maaf, makanya saya menambahkan pertanyaan alternatif untuk menghindari kesalahpahaman,
mungkinkah seseorang yg telah menerima Trisarana tidak peduli terhadap eksistensi Sang Buddha? mungkinkah seseorang mempraktikkan buddhadharma seandainya sosok Sang Buddha hanyalah dongeng?
pertanyaan ini terkait dengan statement anda "bahkan saya tidak pernah peduli apakah Buddha Gotama itu, Guru THE BEST atau Guru jelek, tokoh nyata atau sekadar tokoh dongeng"
Untuk menjawab ini, izinkan saya menggunakan bantuan perumpamaan yang sebagian memang sudah terdengar klise:
Seandainya sebatang anak panah beracun menancap pada kaki seseorang, namun orang tersebut tidak menyadarinya. Kemudian, seorang pengelana memberitahukan pada orang tersebut, lantas ketika orang tersebut mulai melihat adanya anak panah tersebut dan sesaat itu juga rasa sakitnya mulai terasa.
Apakah yang seharusnya dilakukan orang tersebut? Segera mencabut anak panah tersebut sebelum racunnya menjalar atau mempertanyakan asal-usul pengelana tersebut dulu, baru bersedia mencari ke arah tempat yang ditunjuk oleh si pengelana dan mencabut anak panah beracunnya.
Orang yang bijak akan segera mencabut anak panah beracun itu, tanpa peduli siapa sebenarnya si pengelana yang memperingatkannya. Sedangkan orang yang diliputi kesangsian dan ketidaktahuan, akan mempersoalkan siapa sih pengelana daripada segera mencari dan mencabut panah beracun yang menempel di tubuhnya, lantas berkata, "aku tidak akan percaya kalau ada panah beracun di tubuhku, kalau tidak terbukti bahwa pengelana ini adalah orang yang suci dan mahatahu."
Praktik Buddhadharma seperti mencabut anak panah beracun. Rasa sakit dari anak panah sebenarnya adalah nyata, namun karena tidak tahu, maka kita mengabaikannya. Si pengelana hanya menunjukkan tempatnya agar kita mengenalinya dan segera mencabutnya. Penderitaan di dalam samsara adalah nyata, Sang Buddha hanya memperlihatkan hal tersebut kepada kita, selebihnya kita yang memutuskan untuk lepas darinya atau tidak.
Dikarenakan Sang Buddha adalah yang memberikan petunjuk, maka sebenarnya yang penting adalah yang ditunjuk oleh Beliau sebagai penunjuknya. Panah itu memang sudah menancap pada tubuh orang itu, sedangkan si pengelana hanya menunjukkan adanya panah tersebut. Begitu juga kita pada dasarnya memang hidup dalam Samsara, sedangkan Sang Buddha hanya memperlihatkannya. Ada atau tidak adanya si pengelana tidak mengubah fakta bahwa panah itu telah tertancap dalam tubuh orang tersebut. Ada atau tidak adanya Sang Buddha Gotama, tidak mengubah fakta bahwa manusia telah hidup dalam Samsara.
Oleh karena itu, ketika Sang Buddha menunjukkan ke kita akar penderitaan makhluk hidup di keenam lapisan alam kehidupan, maka seharusnya kita segera menyadarinya. Karena penderitaan itu nyata dan ada, maka sebenarnya dapat yang dapat merasakannya adalah diri kita sendiri. Kemauan kita untuk menyadari adanya penderitaan itu tidak ada hubungannya dengan siapa sebenarnya Sang Buddha itu. Apakah ia tokoh dongeng, tokoh sejarah, fiksi, atau nyata, semuanya itu tidak penting, karena siapapun sebenarnya Sang Buddha itu, semua penderitaan yag dialami kta sebagai makhluk hidup adalah nyata.
Maka berangkat dari kesadaran akan penderitaan itulah, kita melaksanakan praktik Buddhadharma; bukan berangkat dari pengetahuan kita megenai siapa Sang Buddha. Kita mempraktikkan Buddhadharma bukan karena kita menyadari corak kehidupan yang diliputi oleh ketidakpuasan, berubah-ubah, dan tidak berinti, seperti halnya orang yang mencabut anak panah beracun karena menyadari bahaya dari anak panah tersebut.
Inilah maksud saya. Semoga tidak menimbulkan kesalahpahaman lagi.