Apa yang kita sebut dengan mengalami realitas tidak jarang bukan hal yang hakiki, sebagai contoh adalah ada orang yang mengaku suci dan mempertujukan keahliannya dalam kemampuan supra-natural, orang yang berhadapan langsung pada saat orang"suci" tadi melakukan keahliannya boleh dikatakan melihat realitas karena melihat langsung dengan matakepalanya sendiri, namun orang tersebut tidak menyadari "realitas" sebenarnya bahwa kesucian bukan didasarkan pada kemampuan supranatural.
Orang tersebut benar2 mengalami realitas yang diluar logika, bisa jadi logikanya mengatakan bahwa hanya orang suci yang bisa melakukan hal yang diluar logika ini, dan bisa jadi perasaannya menggelora karena yang dilihatnya adalah hal yg luar biasa.
Namun berdasarkan pada logika dan perasaan saat itu saja, jelas tidak bijaksana.
Berbeda dengan orang yang memiliki dasar kebijaksanaan, bahwa dia tidak begitu saja mempercayai apa yang dilihatnya, apa yang menggelorakan perasaannya, namun mengkaji ulang dengan berefleksi kepada diri sendiri, berrefleksi kepada orang lain yang mengikutinya, apakah akibat yang ditimbulkan bagi diri sendiri dan orang lain,dan apakah dibenarkan oleh para bijaksana.