//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Pengenalan Singkat Buddhisme Awal [Q & A]  (Read 4604 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Pengenalan Singkat Buddhisme Awal [Q & A]
« on: 11 November 2013, 12:18:22 PM »
Apa itu Buddhisme Awal?

Buddhisme awal merujuk pada ajaran Buddha sebelum adanya sekte/aliran (pra-sektarian) yang bertahan sejak masa Buddha parinibbana sampai sekitar 150 tahun kemudian yang ditandai dengan perpecahan awal antara Sthaviravada dan Mahasanghika.


Apakah ajaran khas Buddhisme Awal?

Suatu ajaran disebut "Aliran Buddhisme" karena memiliki persamaan doktrin dasar sehingga bisa disebut "Buddhisme", sekaligus perbedaan doktrin lainnya sehingga dibedakan antara satu aliran dengan lainnya.

E.g. Theravada dan Mahayana sama-sama disebut Buddhisme karena menganut 4 Kebenaran Mulia dan 12 Kemunculan Bergantungan. Namun Theravada dan Mahayana memiliki perbedaan dalam doktrin Arahant dan Bodhisatva, maka dikenali sebagai aliran yang berbeda.

Buddhisme Awal dikenali dengan membandingkan aliran-aliran, kemudian mengesampingkan doktrin-doktrin khas pembedanya, dan menitik-beratkan pada persamaan-persamaannya. Mungkin yang menjadi ciri khas dalam mempelajari Buddhisme Awal hanyalah sikap memprioritaskan catatan sejarah di atas literatur sektarian.


Apakah bedanya pra-sektarian, non-sektarian, dan sinkretisme?

Pra-sektarian merujuk pada masa belum adanya perpecahan aliran.

Non-sektarian memahami adanya beragam aliran namun mewadahi berbagai aliran dalam kategori tertentu. Misalnya DC ini sendiri mewadahi berbagai aliran, atau MBI yang mengayomi sangha aneka sekte.

Sinkretisme adalah ajaran campur aduk berbagai aliran yang memang berbeda secara mendasar sehingga menghasilkan doktrin-doktrin yang kontradiktif atau sama sekali berbeda dengan ajaran-ajaran pembentuknya.

Sebagai gambaran, misalnya kol, kembang kol, brokoli, dan kailan adalah spesies tanaman yang sama yaitu Brassica oleracea yang dibudi-daya dengan cara yang berbeda sehingga memiliki ciri khas dan manfaatnya masing-masing.

Pra-sektarian bisa diumpamakan sebagai Brassica oleracea itu sendiri sebelum berubah.
Spoiler: ShowHide


Non-sektarian seperti tukang sayur yang jual kol, brokoli, kembang kol, dll.

Sedangkan bagi sinkretisme, ini adalah kailan cah udang
Spoiler: ShowHide



Sejauh ini, ajaran apakah yang bisa dikategorikan sebagai Buddhisme Awal?

Secara sederhana dari sudut pandang waktu kemunculannya, dengan mudah kita abaikan ajaran-ajaran yang muncul belakangan, misalnya sistem pendeta tertinggi yang muncul sekitar abad 14 di Tibet, sistem transmisi langsung guru-murid tanpa perlu teks pada abad 5 di China, sampai gerakan kharismatik emanasi bodhisatva sekitar abad 1 di India. Hal-hal ini adalah contoh mudah ajaran dan doktrin yang muncul pada periode jauh belakangan, dan bukan berarti salah atau sesat, tapi adalah konsekwensi dari kehidupan yang dinamis dan juga pengaruh asimilasi kebudayaan yang beragam.

Sedikit mundur ke belakang lagi, bisa ditemukan aliran-aliran Buddhis awal yang bermunculan sekitar 300 BCE (atau sekitar 150 tahun setelah mahaparinirvana). Otoritas tekstual yang mereka gunakan nyaris persis, namun interpretasinya saja yang berbeda dan kebanyakan tertuang dalam sistem abhidharma masing-masing. Teks-teks yang diakui bersama itu adalah apa yang sekarang dikenal sebagai Āgama dalam bahasa China (lengkap), Sanskrit (sebagian), dan Tibet (sebagian); serta Nikāya dalam bahasa Pāḷi. Peraturan monastik (vinaya) antara aliran Buddhis awal juga tidak ada perbedaan mendasar yang berarti, bertolak-belakang dengan tuduhan sekte tertentu bahwa sekte "tandingan" berusaha melonggarkan vinaya untuk hura-hura. Selain itu ada juga teks Gandhāra yang mengacu pada Buddhisme awal, tapi dalam keadaan rusak sehingga sulit diketahui isinya.


