation of the Pitaka. All then responded: 'Well, let us do the work.'"

   In the Transmission of the Dharmapitaka, Mahâkâçyapa is stated to have told all Bhikshus, as follows: "Buddha is now cremated, but we have no concern with the relics (çârîra) of the World-honored One, for kings, the rich, ministers of state, and lay-believers who desire the most excellent bliss will, of their own accord, make offerings [to them]. What we have to do is the collection of the Dharmacakshu [literally, the eye of the law], whereby to prevent an untimely extinction of the torch of the law. ln order that it may illuminate the future generation, let a prosperous perpetuation of the Triratna be not interrupted."

   The Record of the Collection of the Tripitaka and the Samyuktapitaka, which was translated during the Eastern Tsin dynasty, A.D. 317-420, agrees with the above-mentioned work in referring neither to the imprudent Bhikshu nor to the suggestion of devas.

THE EXCLUSION OF ÂNANDA.

   It is almost[1] unanimously recorded in all the Chinese books that Ânanda was not admitted to membership in the Convocation, until he attained to the state of mastery, through the reprimand of Mahâkâçyapa, which successfully awakened in his heart the feelings of deep remorse and shame. There is, however, no agreement of statements as to how Ânanda was instigated by him in obtaining final emancipation.

   According to The Sudarçana-vibhâshâ-vinaya, Mahâkâçyapa insisted on the exclusion of Ânanda from the Convocation in order to protect it against all the reprehension that might arise from admitting one who was still in the stage of training; but the rest of the congregation thought it impossible to compile the Sûtras without Ânanda, so they admonished him to exert all his spiritual powers for the attainment of Arhatship.

   The Life of Açoka, the Caturvarga-vinaya of the Dharmagupta school, and the Pañcavarga-vinaya of the Mahîçâsaka school, these three works generally agree in this connection. Ânanda was preaching the Law to a large crowd of people, not knowing anything about Mahâkâçyapa's determination to exclude him from the meeting. A certain Bhikshu named Po-she,[2] who perceived through his supernatural insight that Ânanda was not yet free from attachment, felt pity for him, and told him the following in verse:

"Calmly sitting under a tree, contemplate Nirvâna.
Be not indolent, but exercise Dhyâna.
For what good would there be in chattering?"

[1. Except the Transmission of the Dharmapitaka, where no mention is made of this incident.

2. So in the Caturvarga-vinaya, but Po-ch'i in the Pañcavarga-vinaya, and Po-shê-fu-to, as a disciple of Ânanda, in the Life of Açoka. It is very difficult to find the Sanskrit equivalents of those names when their meanings are not given, for there is a tendency among the so-called "old translators" to simplify long Sanskrit terms in such a manner as to make them appear like native Chinese names.]

   Thereupon Ânanda made up his mind to obtain final emancipation, etc., etc.

   In the Sarvâstivâda-vinaya, a verse slightly different in meaning from the above is also mentioned, but it was given by a mysterious boy who served him as an attendant, instead of by a Bhikshu. This incident occurred after a severe censure by Mahâkâçyapa of eight misdemeanors committed by Ânanda. The Vinaya text states that Mahâkâçyapa at first considered what would be the proper way of treating Ânanda, whether with a severe reprehension or with a gentle encouragement. When he had determined to take the first course, Ânanda was brought before the congregation. Mahâkâçyapa said: "You must leave this place. [It is not proper for] this congregation of worthy [Bhikshus] to be associated with you in their work." Hearing this, Ânanda felt as if his heart were being pierced with arrows, and, trembling all over his body, he pleaded with Mahâkâçyapa not to exclude him from the congregation, as he was not conscious of any faults [which would justify this severe punishment] Mahâkâçyapa now enumerated his eight misdemeanors, which caused Ânanda at last to retire from the assembly and to train himself for the attainment of Arhatship.

   In the Mahâsanghika-vinaya, Ânanda is stated to have received a very humiliating treatment from Mahâkâçyapa. When Mahâkâçyapa was requested by Bhikshus to admit the former to their assembly, he said: "No, if such a one [who is still in the stage] of training should be admitted into a congregation of those who are above training and are perfect in their meritorious powers, he would appear like a leprous fox (?) in an assemblage of lions." When this ignominious comparison was communicated by a deva to Ânanda, who was travelling towards Râjagriha, it did not please him at all. But he thought that Mahâkâçyapa who well knew to what family he belonged, would not have referred to him in such a way, if he were free from prejudices. But in the meantime having attained final deliverance, Ânanda hastened through the air to the Convocation. Mahâkâçyapa, it is stated, then explained to him that he used such a vigorous expression, only as he wished to encourage him to reach the stage of Arhatship.

   In the Mahâ-prajñâ-pâramitâ-Çâstra, the episode is described somewhat in a similar way to that in the Sarvâstivâda-vinaya. Ânanda is brought before the congregation by Mahâkâçyapa, and is reproached first for his not being yet qualified to rejoin it, and then for his six (not eight) misdemeanors. When Ânanda is expelled from the assembly, Mahâkâçyapa closes the gate behind him, and begins to compile the Vinaya with the remaining Bhikshus. Exceedingly mortified, Ânanda during the night exercised all his spiritual powers to reach the Path, and when at last he attained to the state of freedom from all prejudices, he rushed at midnight to Mahâkâçyapa's gates. Being told there to come inside through the keyhole, he did so by his supernatural power. Mahâkâçyapa consoled him, saying that the severe reproach had been inflicted upon him simply because he wished to see him enter into the state of Arhatship.

   In the Sûtra on Kâçyapa's Compilation [of the Tripitaka] Ânanda is said to have been expelled from the congregation after he was censured by Mahâkâçyapa for his nine misdemeanors in the presence of the Samgha.


Bersambung.....
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa