//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Raja dan Suara Musik Kecapi - dari SN 35.205. Vina Sutta, Samyutta Nikaya  (Read 3467 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Utphala Dhamma

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 109
  • Reputasi: 16
  • Semoga semua mahluk berbahagia
SN 35.205. Vina Sutta, Samyutta Nikaya
....
Misalkan ada seorang raja atau menteri kerajaan belum pernah mendengar suara musik kecapi. Kemudian pada suatu hari ia mendengarkannya dan berkata,
“Orang baik beritahukanlah kepadaku , suara apakah itu, yang begitu mempesona, begitu menyenangkan, begitu memabukkan, begitu menggairahkan, dengan kekuatan yang begitu mengikat?”

Lalu mereka menjawab,
“Paduka, itu adalah suara musik kecapi.”

Kemudian ia berseru,
“Pergilah, bawakan aku kecapi itu!”

Lalu mereka membawakan kecapi itu kepadanya tetapi ia berkata,
“Cukup sudah dengan kecapi ini. Bawakan saja aku musiknya!”

Mereka lalu berujar,
“Paduka, kecapi ini terdiri dari berbagai dan banyak bagian: perut, kulit, tangkai, kerangka, senar, kuda-kuda, dan upaya pemain. Dan kecapi itu bersuara karena mereka. Kecapi itu bersuara karena banyak bagian”.

Lalu raja tersebut memecahkan kecapi itu menjadi ratusan bagian, memecah dan memecahnya lagi, membakarnya, menaruh abunya dalam sebuah timbunan, dan menampinya dalam sebuah tong atau mencucinya dengan air agar dapat menemukan suara musiknya. Setelah melakukan hal ini, ia berkata, “Kecapi merupakan benda yang sungguh jelek; apapun gerangan sebuah kecapi itu, dunia telah terbawa sesat oleh benda itu”.

Demikian pula, pada seseorang yang (benar-benar) menyelidiki  badan jasmani sejauh apapun badan jasmani mengada dan berubah, menyelidiki perasaan…, menyelidiki persepsi (pencerapan)…, menyelidiki bentuk-bentuk pikiran…, menyelidiki kesadaran sejauh apapun kesadaran mengada dan berubah, tidak akan ditemukan atau muncul gagasan atau pandangan mengenai  “Diriku, Milikku, Aku”.
« Last Edit: 24 August 2010, 03:01:49 AM by Utphala Dhamma »

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
hanya mau menambahkan saja, versi lengkapnya...

Note: Tanda * berarti ada catatan kaki-nya. Silakan dilihat di bagian akhir.

246 (9) Perumpamaan Kecapi
 
“Para bhikkhu, jika dalam diri bhikkhu atau bhikkhunī manapun keinginan atau nafsu atau kebencian atau kebodohan atau ketidaksenangan pikiran sehubungan dengan bentuk-bentuk yang dapat dikenali oleh mata, maka ia harus mengendalikan pikiran mereka sebagai berikut: (*211)
 
 ‘Jalan ini menakutkan, berbahaya, bertaburan duri, tertutup oleh hutan, jalan yang menyimpang, jalan yang buruk, jalan yang diserang oleh bencana.(*212) Ini adalah jalan yang diikuti oleh orang-orang rendah; bukan jalan yang diikuti oleh orang-orang mulia. Ini bukan untukmu.’
 
Dengan cara ini pikiran mereka harus dikendalikan dari kondisi-kondisi ini sehubungan dengan bentuk bentuk yang dapat dikenali oleh mata. Demikian pula sehubungan dengan suara-suara yang dapat dikenali oleh telinga … sehubungan dengan fenomena-fenomena pikiran yang dapat dikenali oleh pikiran. “Misalkan, para bhikkhu, gandum telah masak dan si penjaga lengah. Jika seekor sapi yang menyukai gandum memasuki ladang gandum, maka sapi itu dapat melakukan apa pun yang ia sukai. [196] Demikian pula, para bhikkhu, kaum duniawi yang tidak terlatih yang tidak melatih pengendalian terhadap enam landasan kontak akan melakukan apa pun yang ia sukai dalam lima utas kenikmatan indria.(*213)
 
“Misalkan, para bhikkhu, gandum telah masak dan si penjaga waspada. Jika seekor sapi yang menyukai gandum memasuki ladang gandum, maka si penjaga akan mencengkeram kuat-kuat pada moncongnya. Sambil mencengkeram moncongnya kuat-kuat, ia menguncinya pada kedua tanduknya, dan dengan tetap mengendalikannya, ia memberikan pukulan kuat dengan tongkat kayunya. Setelah memberikan pukulan itu, ia akan mengusir sapi itu. Ini akan terjadi untuk ke dua kali dan ke tiga kalinya. Demikianlah sapi yang menyukai gandum itu, apakah ia pergi ke desa atau ke hutan, apakah ia berdiri atau duduk, mengingat pukulan sebelumnya yang ia terima dari tongkat kayu, tidak akan memasuki ladang gandum itu kembali.
 
“Demikian pula, para bhikkhu ketika pikiran seorang bhikkhu telah menjadi lebih baik, jauh lebih baik,(*214) sehubungan dengan enam landasan kontak, maka pikirannya menjadi kokoh, tenang, terpusat, dan terkonsentrasi di dalam.
 
“Misalkan, para bhikkhu, ada seorang raja atau menteri kerajaan yang belum pernah mendengar suara kecapi sebelumnya. Ia mendengar suara kecapi dan berkata: ‘Kawan, suara apakah ini – begitu menarik, begitu indah, begitu memabukkan, [197] begitu memesona, begitu memikat?’ Mereka akan berkata kepadanya: ‘Baginda, itu adalah suara kecapi – begitu menarik, begitu indah, begitu memabukkan, begitu memesona, begitu memikat.’ Ia akan menjawab, ‘Pergilah, ambil kecapi itu untukku.’ “Kemudian mereka membawakan kepada kecapi itu dan berkata kepadanya: ‘Baginda, ini adalah kecapi, yang suaranya begitu menarik, begitu indah, begitu memabukkan, begitu memesona, begitu memikat.’ Raja itu akan berkata: ‘Aku sudah cukup dengan kecapi ini. Bawakan aku suaranya saja.’ Orang itu akan menjawab: ‘Kecapi ini, Baginda, terdiri dari banyak komponen, sangat banyak komponen, dan kecapi ini bersuara ketika dimainkan bersama banyak komponennya dan bergantung pada; lapisan bidang suara, perutnya, tangannya, kepalanya, dawainya, pemetik, dan keterampilan pemainnya.(*215)
 
Demikianlah, Baginda, Kecapi ini, terdiri dari banyak komponen, sangat banyak komponen, menghasilkan suara ketika dimainkan bersama banyak komponennya.’ “Lalu raja memecahkan kecapi itu menjadi sepuluh atau seratus keping, kemudian ia akan menghancurkannya menjadi serpihan. Setelah menghancurkannya menjadi serpihan, ia membakarnya dalam api dan mengubahnya menjadi abu, dan kemudian ia akan menampi abu itu di angin kencang atau membiarkannya terbawa arus sungai.
 
Kemudian ia berkata: ‘Benda yang sungguh menyedihkan, kecapi ini, juga benda lainnya yang disebut kecapi. Begitu banyak orang yang lengah terhadapnya, terhanyut olehnya!’(*216) “Demikian pula, para bhikkhu, seorang bhikkhu menyelidiki bentuk hingga sejauh jangkauan bentuk, ia menyelidiki perasaan hingga sejauh jangkauan perasaan, ia menyelidiki persepsi hingga sejauh jangkauan persepsi, ia menyelidiki bentukan-bentukan kehendak hingga sejauh jangkauan bentukan-bentukan kehendak, ia menyelidiki kesadaran hingga sejauh jangkauan kesadaran. [198]
 
Ketika ia menyelidiki bentuk hingga sejauh jangkauan bentuk … kesadaran hingga sejauh jangkauan kesadaran, gagasan ‘aku,’, ‘milikku’ atau ‘diriku’ yang sebelumnya telah muncul dalam dirinya tidak lagi muncul dalam dirinya.”(*217)
 
 
CATATAN KAKI
 
211. Selain dari SN 5, rujukan pada bhikkhunī adalah jarang terdapat pada SN, tetapi baca 35:231 di atas. Lima kekotoran juga terdapat pada MN III 294-95. Spk: Hasrat (chanda) adalah keinginan (taṇhā) halus yang baru muncul, nafsu (rāga) adalah keinginan kuat yang muncul berulang-ulang. Demikian pula, kebencian (dosa) adalah kemarahan (kodha) halus yang baru muncul, keengganan (paṭigha) adalah kemarahan kuat yang muncul berulang-ulang. Lima istilah ini digabungkan ke dalam tiga akar yang tidak bermanfaat, dan ketika hal-hal ini termasuk, maka semua kekotoran tambahannya juga termasuk. Lima istilah ini juga menyiratkan dua belas citta yang tidak bermanfaat (dari Abhidhamma – baca CMA 1:4-7).
 
212. Duhitika. Spk menganalisa kata ini sebagai du-ihiti-ka, ihiti sebagai bersinonim dengan iriyanā, “bergerak, perjalanan”: Ettha ihitī ti iriyanā; dukkhā ihiti etthā ti duhitiko (analisa verbal). Dalam jalan apa pun tidak ada makanan atau penyegaran seperti akar-akaran dan buah-buahan, perjalanan adalah sulit; seseorang tdak dapat berjalan mencapai tujuannya. Demikian pula, seseorang tidak dapat mencapai keberhasilan dengan berjalan di jalan kekotoran, demikianlah jalan kekotoran adalah duhitika. Turunan yang benar dari duhitika adalah du-hita, yang rupanya hilang pada masa komentator. Baca pembahasan di bawah pada n. 347, dan baca juga MW, s.v. dur-hita, dan antonimnya, su-hita.
 
213. Saya mengikuti Se dan Ee, yang tidak memasukkan pamādaṃ āpajjeyya/āpajjati, yang terdapat pada Be. Spk: seperti halnya pemilik panen gagal memperoleh buah dari pertanian ketika, karena kelengahan si penjaga, sapi memakan gandum itu, demikian pula ketika pikiran terpisah dari perhatian yang menjaga enam pintu indria, ia menikmati lima utas kenikmatan indria; maka, karena kualitas-kualitas bermanfaat ini hancur, bhikkhu itu gagal mencapai buah pertapaan.
 
214. Be: udujitaṃ hoti sudujitaṃ; Se: udujjitaṃ hoti sudujjitaṃ; Ee: ujujātaṃ hoti saṃmujujātaṃ. Spk mengemas dengan tajjitaṃ, sutajjitaṃ, dan mengatakan maknanya adalah sujitaṃ, “ditaklukkan dengan baik,” udu dan sudu hanya sekedar ketidakmunduran (nipātamatta). Mungkin keseluruhan teks cacat di sini. Spk mengatakan bahwa pada titik ini Sang Buddha membicarakan tentang menjaga ketenangan dan moralitas pengendalian indria (samathānurakkhaṇa-indriyasaṃvarasīla).
 
215. Istilah Pāli untuk bagian-bagian kecapi (vīṇā) adalah: camma, doṇi, daṇḍa, upavīṇā, tanti, koṇa. Perumpamaan ini muncul pada Mil 53, termasuk dalam daftar istilah (didahului oleh patta, dawai). Dalam menerjemahkan nama bagian-bagian itu, saya mengikuti Horner, pada Milinda’s Questions, 1:74, yang mendasarkan penerjemahannya dari A.K. Coomaraswamy, “The Parts of a Vīṇā” (Journal of the American Oriental Society, 50:3).
 
216. Saya bersama dengan Be membaca: Asatī kir’ āyaṃ bho vīnā nāma, yath’ evaṃ yaṃ kiñci vīṇā nāma, ettha ca pan’ āyaṃ jano ativelaṃ pamatto palaḷito. Se berbeda hanya pada v.l. palāḷito, tetapi Ee berbeda lebih banyak. Makna pastinya tidak jelas. Spk mengemas asatī dengan lāmikā dan menuliskan: “bukan hanya kecapi ini yang merupakan benda tidak berguna, tetapi seperti halnya benda yang disebut kecapi ini, benda apa pun yang terikat dengan dawai – semuanya hanyalah benda tidak berguna.”
 
217. Spk: Lima kelompok unsur kehidupan adalah bagaikan kecapi, meditator adalah bagaikan raja. Seperti halnya raja yang tidak menemukan suara dalam kecapi bahkan setelah menghancurkannya dan mencarinya, dan oleh karena itu, ia kehilangan minat pada kecapi itu, demikian pula meditator, menjelajahi lima kelompok unsur kehidupan, tidak melihat apa pun yang dapat digenggam sebagai “aku” atau “milikku” dan oleh karena itu kehilangan minat pada kelompok-kelompok unsur kehidupan. Sebutan “aku” atau “milikku” atau “aku adalah” sehubungan dengan bentuk, dan seterusnya, tiga “cengkeraman” yang berturut- turut adalah pandangan, keinginan, dan keangkuhan. Hal-hal ini tidak ada pada Arahanta.
Ada perbedaan penting antara raja dan meditator, yang tidak disampaikan oleh sutta atau komentar: Dalam perumpamaan raja, mencari-cari suara kecapi dengan memecahkan alat musik itu, sepertinya bodoh, sedangkan meditator, membedah kelompok- kelompok unsur kehidupan untuk melenyapkan delusi diri, menjadi bijaksana.
Spk menutup komentarnya atas sutta ini dengan kutipan dari Komentar Besar (Mahā-aṭṭhakathā, sudah tidak ada lagi):
 
“Pada awalnya dibahas moralitas,
Di pertengahan, pengembangan konsentrasi,
Di akhirnya, Nibbāna:
Demikianlah perumpamaan kecapi tersusun.”
 
***
 
Sumber:
http://dhammacitta.org/pustaka/ebook/theravada/Samyutta%20Nikaya%204%20-%20Sayalatana%20Vagga.pdf
 
Link di atas adalah e-book Samyutta Nikaya bagian ke 4 dari 5. Silakan diunduh jika tertarik membaca lebih banyak. Perumpamaan kecapi terletak di halaman 1368.