Apa manfaatnya mempelajari Buddhisme Awal?

Yang utama adalah mencari pendekatan terhadap ajaran Buddha sebelum tambahan interpretasi-interpretasi belakangan. Selain itu sedikitnya jadi lebih melek sejarah, bersikap objektif, dan berpikiran terbuka tanpa bias sektarianisme dan dogma.

-------

Demikian sekilas tentang Buddhisme Awal, silahkan koreksi, tambah, atau diskusi.

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Pengenalan Singkat Buddhisme Awal [Q & A]
« Reply #1 on: 11 November 2013, 08:02:10 PM »
Kalo boleh menambahkan, saya ingin memberikan alasan mengapa penting mempelajari Buddhisme awal dengan mengutip tulisan Bhikkhu Sujato dari bukunya A History of Mindfulness tentang kerancuan tradisi Buddhis dan mitos-mitos seputar ajaran Buddha dalam tradisi-tradisi Buddhis itu sendiri. Semoga bermanfaat.

===========================================================================

Buddhisme Awal Melampaui Tradisi-Tradisi dan Mitos-Mitos Sektarian

Disadur dari buku A History of Mindfulness oleh Bhikkhu Sujato


Kerancuan Tradisi

Adalah implisit dalam penyataan menjadi seorang “Buddhis” bahwa seseorang meyakini bahwa Dhamma berasal dari Sang Buddha sendiri melalui penyebaran ajaran-Nya oleh tradisi-tradisi. Kita harus mengambil pernyataan ini secara serius. Sebagai seorang bhikkhu saya menyadari bahwa, dalam pengertian yang sangat nyata, saya adalah bahan dan pewaris spiritual dari Sang Buddha. Para umat Buddha yang taat memberikan saya nasi dan kari, seperti juga pada masa lampau orang-orang India memberikan Siddhattha Gotama nasi dan kari, karena mereka menganggap saya seorang pengikut sejati, seorang “Putra Sakya”. Akan tidak tulus, bahkan curang, bagi saya untuk memakan dana makanan itu sementara pada waktu yang sama meyakini, mempraktekkan, atau mengajarkan hal-hal yang saya ketahui bahwa Siddhattha Gotama tidak akan menyetujuinya.

Ini menimbulkan beberapa masalah yang menarik dan menantang. Jelas bahwa keberadaan budaya-budaya yang ada yang semuanya menyatakan sebagai “Buddhis” sangat berbeda dalam keyakinan dan praktek mereka. Seringkali ini hanyalah perbedaan budaya seraya Dhamma-Vinaya menyesuaikan dirinya pada waktu dan tempat. Umat Buddha Taiwan melakukan pelantunan [kebaktian] mereka dalam bahasa Mandarin, sedangkan umat Buddha Thai melakukannnya dalam bahasa Pali; tidak ada yang membuat masalah besar tentang hal-hal seperti ini. Bagaimanapun, Sang Buddha sendiri meminta para pengikut-Nya untuk mempelajari Dhamma dalam bahasa mereka sendiri, dan tidak bersikeras pada dialek-dialek lokal.

Namun, aspek-aspek lain dari Buddhisme kultural sangat berlawanan dengan Dhamma. Sebuah contoh yang mengganggu dari hal ini adalah penggunaan bahasa dan konsep Buddhis untuk membenarkan perang, yang telah merusak banyak negera-negera Buddhis. Tidak ada penyesuaian budaya yang tidak berbahaya, tetapi suatu perbuatan yang sepenuhnya tidak wajar atas ajaran-ajaran Sang Buddha.

Fakta-fakta yang tidak menyenangkan demikian menuntut bahwa kita berhenti dan menyelidiki tradisi-tradisi lebih dekat. Ini hanya tidak cukup bagus untuk menerima dengan kepercayaan yang tidak diselidiki mitos-mitos, kisah-kisah, dan dogma-dogma dari aliran-aliran. Sebagai orang-orang yang memiliki komitmen untuk memahami dan menjalankan pesan dari Sang Bijaksana Sakya, terdapat suatu kewajiban untuk dengan jujur mempertanyakan tentang apa, persisnya, yang diajarkan Guru kita. Kita tahu bahwa tradisi-tradisi menjadi salah dalam beberapa kasus. Tetapi contoh-contoh yang jelas, tidak rancu adalah dalam minoritas. Terdapat suatu kekayaan dari ajaran-ajaran lain yang diberikan kepada kita oleh aliran-aliran, yang beberapa darinya berbeda satu sama lainnya dalam huruf; dan kita memerlukan sesuatu yang lebih baik daripada kepercayaan buta sebelum kita dapat dengan cerdas menyimpulkan apakah mereka lakukan, atau tidak lakukan, juga berbeda dalam maknanya.

Semua aliran Buddhisme yang ada berbagi sekumpulan besar ajaran yang sama, tetapi juga memasukkan sekumpulan besar ajaran yang berbeda. Tidak diragukan bahwa para pendiri dan pengembang berbagai aliran itu meyakini bahwa terdapat perbedaan ajaran yang bermakna, yang asli di antara aliran-aliran. Semua aliran sepaham bahwa mereka tidak sepaham. Ini cukup ditunjukkan dengan sejumlah besar bahan polemik yang memenuhi rak-rak kanon Buddhis. Dan, pada umumnya, aliran-aliran juga sepaham pada apa yang mereka tidak sepaham. Sebuah teks aliran Theravāda dapat mengatakan bahwa ajaran “pribadi” dari aliran Puggalavāda bertentangan dengan ajaran bukan-diri; sedangkan teks-teks Puggalavāda akan dengan penuh semangat membantah bahwa ajaran tentang “pribadi” berada dalam cara yang benar untuk menafsirkan bukan-diri. Mempertimbangkan situasi ini, tampaknya agak gegabah untuk menyatakan, seperti yang dilakukan beberapa Buddhis modernis, bahwa tidak ada perbedaan, atau bahwa perbedaan itu tidak penting. Apa yang diperlukan bukanlah kata-kata basa-basi hambar melainkan suatu metodologi yang diperbaiki, suatu cara mendekati ajaran-ajaran yang diturunkan, bukan dari perspektif atau ajaran-ajaran dari aliran tertentu mana pun, tetapi dari suatu evaluasi sensitif dari tradisi tekstual seperti yang dihidupkan oleh para umat Buddha. Yin Shun, bhikkhu sarjana yang terkemuka dari Buddhisme Taiwan modern, mengungkapkan perasaan yang sama dalam otobiografinya.

     Walaupun “tanpa-perselisihan” adalah baik, sinkretisme yang diterjemahkan dengan terampil yang tidak mengetahui di mana dan mengapa perbedaan-perbedaan dapat terlalu jauh, terlalu umum, dan samar-samar.

     Untuk memahami asal mula dan transformasi Buddha Dharma dalam konteks spasial dan temporal tertentu dalam dunia yang sebenarnya perlahan-lahan menjadi prinsip pencarian saya terhadap Buddha Dharma.

Kematian Mitos

Adalah suatu ciri khas yang mengejutkan, umum pada semua aliran, bahwa mereka merasa kebutuhan untuk membenarkan ajaran tertentu mereka secara mitologis – inilah apa yang semua agama lakukan. Selama 2500 tahun, Buddhisme telah terus-menerus berubah, menyesuaikan diri, berkembang; tetapi mitos aliran-aliran bersikeras bahwa Dhamma tetap sama. Demikianlah Theravāda bersikeras bahwa Abhidhamma Theravāda telah diajarkan Sang Buddha di surga Tāvatiṁsa selama pengasingan diri musim hujan-Nya yang ketujuh. Mahāyāna menyatakan bahwa sūtra-sūtra Mahāyāna ditulis pada masa Sang Buddha, disimpan di alam naga di bawah laut, kemudian didapatkan kembali oleh Nāgārjuna 500 tahun kemudian. Zen menyatakan otoritas dari suatu transmisi oral esoteris di luar kitab suci yang berasal dari Mahā Kassapa, yang disimbolkan oleh senyuman Mahā Kassapa ketika Sang Buddha memegang sekuntum teratai. Semua ini adalah mitos, dan tidak layak dianggap serius sebagai penjelasan atas kebenaran historis. Tujuannya, sebagai mitos, tidak untuk menjelaskan fakta-fakta, tetapi untuk mengesahkan keyakinan religius. Mereka mengatakan pada kita, bukan bagaimana ajaran-ajaran menjadi ada, tetapi bagaimana para penganutnya merasakannya. Dengan cara ini, mitos menawarkan suatu pelengkap yang tidak tergantikan atas sejarah, dan tidak seharusnya diabaikan. Apa yang saya kritik di sini bukanlah mitos sebagai mitos, tetapi mitos sebagai sejarah: kesalahan naif bersikeras bahwa kisah-kisah dari tradisi-tradisi adalah berdasarkan fakta. Mitos-mitos berdiri sebagai suatu penolakan yang menyolok atas ketidakkekalan, dan juga sub-tema dari karya ini adalah untuk memperhatikan ironi perih tentang bagaimana upaya yang amat sangat untuk mempertahankan ajaran-ajaran, sehingga “Dhamma sejati dapat bertahan dalam waktu lama”, cenderung menuju sesuatu yang menganggap waktu sebagai nyata.

Salah satu pelajaran terbesar dari sejarah, mungkin pelajaran yang terbesar, adalah bahwa akal menggantikan mitos. Terdapat sesuatu tentang pikiran manusia yang tidak dapat terus-menerus mempercayai suatu penjelasan mitos untuk apa yang dapat kita pahami melalui akal. Penjelasan mitos memenuhi suatu tujuan; mereka menciptakan suatu pengertian makna dan identitas bersama yang memuaskan dan menegaskan diri sendiri. Tetapi akal juga adalah suatu kekuatan positif, karena ia menganggap bahwa pikiran manusia dapat mendekati kebenaran. Karena penjelasan rasional atas pernyataan-pernyataan religius semakin maju, ini menjadi semakin bosan mempertahankan dua struktur kepercayaan yang tidak bersesuaian bersebelahan. Mitos-mitos menjadi tidak berguna. Tidak lagi meyakinkan secara inheren, mereka menjadi berlebih-lebihan dan akhirnya mati. Inilah pasang surut waktu yang tidak dapat ditawar lagi.

Ketika studi sejarah modern Buddhisme dimulai pada pertengahan abad ke-19 terdapat, sebagai suatu hasil dari mitologi-mitologi yang bersaing (tidak untuk menyebutkan mitos Hindu yang bahkan lebih menyesatkan), kebingungan yang sangat amat tentang gambaran sejarahnya. Dalam ledakan antusias rasionalis, para sarjana bersiap-siap untuk mempertanyakan apakah mitos memiliki dasar faktual sama sekali. Apakah ada hubungan historis antara agama-agama yang berbeda yang dijalankan di tempat-tempat yang terpisah jauh seperti Sri Lanka, Tibet, dan Jepang? Apakah Sang Buddha benar-benar ada? Apakah Beliau hanyalah dewa-matahari? Apakah Beliau seorang nabi Etiopia? Apakah yang Beliau ajarakan? Dapatkah kita mengetahuinya? Tradisi manakah yang paling dapat dipercaya (atau setidaknya tidak dapat dipercaya)? Karena tradisi-tradisi telah sangat terpisah karena kekuatan sejarah – terutama penghancuran Buddhisme di India – mereka memiliki sedikit informasi tentang satu sama lainnya, dan masing-masing menyatakan keunggulannya sendiri. Masing-masing aliran mempertahankan tradisinya dalam kumpulan yang luas dari berjilid-jilid naskah kuno yang sulit dimengerti dan sulit dibaca dalam bahasa-bahasa yang sangat berbeda (Mandarin, Tibet, Pali, dan bahasa-bahasa India lainnya seperti Sanskrit). Tetapi perlahan-lahan bukti dikumpulkan. Tradisi-tradisi dibandingkan; penemuan arkeologis menegaskan fakta-fakta kunci. Kronologi Sri Lanka yang berusia 1500 tahun menyebutkan nama-nama bhikkhu Kassapa, Majjhima, dan Durabhisara yang dikirimkan pada masa Aśoka sebagai misionaris dari Vidisa ke Himalaya; sebuah stupa digali di Vidisa dan nama-nama para bhikkhu ini ditemukan di sana, yang dipahatkan dalam huruf-huruf yang penanggalannya dekat dengan masa Aśoka, dan mencatat bahwa mereka adalah para guru Himalaya.[1] Pada awal abad ke-20, dalam karya-karya oleh para sarjana seperti T. W. Rhys Davies, yang tulisan-tulisannya tetap mempertahankan nilainya saat ini, skema yang akurat diambil. Masih ada perdebatan pada awal pertengahan abad ke-20, meskipun, karena bukti masih dikumpulkan, teks-teks baru disusun, dan studi baru dilakukan.

Namun, sejak awal tahun 1882 seorang sarjana bernama Samuel Beal menerbitkan serangkaian kuliah yang berjudul Buddhist Literature in China. Ini memasukkan informasi tentang proses penerjemahan ke dalam bahasa Mandarin, dan contoh terjemahan dari beberapa lapisan utama teks-teks Buddhis – Sutta-Sutta awal, Jātaka-Jātaka, dan sebuah teks Mahāyāna. Ia menyatakan sebagai berikut:

     Parinibbāna, Brahmajāla, Sigalovada, Dhammacakka, Kasi-Bhāradvadja, Mahāmangala; semua ini telah saya temukan dan bandingkan dengan terjemahan dari bahasa Pali, dan menemukan bahwa pada pokoknya mereka adalah identik. Saya tidak mengatakan secara harfiah sama; mereka berbeda dalam poin-poin kecil, tetapi identik dalam alur dan semua rincian yang penting. Dan ketika kumpulan Vinaya dan Āgama sepenuhnya diselidiki, saya memiliki sedikit keraguan kita akan menemukan kebanyakan jika tidak semuanya sutta-sutta Pali dalam bentuk Mandarin.[2]

Lebih dari satu abad kemudian, studi perbandingan yang seksama yang didorong oleh Beal masih kurang. Namun, beberapa kemajuan telah dibuat. Pada tahun 1908 seorang sarjana Jepang bernama M. Anesaki menerbitkan bukunya “The Four Buddhist Āgamas in Chinese: A concordance of their parts and of the corresponding counterparts in the Pali Nikāyas”.[3] Ini diikuti pada tahun 1929 oleh Chizen Akanuma dalam The Comparative Catalogue of Chinese Āgamas and Pali Nikāyas,[4] sebuah katalog komprehensif dari semua kotbah-kotbah awal yang diketahui ada dalam Pali dan Mandarin, dan sedikit teks yang tersedia dalam bahasa Tibet dan Sanskrit. Penemuan-penemuan ini ditambahkan dalam studi historis yang berskala penuh seperti Étienne Lamotte dalam History of Indian Buddhism dan A. K. Warder dalam Indian Buddhism. Studi-studi telah sangat menegaskan hipotesis awal Beal – Āgama-Āgama Mandarin dan Nikāya-Nikāya Pali hampir identik dalam ajaran. Mereka adalah dua turunan yang berbeda dari kumpulan teks yang sama. Teks-teks ini – secara populer ditunjuk hanya sebagai “Sutta-Sutta” – dikumpulkan oleh generasi pertama para pengikut Sang Buddha, sebelum masa pemisahan sektarian. Mereka adalah Buddhisme prasektarian. Walaupun mereka biasanya dianggap sebagai ajaran-ajaran “Theravāda”, ini tidak demikian. Sarjana David Kalupahana melanjutkan sejauh menyatakan bahwa tidak ada satu pun kata Theravāda dalam Nikāya-Nikāya Pali (walaupun saya pikir ini pernyataan yang sedikit berlebihan.) Sumbangsih para sarjana kebanyakan terbatas pada penetapan pengaturan akhir teks-teks dan standarisasi dialek. Penambahan gagasan sektarian adalah sedikit dan biasanya dengan siap dapat dikenal. Lamotte berkomentar:

     Namun, dengan pengecualian penambahan Mahāyanis dalam Ekottara, yang dengan mudah dapat dibedakan, perbedaan-perbedaan yang dipertanyakan [antara Nikāya-Nikāya dan Āgama-Āgama] tidak mungkin mempengaruhi apa pun kecuali metode pengungkapan atau penyusunan dari pokok-pokok bahasan. Dasar ajaran yang umum pada Nikāya-Nikāya dan Āgama-Āgama sangat seragam. Namun, dipertahankan dan disebarkan oleh aliran-aliran, sūtra-sūtra tidak merupakan naskah-naskah skolastik, tetapi merupakan warisan bersama dari semua aliran.[5]

Semua teks lainnya, termasuk Jātaka, Abhidhamma dari berbagai aliran, sūtra-sūtra Mahāyāna, dan seterusnya, dituliskan kemudian. Relatif sedikit dari ajaran-ajaran ini dianut sama antara aliran-aliran; yaitu, mereka adalah Buddhisme sektarian. Walaupun lensa kritik historis, gambar besar dari kemunculan dan perkembangan ajaran-ajaran ini dapat ditelusuri dengan sangat jelas, dalam dinamika internal dari evolusi ajaran dan dalam tanggapan Buddhisme pada lingkungan budaya, sosial, dan religius yang berubah-ubah. Tidak ada bukti bahwa ajaran-ajaran khusus dari teks-teks ini – yaitu, ajaran-ajaran yang tidak juga ditemukan dalam Sutta-Sutta awal – berasal dari Sang Buddha. Alih-alih, teks-teks ini seharusnya dianggap sebagai jawaban yang diberikan para guru dari masa kuno atas pertanyaan: “Apakah makna Buddhisme bagi kami?” Setiap generasi berikutnya pasti melakukan tugas sulit dalam prinsip penafsiran, akulturasi kembali Dhamma pada waktu dan tempat. Dan kita, dalam masa-masa kita yang menggemparkan, yang demikian berbeda dari mereka dari masa atau budaya Buddhis masa lampau, harus menemukan jawaban kita sendiri. Dari perspektif ini, ajaran-ajaran aliran-aliran memberikan pelajaran-pelajaran yang tidak ternilai, suatu kekayaan teladan yang telah diwariskan kepada kita oleh para nenek moyang kita dalam keyakinan.

Memahami dasar historis dari Buddhisme menyediakan suatu landasan yang bermakna untuk menghargai landasan bersama dari aliran-aliran. Mitos-mitos tradisional tentang asal mula teks-teks Buddhis menjalankan tujuan polemik, yang menentukan dalam mengesahkan posisi ajaran tertentu dari aliran-aliran. Ini bukan untuk merendahkan peranan religius yang penting yang dimainkan mitos-mitos dalam Buddhis; sebaliknya, kita akan melihat bahwa kitab-kitab Buddhis selalu ditanamkan dalam kisah spiritual, yang memberi napas kehidupan ke dalam ajaran-ajaran. Tujuan kita bukan untuk mengkritik aliran-aliran, tetapi untuk membedakan yang penting dari yang tidak penting.

Catatan Kaki:

[1] Lihat Frauwallner 1956; yang baru-baru ini dikoreksi oleh Willis. Lihat juga Wynne.

[2] Beal, pg. xii.

[3] Anesaki

[4] Akanuma. Sebuah versi yang telah diperbarui dari tabel Akanuma ada di www.suttacentral.net

[5] Lamotte, pg. 156.
« Last Edit: 11 November 2013, 08:09:11 PM by Shinichi »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline xenocross

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.189
  • Reputasi: 61
  • Gender: Male
Re: Pengenalan Singkat Buddhisme Awal [Q & A]
« Reply #2 on: 13 November 2013, 12:14:53 PM »
menurut saya yg paling penting adalah bagian:

Quote
Dhammacakkappavattana Sutta tersedia setidaknya dalam lima Vinaya, dan dalam Nikāya-Nikāya dan Āgama-Āgama. Ini, kenyataannya, jauh lebih paling tersebar luas dari semua kotbah, dengan tidak kurang dari 17 versi yang ada, dan salah satu dari sedikit kotbah yang bertahan dalam empat bahasa utama Buddhis dari Pali, Sanskrit, Mandarin, dan Tibet.[2] Tidak dapat diabaikan, terdapat banyak variasi dalam detail, tetapi isi utama pada hakekatnya sama – empat kebenaran mulia. Dhammacakkappavattana Sutta menyajikan ajaran-ajaran ini dalam suatu kerangka yang dengan jelas mengisahkan pengembangan spiritual Sang Buddha sendiri, pemuasan diri-Nya di istana dan penyiksaan diri sebagai seorang pertapa, dan realisasi pencerahan-Nya sendiri sebagai jalan keluar dari dua hal ini. Demikianlah konteks internal teks itu sendiri menyatakan bahwa ini adalah kotbah pertama. Anattalakkhaṇa Sutta juga muncul dalam beberapa versi, seperti juga Ādittapariyāya Sutta dan Permohonan Brahmā, walaupun saya belum mempelajari detail penuhnya. Namun semua teks ini tersedia dalam Nikāya-Nikāya dan Āgama-Āgama.

Kotbah-kotbah ini membentuk inti ajaran dari riwayat hidup Sang Buddha yang paling tua, dengan menceritakan kisah sejak setelah pencerahan Sang Buddha sampai pada pembentukan Sangha. Ini adalah legenda akar yang membentuk kisah yang menyatu bagi semua Buddhis. Kisah ini diceritakan dalam banyak teks-teks kuno, kadangkala dalam Vinaya, kadangkala sebagai sebuah Sutta; dalam bentuk belakangan yang dibumbui ini menjadi sebuah buku yang panjang itu sendiri. Tetapi di balik penjelasan-penjelasan yang berlebih-lebihan terdapat suatu konsistensi yang luar biasa dalam kisah utama dan ajaran doktrinalnya. Bahkan sebuah teks belakangan seperti Mahāvastu mempertahankan ajaran-ajaran seperti Dhammacakkappavattana Sutta dalam bentuk yang hampir identik.[3] Mereka secara universal dianggap sebagai ajaran-ajaran pertama Sang Buddha, dan maka kita memiliki kesepahaman penuh antara kesesuaian teks-teks dan testimoni dari tradisi. Tentu saja, tidak mungkin untuk dapat mengembangkan bahwa teks-teks ini secara harfiah adalah ajaran-ajaran pertama. Ataupun kita tidak dapat menyangkal bahwa terdapat beberapa perbedaan kecil di antara versi-versi itu. Tetapi teks-teks ini adalah penting bagi kumpulan kitab Buddhis, dan tidak ada alasan bagus mengapa ini tidak hanya mencerminkan posisi historis.

Quote
Jadi apakah testimoni dari tradisi-tradisi? Ini membawa kita pada penemuan penting Yin Shun. Kanon Mandarin dan Tibet mengandung suatu risalah yang penting berjudul Yogacārabhūmiśāstra, yang ditulis oleh Asaṅga sekitar tahun 400 M. Ini adalah karya penting dan otoritatif bagi aliran Yogacāra dari Mahāyāna. Sebuah bagian dari karya ini berjudul Vastusaṅgrāhinī didedikasikan sebagai suatu komentar ekstensif atas Saṁyukta Āgama. Ini menunjukkan bagaimana Mahāyāna klasik sangat bergantung pada kotbah-kotbah awal, sesuatu yang terlalu sering terlewatkan.[9] Yin Shun telah menunjukkan bahwa Saṁyukta Āgama yang dibahas dalam Yogacārabhūmiśāstra sangat dekat dengan Saṁyukta yang sekarang dipertahankan dalam kanon Mandarin, dan telah menggunakan Yogacārabhūmiśāstra untuk merekonstruksi urutan yang lebih awal dari Saṁyukta Āgama, yang telah menjadi tidak teratur sepanjang waktu. Rekonstruksinya dianggap sangat otoritatif sehingga diadopsi dalam edisi Foguang dari Āgama yang diterbitkan pada tahun 1983. Yogacārabhūmiśāstra menyatakan bahwa Saṁyukta Āgama adalah landasan bagi empat Āgama. Yin Shun mempercayai bahwa pernyataan ini dapat diambil secara harfiah sebagai penegasan prioritas historis dari Saṁyutta di antara Āgama-Āgama. Kelihatannya tidak ada pernyataan langsung apa pun tentang hal ini dalam tradisi Theravāda; namun, terdapat, kita akan lihat, sedikit petunjuk. Tetapi tradisi Sarvāstivādin secara teratur membuat daftar Saṁyutta sebagai yang pertama dari Āgama-Āgama. Demikianlah tentang kumpulan pertama dari kotbah-kotbah yang kita miliki memenuhi dua kriteria kita, kesesuaian teks-teks dan testimoni dari setidaknya satu tradisi.

Quote
Ciri khas yang terkemuka adalah bahwa semua teks yang diidentifikasi sebagai kotbah-kotbah paling awal ditemukan dalam Saṁyutta, kumpulan yang paling awal. Ini adalah suatu alasan yang memaksa untuk menganggap kotbah-kotbah ini adalah teks-teks akar dari semua Buddhism, bukan dalam pengertian yang samar-samar atau retoris, tetapi sebagai benih historis sebenarnya di sekitar di mana Saṁyutta dan kemudian kumpulan-kumpulan lain terkristalisasi.

3.1 Benih-Benih Saṁyutta

Mungkin kasusnya bahwa Dhammacakkappavattana Sutta mulanya adalah kotbah pertama dalam Saṁyutta. Pada saat ini ia bernomor sebelas dalam Sacca-Saṁyutta Theravāda; tetapi dalam Mandarin ia adalah yang pertama dalam bab ini. (Posisi dalam Pali dapat dijelaskan dengan penyisipan yang belakangan sebuah vagga dari sepuluh kotbah di depan.) Jadi jika Saṁyutta adalah kumpulan pertama dan Dhammacakkappavattana Sutta adalah kotbah pertama dalam babnya, bukanlah suatu lompatan yang besar untuk menyatakan bahwa Saccasaṁyutta mungkin mulanya menjadi topik pertama dalam Saṁyutta Nikāya. Ini akan, tentu saja, masuk akal, karena empat kebenaran mulia adalah ajaran yang paling umum, yang mencakup semuanya, di mana kategori ajaran lainnya adalah penjelasan yang lebih terspesialisasi.

