“Dengan alasan demikianlah, para bhikkhu, orang-orang ini meninggalkan keduniawian. Namun ia iri-hati, terbakar oleh nafsu akan kenikmatan indria, dengan pikiran penuh dengan permusuhan, dengan niat yang dikotori oleh kebencian, dengan pikiran-kacau, tanpa pemahaman jernih, tidak terkonsentrasi, dengan pikiran berhamburan,
indrianya mengendur. Bagaikan arang dari api pemakaman, yang terbakar di kedua ujungnya dan berlumuran kotoran di tengahnya, tidak dapat digunakan sebagai kayu bangunan di desa atau di hutan, dan dengan cara yang sama Aku mengatakan tentang orang ini: ia telah kehilangan kenikmatan sebagai perumah tangga, namun ia tidak
memenuhi tujuan pertapaan.
“Ada, para bhikkhu, tiga jenis pikiran buruk ini: pikiran-indria, pikiran permusuhan, pikiran-mencelakai.124 Dan di manakah, para bhikkhu, ketiga pikiran buruk ini lenyap tanpa sisa? Bagi seseorang yang berdiam dengan pikiran kokoh dalam empat landasan perhatian, atau bagi seseorang yang mengembangkan konsentrasi tanpagambaran.
Ini cukup beralasan, para bhikkhu, untuk mengembangkan konsentrasi tanpa-gambaran. Ketika konsentrasi tanpa-gambaran dikembangkan dan dilatih, para bhikkhu, maka itu akan berbuah dan bermanfaat besar.
“Ada, para bhikkhu, dua pandangan ini: pandangan penjelmaan dan pandangan pemusnahan.125 [94] Di sanalah, para bhikkhu, siswa mulia yang terlatih merenungkan sebagai berikut: ‘Adakah di dunia ini yang dapat kulekati tanpa layak dicela?’’ Ia memahami: ‘Tidak ada apa pun di dunia ini yang dapat kulekati tanpa layak dicela. Karena jika
aku melekat, hanyalah bentuk yang dapat kulekati, hanyalah perasaan … hanyalah persepsi … hanyalah bentukan-bentukan kehendak … hanyalah kesadaran yang dapat kulekati. Dengan kemelekatanku sebagai kondisi, maka akan ada penjelmaan, dengan penjelmaan sebagai kondisi, maka kelahiran; dengan kelahiran sebagai kondisi,
maka penuaan-dan-kematian, kesedihan, ratapan, kesakitan, ketidaksenangan, dan keputusasaan akan muncul. Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini.’126
“Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu, apakah bentuk adalah kekal atau tidak kekal?… Apakah perasaan … persepsi … bentukanbentukan kehendak … kesadaran adalah kekal atau tidak kekal?” – “Tidak kekal, Yang Mulia.” –
“Apakah yang tidak kekal merupakan penderitaan atau kebahagiaan?” – “Penderitaan, Yang Mulia.” – “Apakah yang tidak kekal, penderitaan, dan mengalami perubahan layak dianggap sebagai: ‘ini milikku, ini aku, ini diriku?” – “Tidak,
Yang Mulia.”
“Dengan melihat demikian … ia memahami: ‘… Tidak ada lagi kondisi bagi makhluk ini.’”127
_____________________
Catatan Kaki
120. Spk: Setelah melewatkan musim hujan di Sāvatthī, Sang Buddha pergi ke Kapilavatthu bersama dengan sejumlah besar para bhikkhu. Ketika mereka tiba, para Sakya datang menemui mereka, membawa banyak persembahan untuk Saṅgha. Pertengkaran hebat pecah di antara para bhikkhu dalam membagikan barang-barang persembahan, dan karena alasan inilah Sang Guru membubarkan mereka. Beliau ingin mengajar mereka, “Bukanlah demi hal-hal demikian seperti jubah, dan sebagainya, kalian meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah, melainkan demi Kearahatan.”
121. Kalimat serupa terdapat pada MN I 457-59, tetapi di sana para Sakya pertama-tama memohon agar Sang Buddha memaafkan para bhikkhu, diikuti oleh Brahmā Sahampati, yang mengajukan permohonan yang sama. Dalam versi MN urutan kedua perumpamaan ini dibalik.
122. Di sini saya mengikuti Se, yang membaca: Tathārūpaṃ iddhābhisaṅkhāraṃ abhisaṅkhāsi yathā te bhikkhū ekadvīhikāya sārajjamānarūpā yena bhagavā ten’ upasaṅkameyyuṃ. Be dan Ee membaca yenāhaṃ menggantikan yena bhagavā; sepertinya keseluruhan frasa dihilangkan pada SS. Spk mengemas: Ekadvīhikāya ti ek’ eko c’ eva dve dve ca hutvā. Sārajjamānarūpā ti ottappamānasabhāvā bhāyamānā.
Spk: Mengapakah Sang Buddha melakukan keajaiban demikian? Dari keinginan akan kesejahteraan mereka. Karena jika mereka mendatangi-Nya secara berkelompok maka mereka tidak akan menunjukkan sikap hormat kepada Sang Buddha juga mereka tidak akan mampu menerima ajaran Dhamma. Tetapi jika mereka datang dengan sungkan, malu, sendiri dan berpasangan, maka mereka akan menunjukkan sikap hormat dan dapat menerima
ajaran.
123. Abhisāpa, dikemas akkosa oleh Spk, yang menjelaskan: “Karena ketika orang marah maka mereka menghina lawannya dengan berkata, ‘Engkau seharusnya mengenakan jubah bhikkhu, membawa mangkuk pengemis, dan berkelana mengumpulkan dana!’” Kapāla, diterjemahkan di sini “mangkuk pengemis,” bukanlah kata yang lazim untuk mangkuk dana (=patta) seorang bhikkhu, namun merujuk pada jenis mangkuk yang digunakan oleh para
petapa Non-Buddhis (kadang-kadang terbuat dari tengkorak); penggunaan kata ini sepertinya bermakna merendahkan. Paragraf ini dan berikutnya juga terdapat pada It 89-90. Beberapa istilah yang menggambarkan bhikkhu yang menyimpang persis di bawah dikomentari pada I, n.176.
124. Spk mengatakan kalimat ini disebutkan untuk menunjukkan bahwa orang ini telah menjadi semacam simbol dari suatu tumpukan kayu pemakaman karena pikiran jahatnya. “Konsentrasi tanpa-gambaran” (animitta-samādhi) adalah konsentrasi pandangan terang (vipassanā-samādhi), disebut “tanpa-gambaran” karena melenyapkan gambaran kekekalan, dan seterusnya. Untuk penjelasan lebih lanjut mengenai konsentrasi tanpa-gambaran,
baca IV, nn.280, 312, 368.
125. Spk: Pandangan penjelmaan (bhavadiṭṭhi) adalah eternalisme (sassatadiṭṭi); pandangan pemusnahan (vibhavadiṭṭhi) adalah nihilisme (ucchedadiṭṭhi). Kalimat ini disebutkan untuk menunjukkan bahwa konsentrasi tanpa-gambaran melenyapkan bukan hanya tiga pikiran buruk tetapi juga eternalisme dan nihilisme.
126. Di sini Sang Buddha menghubungkan kemelekatan, yang muncul di atas landasan lima kelompok unsur kehidupan yang secara keliru dianggap sebagai diri, dengan bagian terakhir formula sebab-akibat yang saling bergantungan, dengan demikian menunjukkan kemelekatan sekarang sebagai penyebab yang berkelanjutan bagi kelangsungan lingkaran kehidupan. Untuk penjelasan yang sama, baca MN I 511, 30 – 512, 2.
127. Spk: Di akhir khotbah ini lima ratus bhikkhu mencapai Kearahatan beserta pengetahuan analitis (patisambhidā).