Terdapat suatu gema dari struktur awal yang dipertahankan dalam judul yang diberikan kotbah ini dalam Pali. Dalam kebanyakan naskah kuno nama “Dhammacakkappavattana Sutta” tidak muncul; ia disebut tathāgatena vutta (“Diucapkan oleh Sang Tathāgata”). Ini agak aneh, karena kebanyakan kotbah, tentu saja, dihubungkan dengan Sang Buddha. Namun istilah “Diucakan oleh Sang Buddha” dan “Diucapkan oleh Para Siswa” muncul dalam turunan Mandarin, tetapi bukan sebagai judul kotbah, tetapi sebagai judul bagian. Mungkin label “tathāgatena vutta” ditunjukkan mulanya, bukan pada Dhammacakkappavattana Sutta secara khusus, tetapi pada suatu bagian di dalam suatu kumpulan kotbah yang terdiri dari murni ajaran-ajaran yang diberikan secara langsung oleh Sang Buddha sendiri.[1]

Jadi Dhammacakkappavattana Sutta bukanlah kotbah kesebelas dalam lima puluh enam buku dari kumpulan ketiga, tetapi kotbah pertama dalam buku pertama dari kumpulan pertama.

jadi semua ditrace kembali ke 4 kebenaran mulia dan jalan mulia beruas 8
Satu saat dari pikiran yang dikuasai amarah membakar kebaikan yang telah dikumpulkan selama berkalpa-kalpa.
~ Mahavairocana Sutra

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Pengenalan Singkat Buddhisme Awal [Q & A]
« Reply #3 on: 13 November 2013, 06:36:02 PM »
menurut saya yg paling penting adalah bagian:

jadi semua ditrace kembali ke 4 kebenaran mulia dan jalan mulia beruas 8

Yups, menurut B. Sujato, 4KM dan JMB8 merupakan pokok bahasan sentral yang kemudian diturunkan dalam sutta-sutta awal yang lain. Misalnya Satipatthana Sutta merupakan penjelasan terperinci dari definisi samma sati dari JMB8:

Quote
Di tempat lain sang jalan dianalisis menjadi tiga: etika, samādhi, dan pemahaman. Jika satipaṭṭhāna terutama adalah suatu praktek vipassanā, ini tentunya dimasukkan dalam bagian pemahaman. Tetapi sutta-sutta Theravāda dan Sarvāstivāda memasukkan satipaṭṭhāna dalam bagian samādhi, tidak pernah [dalam] bagian tentang pemahaman.  Semua pernyataan dasar tentang fungsi satipaṭṭhāna dalam sang jalan menegaskan bahwa peranan utamanya adalah untuk mendukung samādhi, yaitu jhāna.

Ini dapat dibuat lebih jelas dengan menyajikan suatu analisis struktural dari kebenaran-kebenaran dan sang jalan. Ini sejajar dengan analisis Yang Mulia Sāriputta tentang empat kebenaran mulia dalam Mahā Hatthipadopama Sutta. Analisis dari sang jalan ini ditemukan dalam Saccavibhaṅga Sutta dan Mahā Satipaṭṭhāna Sutta, maka ini jelas sesuai dengan satipaṭṭhāna. Definisi dasar diturunkan dari Magga Saṁyutta.

1) Kebenaran mulia tentang penderitaan... awal mula... lenyapnya... jalan.
2) Dan apakah kebenaran mulia tentang sang jalan? Pandangan benar... perhatian benar, samādhi benar.
3) Dan apakah perhatian benar? Seseorang merenungkan tubuh di dalam tubuh... perasaan... pikiran... dhamma. Apakah samādhi benar? Cukup terasing... ia memasuki jhāna pertama... jhāna kedua... jhāna ketiga... jhāna keempat.

Satipaṭṭhāna Sutta mengambil dari sini:

Bagaimana seseorang merenungkan tubuh di dalam tubuh? Di sini seorang bhikkhu, pergi ke hutan... menegakkan perhatian. Dengan sadar ia menarik napas, dengan sadar ia menghembuskan napas...

Demikianlah penjelasan dari berbagai satipaṭṭhāna mengikuti dari definisi dasar sang jalan. Penjelasan ini adalah tingkatan yang lebih terperinci dari ajaran itu. Mereka  yang mempelajari Satipaṭṭhāna Sutta telah familiar dengan konteks dasar ini. Dengan kata lain, para siswa telah mengetahui bahwa satipaṭṭhāna adalah faktor ketujuh dari delapan faktor sang jalan, dan bahwa fungsinya di sana adalah untuk menyokong jhāna.
« Last Edit: 13 November 2013, 06:38:38 PM by Shinichi »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

 

anything